Pura Luhur Rambut Siwi
terletak di Jalan Denpasar - Gilimanuk di Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo,
Kabupaten Jembrana, Bali Indonesia, 18 KM timur Kota Negara dan sekitar 200
meter ke selatan dari Pura Penyawangan( Pura yang terletak di pinggir jalan utama
Denpasar - Gilimanuk, dan selalu di singgahi banyak pengguna jalan yang memohon
Yeh Tirtha (air suci) agar mendapatkan keselamatan dalam perjalanan mereka). Pura Luhur Rambut Siwi di
datangi oleh sebagian besar umat Hindu yang ada di Bali saat odalan Pura yang
jatuh setiap 210 hari pada Buda(rabu), umanis, wuku
prangbakat. Odalan yang jatuh pada hari biasa akan dilakukan Odalan Tingkatan Madia(menengah).
Tapi jika bertepatan pada saat bulan Purnama atau Tilem maka akan dilaksanakan Odalan Tingkatan Utama(odalan
Nadi).
Keberadaan Pura Luhur Rambut Siwi di Kabupaten Jembrana
sudah sangat terkenal. Pada saat piodalan, umat dari berbagai penjuru memadati
pura yang berlokasi di tepian laut ini. Berada sekitar 17 km arah timur kota
Negara. Bagaimana sejarah pura ini?
ASAL mula Pura Rambut Siwi tertuang dalam Dwijendra Tatwa. Menurut Mangku Gede Pura Luhur Rambut Siwi Ida Bagus Kade Ordo, pura ini tidak terlepas dari kedatangan Danghyang Dwijendra. Mengutip Dwijendra Tatwa, ia menceritakan setelah beberapa lama di Gelgel, Danghyang Dwijendra ingin menikmati Bali. Beliau pun berangkat ke arah barat sampai di daerah Jembrana berbelok ke selatan dan berbalik lagi ke timur menyusuri pantai.
Saat menyusuri pantai tersebut, Beliau bertemu seorang tukang sapu di sebuah parahyangan. Tukang sapu tersebut sedang duduk di luar parahyangan. Ketika sang Pendeta lewat, dia pun menyapa sang Pendeta dan minta Pendeta tersebut jangan tergesa-gesa dan berhenti sebentar.
Tukang sapu itu mengatakan, parahyangan merupakan tempat yang angker dan keramat. Barang siapa yang lewat dan tidak menyembah akan diterkam harimau. Untuk itulah, dia minta sang Pendeta sembahyang di parahyangan sembari menghambat perjalanan sang Pendeta.
Danghyang Dwijendra pun menuruti keinginan si tukang sapu. Beliau lalu
diantarkan masuk ke parahyangan.
Di depan sebuah bangunan pelinggih, Danghyang Dwijendra melakukan yoga, mengheningkan cipta menatap ujung hidung (Angghsana Cika) dan menunggalkan jiwatman-Nya kepada Ida Sang Hyang Widhi.
Ketika Beliau sedang asyik melakukan yoga, tiba-tiba gedong pelinggih tempat menyembah itu roboh. Peristiwa itu dilihat oleh tukang sapu. Dia lalu menangis dan mohon ampun kepada sang Pendeta. Tukang sapu itu merasa bersalah karena memaksa sang Pendeta menyembah di Parahyangan. Tukang sapu juga mohon dengan hormat disertai belas kasih sang Pandita agar parahyangan diperbaiki lagi. Tukang sapu ingin perahyangan dikembalikan seperti semula supaya ada yang mereka junjung dan sembah setiap hari.
Danghyang Dwijendra merasa kasihan juga karena melihat bangunan palinggih itu roboh ditambah lagi adanya tangisan tukang sapu. Beliau pun bersabda, akan memperbaiki bangunan itu dan membuatnya seperti sedia kala. Selanjutnya Danghyang Dwijendra melepaskan gelung hingga rambutnya terurai. Beliau mencabut sehelai rambutnya dan diberikan kepada tukang sapu. ''Danghyang Dwijendra berkata, rambut tersebut agar diletakkan di pelinggih yang ada di Parahyangan dan disiwi atau dijunjung atau disembahyangi agar semua mendapat selamat dan sejahtera. Tukang sapu menuruti apa yang disampaikan Danghyang Dwijendra dan dia juga menuruti semua nasihat Danghyang Dwijendra. Dari sinilah awal nama Pura Rambut Siwi,'' tutur Mangku Gede.
Karena hari sudah hampir malam, Danghyang Dwijendra pun berniat bermalam di Pura Rambut Siwi. Ternyata orang-orang yang datang makin banyak. Mereka datang untuk memohon nasihat agama dan mohon obat. Beliau lalu menasihatkan ajaran-ajaran agama, terutama mengenai bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi dan Batara-batari leluhurnya agar hidup sejahtera di dunia. Beliau juga mengingatkan agar setiap hari Rabu Umanis Perangbakat mengadakan pujawali di Pura Rambut Siwi untuk keselamatan desa.
Pura Luhur Rambut Siwi di Yeh Embang |
ASAL mula Pura Rambut Siwi tertuang dalam Dwijendra Tatwa. Menurut Mangku Gede Pura Luhur Rambut Siwi Ida Bagus Kade Ordo, pura ini tidak terlepas dari kedatangan Danghyang Dwijendra. Mengutip Dwijendra Tatwa, ia menceritakan setelah beberapa lama di Gelgel, Danghyang Dwijendra ingin menikmati Bali. Beliau pun berangkat ke arah barat sampai di daerah Jembrana berbelok ke selatan dan berbalik lagi ke timur menyusuri pantai.
Saat menyusuri pantai tersebut, Beliau bertemu seorang tukang sapu di sebuah parahyangan. Tukang sapu tersebut sedang duduk di luar parahyangan. Ketika sang Pendeta lewat, dia pun menyapa sang Pendeta dan minta Pendeta tersebut jangan tergesa-gesa dan berhenti sebentar.
Tukang sapu itu mengatakan, parahyangan merupakan tempat yang angker dan keramat. Barang siapa yang lewat dan tidak menyembah akan diterkam harimau. Untuk itulah, dia minta sang Pendeta sembahyang di parahyangan sembari menghambat perjalanan sang Pendeta.
Pura Rambut Siwi, Bali |
Di depan sebuah bangunan pelinggih, Danghyang Dwijendra melakukan yoga, mengheningkan cipta menatap ujung hidung (Angghsana Cika) dan menunggalkan jiwatman-Nya kepada Ida Sang Hyang Widhi.
Ketika Beliau sedang asyik melakukan yoga, tiba-tiba gedong pelinggih tempat menyembah itu roboh. Peristiwa itu dilihat oleh tukang sapu. Dia lalu menangis dan mohon ampun kepada sang Pendeta. Tukang sapu itu merasa bersalah karena memaksa sang Pendeta menyembah di Parahyangan. Tukang sapu juga mohon dengan hormat disertai belas kasih sang Pandita agar parahyangan diperbaiki lagi. Tukang sapu ingin perahyangan dikembalikan seperti semula supaya ada yang mereka junjung dan sembah setiap hari.
Danghyang Dwijendra merasa kasihan juga karena melihat bangunan palinggih itu roboh ditambah lagi adanya tangisan tukang sapu. Beliau pun bersabda, akan memperbaiki bangunan itu dan membuatnya seperti sedia kala. Selanjutnya Danghyang Dwijendra melepaskan gelung hingga rambutnya terurai. Beliau mencabut sehelai rambutnya dan diberikan kepada tukang sapu. ''Danghyang Dwijendra berkata, rambut tersebut agar diletakkan di pelinggih yang ada di Parahyangan dan disiwi atau dijunjung atau disembahyangi agar semua mendapat selamat dan sejahtera. Tukang sapu menuruti apa yang disampaikan Danghyang Dwijendra dan dia juga menuruti semua nasihat Danghyang Dwijendra. Dari sinilah awal nama Pura Rambut Siwi,'' tutur Mangku Gede.
Saat di Pura Rambut Siwi Bali, Saniscara Pon wuku Ugu tanggal 24 Desember
2016 edisi Ngayah .. tiba-tiba mereka mengaku sengaja datang dari Banyuwangi
hanya untuk bersembahyang di Pura Tirtha
Dangkahyangan Luhur Rambutsiwi, mereka tidak memberikan alasan khusus hanya
mengatakan mereka sangat percaya dan tidak mau kuwalat kepada Leluhur Nusantara
.. hanya itu .. kemudian dengan penuh keyakinan mrk memohon izin untuk
bersembahyang, mereka kebingungan tentang tata cara bersembahyang umat Hindu ..
Astungkara dengan penuh ketulusan Bli Mangku Suar berupaya untuk
memberikan tuntunan, mereka juga memohon maaf kepada segenap pihak hingga
memaklumkan karena situasi serta kondisi mereka tidak dapat bersembahyang
dengan mengenakan busana adat Bali .. selamat jalan kembali ke kampung halaman,
diberkatilah oleh-Nya, semoga berjumpa kembali dan kalian senantiasa berbahagia
- Svaha .. jika
berkenan silahkan bagikan, suksma !?
|
Karena hari sudah hampir malam, Danghyang Dwijendra pun berniat bermalam di Pura Rambut Siwi. Ternyata orang-orang yang datang makin banyak. Mereka datang untuk memohon nasihat agama dan mohon obat. Beliau lalu menasihatkan ajaran-ajaran agama, terutama mengenai bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi dan Batara-batari leluhurnya agar hidup sejahtera di dunia. Beliau juga mengingatkan agar setiap hari Rabu Umanis Perangbakat mengadakan pujawali di Pura Rambut Siwi untuk keselamatan desa.
Sumber >>
http://purakahyangan.blogspot.com
NB :
Diluar penyengker/tembok pura (di sebelah kanan pura) ada
beberapa pesimpangan untuk pura-pura besar/penyungsungan jagat di bali, Penataran Dalem Peed (Ped) >>
, Pura Melanting (di Pulaki ), >>
, Pura Melanting (di Pulaki ), >>
{Pura Melanting diatur secara dramatis di kaki bukit, dan
mulia tanpa wisatawan. Doa datang dari seluruh Bali pada hari baik (Kajeng
Kliwon Purnama) untuk mendapatkan berkah pada bisnis mereka.
Candi ini dirancang oleh arsitek Ida Bagus Tugur, sangat
spektakuler dengan naga dan cat warna-warni.
Anda mungkin memperhatikan bahwa ada banyak Pura Melanting
dekat dengan pasar di desa-desa. Karena candi ini adalah pusat Pura Melanting
di Bali dan didedikasikan untuk menyembah Ida Betara Mas Ratu Melanting.}
dan Pura Gading Wani. >>
Kutipan buku “sejarah dan babad
pratisentana bandesa manik mas, hal.42”
Pada suatu hari Diah Wiraga Selaga menghilang dari
saudara-saudaranya, berkeliling adik-adik beliau mencari tidak kunjung
dijumpai, kemudian ayah beliau (Danhyang Nirartha) terus mencari sampai ke
daerah hutan Pegametan di Buleleng Utara. Akhirnya Danghyang Nirartha berhasil
menjumpai putrinya, tetapi sudah tidak berbentuk manusia lagi. Di tempat di
mana Diah Wiraga Selaga moktah itu kemudian dibangun sebuah pura yang diberi
nama Dalem Melanting. Beliau yang diberi julukan Dewi Melanting dianggap oleh
penduduk Bali menjadi Dewi Penguasa Pasar.
[Di
Pura Gading Wani Desa Lalanglinggah juga ada pelinggih Ida Danghyang Nirartha,
merupakan seuatu bentuk/cara penghormatan kehadapan Beliau atas jasanya
melenyapkan suatu penyakit/wabah/gerubug (bhs Bali) saat Danghyang Nirartha
baru tiba di Bali. Perahu Danghyang Nirartha berlabuh di Perancak tidak jauh
dari Gading Wani. Atas jasa Danghyang Nirartha melenyapkan wabah maka Beliau di
berikan seorang gadis untuk di jadikan istri, gadis itu tiada lain adalah putri
Bendesa Gading Wani yang bernama Ni Luh Petapan/ Ni Jero Petapan.]
Post yang relevan >>
No comments:
Post a Comment