Sunday, August 5, 2012

PURA DALEM PENATARAN PEED


Walaupun hasil ini merupakan hasil maksimal dari waktu dan keadaan yang dimungkinkan bukanlah berarti bahwa hasil ini sudah sempurna. Karena kami yakin dari jumlah umat Hindu yang 2,225,000 ini bertempat tinggal di seluruh Bali mempuyai banyak lagi simpanan lontar-lontar dan mitologi-mitologi yang berhubungan dengan Pura yang kami teliti. Bagi para cedekiawan yang ingin mendalami pura ini, di kemudian hari, kiranya bahan sederhana ini akan bisa digunakan sebagai pelengkap dari tulisan-tulisannya.
Dalam penelitian kami mengenai Pura Dalem Penataran Peed, sumber yang terbanyak kami dapakan adalah di Pulau Bali sendiri terutama dalam hubungannya dengan raja-raja dan pengaruh pura tersebut terhadap rakyat yang ada di Bali. Di Nusa sendiri kami sedikit sekali mendapatkan bahan informasi karena orang yang tahu tulisan-tulisan maupaun prasasti-prasasti yang berhubungan dengan pura ini hampir tidak ada. Kepada Institut Hindu Dharma yang telah menugaskan kami mengadakan penelitian kami menyarankan bahwa penelitian yang kami hasilkan ini hendaknya di kemudian hari bisa dilanjutkan dalam bentuk yang lebih meluas dan lebih mendalam. Karena kami melihat kaitan yang sangat kuat sekali antara Pura Dalem Penataran Peed dengan Pri kehidupan dan keselamatan rakyat Bali khususnya yang ada di Bali Tengah dan Timur.
Balik kepada Institut Hindu Dharma dan terutama kepada para informant, yang kami sebutkan di bawa ini, kami sampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga, semoga Ida Sang Hyang Widi membalas kebaikan budi, saudara-saudara.
1. Kepada Tjokorda Mayun Putra, di Puri Agung Klungkung yang telah memberikan kami informasi-informasi, Beliau adalah bekas Punggawa Nusa.
2. Anak Agung Gde Oka, yang telah memberikan kami bahan riwayat Dukuh Jumpungan dan bahkan mengantar kami ke Nusa. Beliau adalah Sentana Dalem [adopted child of the opposite sex] yang ada di Gelgel, dan pernah bertugas di Nusa sebagai polisi, puluhan tahun.
3. Mangku Rumodja, mangku Pura Penataran Peed, yang telah memberiakn kami bahan-bahan dan nama-nama dari masing-masing palinggih (throne, seat for the gods).
4. I Gusti Gede Lanang, dari Puri Blahbatu, yang telah memberikan kami riwayat dari Gusti Ngurah jelantik, yang diutus Dalem menyerang Nusa, yang telah dengan rela meminjami babad, foto-foto kuno dari Pura Dalem Penataran Peed.
5. Sdr. Rudeg, seorang Balian dan Dalang di Moding, Kerobokan telah memberikan kami riwayat dan Pematuh dari Ratu Gde Nusa (I Macaling).
6. Pedanda Gde Sidemen di Geria Sanur yang telah memberikan kami riwayat Ratu Gde Nusa dalam hubungannya dengan Pura Besakih dan pengaruhnya terhadap keselamatan rakyat di Pulau Bali.
7. Dan banyak lagi informat-informat yang kami tidak sebutkan namanya yang telah membantu pelaksanaan tugas kami, kami menyampaikan terima kasih yang mendalam, semoga Ida Sang Hyang Widhi Asung Waranugraha [give his blessings].
PUTRA / KALER.
I. Pendahuluan
Bagi Umat Hindu di Pulau Bali yang pernah pergi ke Nusa, kebanyakan beranggapan bahwa Pura Dalem Penataran Peed adalah linggih Ratu Gde Nusa, atau Ratu Gede Mecaling, terutama para Balian-balian (dukun) yang kebanyakan "nyungsung" (memelihara dalam upacara, baik dalam hal perhatian agama maupun uang untuk pemugaran dll.) Beliau. Padahal kenyataan palinggih Ratu Gede Nusa adalah hanya merupakan bagian kecil dari komplek Pura Dalem Penataran Peed. Namun walaupun demikian nama Ratu Gede Mecaling cukup menggetarkan hati orang yang mendengarnya, dan ini merupakan suatu tanda bagaimana kaitan antara Pura tersebut dengan peri kehidupan rakyat Bali.
Oleh karena itu sepatutnya Pura tersebut mendapat perhatian yang lebih besar yang dapat disejajarkan dengan Pura Sad Kahyangan di Pulau Bali. Pura tersebut ada dalam keadaan rusak, pelaba [tempat penghasilan pertanian untuk pura] hanya lebih kurang: 20 are tanah hutan yang tidak mengghasilkan apa-apa. Di samping itu, bimbingan terhadap pembangunan pura perlu diberkan mengingat adanya bangungan-bangungan baru yang dibuat dan dipelester dengan semen dan kapur hingga menimbulkan suasana "kenyat"/kaku, dan tidak selaras dengan lingkungan sekitarnya. Suasana lebih hambar lagi setelah kayu-kayu besar di sekitar pura banyak yang ditebangi.
Kalau ditinjau dari suasana palinggih yang ada di dalam Pura maka Pura Dalem Penataran Peed adalah merupakan pura yang uniek, dimana pelinggih Pura Dalem, ada Padmasana dan Balai Agungnya. Rupa-rupanya pura ini adalah merupakan Pura kesatuan spirituil antara kekuatan-kekuatan purusa dan pradana. Di lain pihak Pura ini rupanya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh-pengaruh politik pemerintahan. Bahan-bahan bangunan pura yang terbuat dari batu kapur dan cara pemasangannya yang sangat sederhana, memberikan kesan bahwa pemerintahan terhadap pura tersebut kurang memadai.
Dalam penelitian yang kami laksanakan bahan-bahan yang dapat dipergunakan sebagai sumber tidak banyak didapati di pulau Nusa, hal ini disebabkan oleh karena tidak adanya bahan-bahan tertulis berupa prasasti, raja purana dan lain-lainnya, konon menurut kata pemangku yang dahulu rumahnya di sebelah timur Pura, kena bencana kebakaran, sehingga semua barang-barang termasuk pratima [perwujudan dewa dalam bentuk arca perunggu, batu, kayu dll.] dari Pura tersebut ikut terbakar. Informasi yang diberikan oleh pemangku hanya bersifat ingat-ingatan saja. Bahan-bahan yang sebagin besar kami gunakan dalam penyusunan naskah ini kebanyakan kami dapat di puri-puri dan balian-balian, dari bahan-bahan itu pula pada dasarnay mempunyai kesamaan, tetapi oleh karena fersi penulisnya berbeda, maka pariasi-pariasi dari ceritra-ceritranya banyak yang berbeda.
II. ISI
1. Nama pura
Mangenai nama pura yang kami tulis ini ada sedikit kesimpangsiuran, sumber-sumber yang kami dapat dari informant (di) Puri Klungkung, Gelgel, dan mangku Rumedja, mengatakan bahwa pura tersebut bernama Pura Penataran Peed. Sedang informant dari para balian-balian di daerah Badung, Gianyar dan dari Puri Blahbatu, mengatakan pura ini bernama Pura Dalem Peed. Kami beranggapan bahwa kedua nama itu memang benar, karena yang dimaksud sebenarnya adalah Pura Dalem Penataran Peed. Hanya yang satu pihak menonjolkan Penatarannya, dan yang lain pihak menonjolkan Dalemnya. Adapun sebab-sebab perbedaan ini akan dijelaskan sekaligus, dalam membicarakan mengenai sejarah Pura tersebut karena rupa-rupanya ini ada kaitannya dengan hubungan politik pemerintahan pada saat itu.
2. Letak Pura dan keadaannya
Pura ini terletak di tepi pantai sekitar 50 meter dari laut, di desa Peed, perbekelan Peed, kecamatan Sampalan, dan lebih kurang 4 Km pula di sebelah Timur Toya Pakeh. Pura ini terletak di suatu areal seluas 50x50 meter di daratan pantai yang dikelilingi oleh pohon kelapa dan pohon-phon rindang lainnya dan di mukanya bukit kapur yang kering-kerontang.
Pura ini pintu keluarnya menghadap ke selatan dan di belakang atau di sebelah utaranya adalah lautan Selat Nusa yang mempuyai aliran air yang deras. Melihat alam sekitarnya Pura ini akan bisa kelihatan angker, tetapi sayang sekali bangunan-bangunan yang terdapat di dalamnya banyak mengalami perubahan-perubahan yang merusak rasa kesucian dan keangkeran antara lain: Bangunan gedong pasimpan pratima yang dibuat menjulang tinggi sebagai menara dipelester dengan semen dan kapur menimbulkan kesan seolah-olah itulah palinggih pokok. Di samping itu dibuatnya bangunan model kekantoran di dalam pura untuk tempat Gong, atau penyimpanan alat-alat lainnya ditambah dengan Asagan [tempat pemujaan semetara, dubuat dari kayu atau bambu] yang biasannya dibuat dari bambu darurat, ini dipermanentkan dan dipelester dengan semen, menimbulkan suasana kaku dan tegang yang tidak sesuai dengan lingkungannya. Lebih-lebih lagi setelah banyak dari kayu-kayu besar di sekitarnya ditebangi. Padmasana di sebelah utara (lambang Besakih) tidak memakai Bedawang Nala, hal ini mungkin karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan bagi rakyat Nusa. Palinggih Dalem di sebelah Timur, merupakan bangunan kecil, tidak berupa Gedong yang seperti kita lihat di palau Bali kelihatan sekali sebagai bangunan yang kurang penting.
Pelinggih satu-satunya yang kelihatan angkernya adalah palinggih Ratu Gede Macaling, yang ada di sebelah Barat di bagian luar dari Pura Penataran dengan berbataskan tembok, palinggih ini berada di bawah pohon yang kayu rindang dan di sekitarnya dipenuhi dengan semak atau hutan kecil, Di sebelah Timur dari Pura Induk ini terdapat taman berbentuk Kolam di mana di tengah-tengahnya terdapat sebuah palingih. Di Jaba Tengah terdapat Bale Agung. Linggih-linggih Bhatara-Bhatara pada waktu ngusabha dan di Jaba (Bagisan luar sekali) terdapat wantilan yang sudah berbentuk bangunan seperti Bale Banjar model Badung yang bisa digunakan untuk pertunjukkan-pertunjukkan kesenian. Selanjutnya mengenai letak Palinggih-pelinggih secara satu persatu dengan penjelasannya dapat dilihat pada lampiran denah gambar.
3. Gambaran umum mengenai riwayat penguasa-penguasa di Nusa
Menurut lontar "Ratu Nusa" diceritakan bahwa Bhatari Uma yang sedang marah kepada Putra Beliau Sang Hyang Kumara, wajah Beliau sangat menakutkan dan Beliau bermaksud untk membunuh Sang Hyang Kumara. Pada waktu itu Bhatara Guru melihat kejadian ini maka marahlah Beliau kepada Bhatari Uma, dan mengutuk Bhatari Uma agar menjelma ke dunia. Turunlah Bathari Uma di Bukit Mundi, dan kemudian membuat istana diiringi oleh para Bhuta Kala yang selalu berpesta-pora dengan mayat manusia. Sebab itulah tempat ini menjadi angker. Setelah berada di Bukit Mundi, Bhatari Uma yang bernama Dewi Rohoni mempunyai seorang putra yang bernama Dalem Saha[ng = Sawang]. Pepatih Dalem Sahang adalah I Renggan yaitu Kompyang [great-grandchild] dari Dukuh Jumpungan, yang berasal dari Jambu Dwipa.
Dukuh Jumpungan adalah putra Bhatara Guru dengan Ni Mrenggi seorang pelayan, dari Dewi Uma. Kama Bhatara ini berwujud limun (awan kabut). Sebab itu dinamai Hyang Kalimunan. Kemudian oleh Sang Hyang Tri Murti kabut kama itu diurip maka menjadilah manusia dan bernama Hyang Kalimunan, setelah diajar dengan bermacam-macam kepandaian maka kemudian oleh Hyang Tri Murti diberi nama Dukuh Jumpungan dan bertugas sebagai dukun. Beliau sangat sakti sekali dan "pradnyan" [kepintaran, kepandaian] Anak Dukuh Jumpungan dengan Ni Mrih berputra seorang pisaca [demon, ghost] yang bernama I Mrajan.
I Mrajan kawin dengan Ni Lundah, berputra I Mundur berupa ditya (giant) I Kundur kawin dengan Ni Lumi, berputra I Renggan, berupa Danawa. I Renggan kawin dengan NI Mrahim berputra I Gotra yang dikenal dengan nama I Mecaling (Ratu Gede Nusa). Rupanya seperti Hyang Kala. Adik-adiknya bernama Ni Tole, Ni Pari, I Agung, I Reres, I Angga, I Ruma. Diceritakanlah setelah Dukuh Jumpungan berada di Nusa, beliau membuat loloan [muara dari sungai ke laut dengan air payau] di Penida.
I Renggan, kompyang dari Dukuh Jumpungan, mendapat panugran dari bhagawan Wisma Karma sehingga pandai membaut perahu dan bangun-bangunan. Dari Bhatara Gana dia mendapat panugran bahwa segala keinginannya bisa tercapai. Dari Hyang Baruna I Renggan mendapat panugran tidak bisa mati-mati. Setelah memiliki kesaktian yang sedemikian maka I Renggan ada keinginan akan mencoba kesaktiannya dengan Bhatara di Gunung Agung, dengan jalan melanggar dan menerjang Pulau Bali dengan perahunya.
Mengenai kejadian ini ada beberapa versi perlu kami kemukakan, yaitu:
1) Menurut Lontar Dukuh Jumpungan disebutkan beliau Bhatara Di Toh Langkir (Gunung Agung) minta bantuan kepada Bhatara Indra untk mengalahkan I Rengan dan Bhatara Indra mendapat restu dari Bhatara Baruna, dan Bhatara Baruna berjanji akan memusnahkan kesaktian I Renggan tetapi beliau minta pada Bhatara Indra agar jangan membunuh I Renggan, karena Sang Hyang Baruna telah menganugrahkan dia tidak bisa mati. Akhirnya Bhatara Indra dapat mengalahkan I Renggan dan perahunya terbalik.
2) menurut versi Ratu Nusa disebutkan yang mengalahkan I Renggan adalah Bhatara di Gunung Agung Sendiri dimana Beliau menginjak perahunya I Renggan sehingga terbalik, perahunya berubah menjadi pulau Ceningan dan layarnya menjadi Pulau Lembongan, semua anak buahnya kemudian berenang ke pantai dan mendarat di Nusa. Kekalahan I Renggan ini menyebabkan marahnya Dalem Sawang sehingga semua anak buahan I Rengan ini disapa (pastu) menjadi orang halus (wong samar) yang selalu mengganggu Pulau Bali. Dalem Sawang selalu berpesta daging manusia bersama pengikut-pengikutnya sehingga menyebabkan Bhatara di Gunung Agung bermaksud membunuhnya, sebab itu lalu beliau mengambil padang kasna yang warnanya putih (banyak terdapat di Gunung Agung) dan kemudian diberi puja mantra sehingga padang kasna ini berubah menjadi anak kecil yang kemudian diberi nama Dalem Dukut.
Setelah Dalem Dukut dewasa, beliau lalu diadu berperang melawan Dalem Sawang, Dalem Dukut menggunakan Kris Ratna Kencana yang dia jatuhi [memberi sesuatu sebagai jimat dengan kekuatan khusus] dengan paruh manuk Dewata sehingga Dalem Sawang dapat dibunuh. Setelah Dewi Rohini mengetahui bahwa putra Beliau dikalahkan oleh Dalem Dukut, maka marahlah Beliau. Kemarahan beliau ditumpahkan dimana danau yang ada di puncak gunung Mundi itu dilimpahkan ke laut sehingga kering sampai sekarang, dan banyak korban yang ditimbulkan karena banjir itu. Selanjutnya dendam Dewi Rohini tidak habis-habis, sebab itu anak buah Beliau yang berupa Wong Samar selalu mengganggu orang di Bali dan di Nusa. Diceritakanlah setelah Dalem Sawang meninggal, maka Dalem Dukutlah yang menjadi Raja di Nusa. I Gotra (putra dari I Renggan) yang mendapat panugran di Biyas Menting, dan di Bukit Biyaha sifatnya sebagai Ditya selalu makan khusus manusia dikenal dengan nama Ratu Gede Nusa (I Mecaling) mengepalai Wong Samar, dapat ditundukkan dan oleh Dalem Dukut dijadikan patihnya tetapi tidak diberikan lagi memakan manusia sewenang-wenang, dengan tidak mengenal musim, beliau diberikan mengambil upeti pada sasih kasanga [bulan Desember], dan hari-hari tertentu saja.
3) Dari versi Ida Pedanda Made Sidemen di Sanur, mengatakan bahwa pada waktu Ida Bhatara di Gunung Agung, Bhatara di Batu Karu dan Bhatara di Rambut Siwi datang ke Bali, dari Jambu Dwipa, Beliau membawa pengiring orang halus (wong samar) sebanyak 1500 orang. Setelah sampai di Bali, maka iringan itu dibagi masing-masing mendapat 500 orang. Atas hasil tapanya Ratu Gede Nusa (I Mecaling) maka Bhatara di Gunung Agung Asung Wara Nugraha dan mengangkat Ratu Gede Nusa menjadi kepala dari lima orang taksu, dengan rakyat samar yang jumlahnya 500 orang. Ratu Gede Nusa diberikan wewenang untuk mengambil upeti (korban manusia) kepada rakyat Bali yang tidak taat pada pengaci, sama degan ajaranan-ajaran agama. Selanjutnya ini diceritakanlah keadaan di Bali pada jaman pemerintahan Dalem Baturenggong, karena Jawa Timur (Pasuruhan), Lombok, Sumbawa dan sebagainya, sudah dapat dikuasai oleh Beliau, maka ada keinginan beliau untuk menguasai pulau Nusa. Dikirimlah I Gusti Ngurah Paminggir menyerang Nusa, tetapi oleh karena caranya yang kasar tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu sudah menyerang, demikian pula membakari rumah-rumah penduduk, maka Dalem Dukut sangat marah dipanggillah para Bala Samar, manghadapinya sehingga Ngurah Paminggir, dengan laskarnya semua gugur. Maka Dalem Baturenggong memanggil para patih dan punggawa Baliau, untuk menentukan siapa yang akan diutus memerangi Nusa. Akhirnya persidangan menunjuk I Gusti Jelantik Bogol, putra dari I Gusti Jelantik yang gugur dalam perang di Pasuruhan. Tetapi I Gusti Jelantik Bogol tidak ada di Gelgel, belaiu mengasingkan diri di Buleleng, dan kemudian dipanggil beliau untuk menghadap Dalem untuk diberi tugas menyerang Nusa. I Gusti Jelantik Bogol diberi senjata bernama "Ganja Malela" oleh Dalem, dan dilarang membawa senjata bekas warisan ayahnya Gusti Jelantik (Gusti Made Tenganan) yang gugur di Pasuruhan, karena bekas terkalahkan.
Perlu kami tambahkan bahwa Gusti Made Tenganan juga bergelar Gusti Jelantik. Kedatangan I Gusti Jelantik Bogol di Nusa disambut dengan baik oleh Dalem Dukut, karena lain halnya dengan Kriyan Paminggir yang pernah terdahulu menyerang Nusa. Dimana I Gusti Jelantik Bogol, dengan sopan menghadap Dalem Dukut, dan menyatakan dirinya sebagai utusan Dalem Waturenggong untuk meminta pulau Nusa. Tetapi seorang Kesatriya, Dalem Dukut bersedia menyerahkannya itu setelah bertanding kesaktian.
Setelah dijamu, Gusti Jelantik Bogol dengan baik, maka dimulailah peperangan (duel), dimana dalam duel yang berlangsung lama ini akhirnya keris Ganja Malela (anugrah Dalem) patah. Waktu itu ada keinginan Gusti Jelantik untuk bertempur tanpa senjata dan gugur di medan perang, sebagaimana ayahnya waktu menyerang Pasuruhan. Melihat keadaan yang gawat itu, maka Gusti Ayu Kaler cepat-cepat menyerahkan keris yang belum jadi (bakalan keris) yang bernama Pencok Sahang. Setelah melihat senjata itu, maka Dalem Dukut menghentikan sejenak pertempuran.
Dalem Dukut telah menyadari bahwa keris (bakalan) yang bernama I Pencok Sahang itu adalah taring Baga Basuki, oleh karena itu beliau menyadari bahwa sudah masanya beliau akan kembali ke Sunia Loka, dan memberi pesan kepada Gusti Jelantik sebagai berikut: kepada I Gusti Jelantik dipesankan bahwa segala harta kekayaan Dalem Dukut serta rakyat dan rakyat samarnya yang dipimpin oleh Ratu Gede Nusa dserahkan kepada Dalem Waturenggong. Karena rakyat samar ini akan membantu Dalem Bali dalam peperangan, dalam upacara-upacara dalam segala pekerjaan, tetapi hendaknya Dalem selalu ingat dalam setiap karya dibuat oleh beliau, seperti Eka Dasa Rudra, karya di Besakih, di Gelgel, dan sebagainya, akan membuat penggungan berisi sajen-sajen khusus diberikan kepada Ratu Gede Nusa beserta Wong Samarnya. Demikian pula setiap tahun agar membuat caru, kalau tidak demikian akibatnya akan terjadi bencana (gerubug). (Jenis banten, lihat lampiran lontar Dukuh Jumpungan). Setelah berpesan demikian, maka dimulailah peperangan itu, dan gugurlah Dalem Dukut oleh senjata I Gusti Jelantik yang bernama I Pencok Sahang. Perlu kami tambahkan sejarah keris I Pencok Sahang.
Diceritakan I Gusti Ayu Kaler yang sedang mandi di Tukad Unda lalu ada sebuah batang kayu hanyut menyentuh beliau, kemudian kayu itu sampai tiga kali dibuang, dan tiga kali kembali lagi, maka kayu itu lalu dibawa pulang oleh I Gusti Ayu Kaler. Setelah kayu itu depecah, ternyata bahwa di dalamnya ada sebuah keris seperti taring, dan kemudian diberikan kayu dapdap (karena masih bakalan), dan inilah dibawa oleh I Gusti Ayu Kaler ikut ke Nusa. Setelah I Gusti Jelantik menang dalam peperangan maka Beliau masih agak lama tinggal di Nusa, karena menyelesaikan upacara pengabenan dari Dalem Dukut, di mana dilakukan upacara Pitra Yadnya sebagaimana tata cara seorang raja. Segala permata mutu manikam [permata berwasiat, magis], kawotan (alat-alat untuk sembahyang) yang memakai gambar buaya, pinggan laki-istri (sayang pinggan ini kedua-duanya telah pecah), dan menurut pesan dari Dalem Dukut siapapun yang memecahkan pinggan itu dia harus ikut "Masatya" [bunuh diri secara ritual dengan tujuan tertentu, mendapatkan sesuatu dll.] bersama pinggan itu. Menurut Lontar Dukuh Jumpungan ada juga dua buah guci yang ikut dibawa, sayang sebuah di antaranya pecah, dan konon katanya guci itu bisa menangis. Sebuah lagi masih ada di Blahbatu dan dipakai untuk mandi pada penobatan seorang raja (Mabhiseka ratu). Tetapi menurut I Gusti Gede Lanang, guci itu tidak berasal dari Nusa.
4. Tokoh Ratu Gede Nusa bagi rakyat Bali
Kalau di Pulau Bali bagian selatan orang mendengar pura Dalem Peed maka asosiasi di pemikiran mereka tidak akan bisa lepas dari tokoh Ratu Gede Nusa yang menakutkan nama siluman (perwujudan) beliau digambarkan sebagai orang yang tinggi jangkung, atau sebagai orang yang pendek gemuk. Fungsi Beliau sebagai kepala dari orang Halus (Wong Samar) sehingga beliau menguasai lima taksu dengan berjenis dua kekuatannya antara lain:
1. Beliau dianggap menguasai teluk, desti tarangjana [ngeléak, manusia menjadi binatang atau mahluk halus lainnya; witchcraft], konon diceritakan kalau beliau berjalan, diiringi kekuatan-kekuatan tersebut di atas, sehingga anjing akan meraung-raung dan perasaan takut dan nyeri akan menjalar ke seluruh desa yang dilalui.
2. Sebagai "Dewan Gerubug". Oleh karena beliau diperkenankan pada masa-masa tertentu akan mengambil upeti manusia, terhadap orang-orang di Bali dan Nusa terutama bagi mereka yang bersalah, maka beliau sangat ditakuti karena beliau katanya sangat suka dengan usus manusia, maka kalau melaksanakan tugasnya, mulailah timbul penyakit muntah-menceret, dan tidak berapa lama, lalu mati.
3. Sebagai penolak bala: Menurut Lontar Dukuh Jumpungan, kalau Dalem menghadapi musuh, maka agar dibunyikan "tengeran" atau kentongan milik Dalem, maka segala wong samar akan ikut membantunya, demikian pula tombak yang akan dipakai, hendaknya diisi "gandha" (kulit jagung) sebagai tanda.
4. Pada waktu upacara-upacara keagamaan kalau tidak membuat banten di jaba, daging maupun nasinya akan diambil oleh wong samar, sehingga trapas (boros). Bagi Dalem, kalau mengikuti pesan dari Dalem Dukut, maka semua pekerjaan beliau akan dibantu sehingga walaupun sedikit orang bekerja tetapi pekerjaan bisa cepat selesai. Di samping itu kalau ada orang membawa uang, di mana tangannya dilipatkan ke belakang, wong samar ini akan dibolehkan mencopet sebagian uangnya.
Kalau ada orang makan berdiri atau jongkok, maka wong samar ini akan diperkenankan mengambil nasinya itu sekepal. Khusus untuk turunan Thokorda Nyoman Munggu (Puri Mengwi) yang oleh karena fitnah pernah dibuang ke Nusa. Dalam pembuangan beliau mendapat anugrah bisa menolak "merana" dari tumbuh-tumbuhan padi dan palawija yang disebabkan oleh hama tikus, balang sangit, dan sebagainya, dan tidak terkena dari penyakit muntah mising (Gerubug), kalau bisa ingat dan mengaci [memuji] Ratu Gede Nusa.
"Mangke kawuwusan Gusti Agung Nyoman Munggu, sang tinundung ring Nusa Barong, tan sah sira anemu dukha bara". [Sekarang sudah selesai Gusti Agung Nyoman Munggu yang dibuang ke Nusa Barong, tidak benar beliau mendapatkan sedih yang mendalam.]
Dalam Babad Mengwi disebutkan:
"Dadi wetu citta nira, amintasih nira Hyang, lamakna sidha malwi muwah, taman king mangupura. Yan ta mama nira, sarya tan lupteng dewa puja, andewaseraya, ring puncaking bukit Watu, aminta sidaning apti. Pira lawas nira samangkana dadi hana karenge denira, sabdeng suksma, awarah yan sidhaning apti, pamantukeng mangupura mwah, amanggih wirya wibhawa mwang kasidhaning jnana, wenang anghilangaken sehananing merana, kang angrusak slawirin tinandur, mwah sahananing mawah. Mwah wekasan ri wus kaneng menguradja, lamknya akarya tugu, winangun ring pasimpanganing lawang, palmahaning kadtatwan, makasthananira Ratu Gede Nusa ri hala nira prapta anglanglang bhuwana, mwang sasentanan I Gusti Agung Nyoman Munggu katekeng dlaha tur kawenang malupa, ring ananing sabdeng suksma ika. Nguni-nguni kalaning wyadi, baya kewuh, kengetakna aminta sih nira Ratu Gede Nusa, lamaknya manggehumendeling dirgha yusa, urip waras, keteken dlaha".
Dengan kekuatan dan pengaruh-pengaruh beliau yang sedemikian maka para balian-balian terutama di Bali Selatan banyak yang "nyungsung" demikianlah pada permulaan sasih ke-6 daerah-daerah pantai seperti di Badung, Gianyar dan Klungkung, mengadakan pengaci-pengaci, untuk penolak bala tersebut.
5. Pura Dalem Penataran Peed
Riwayat mengenai berdirinya pura ini, demikian pula siapa yang mendirikannya belum ada satu sumberpun yang kami dapati, tetapi beberapa hal yang berhubungan dengan pura tersebut antara lain mengenai palinghih-palinggih dan tokoh-tokoh penguasa Nusa, terutama adanya pelinggih Ratu Gede Nusa yang ada di Bagian Barat (luar dari pura tersebut) memberikan kita sekedar petunjuk mengenai asal-usul pura tersebut.
1) Pengaci [alat upacara untuk pemujaan dewa] Pengaci routine untuk pura ini ada keistimewaannya, karena upacara pada umumnya di Nusa lebih sederhana dari upacara-upacara yang ada di Pulau Bali. Jenis-jenis banten juga tidak begitu berbeda, karena telah banyaklah tukang-tukang dari Klungkung datang ke sana memberikan contoh-contoh mengenai soal-soal banten. Hal yang merupakan keistimewaan sedikit, ialah dimana pada hari-hari tertentu dilakukan upacara Ngusaba, dimana Bhatara-Bhatara yang ada di pura-pura di Nusa parum [bertemu] di Balai Agung pura ini. Dengan demikian dapat kita menarik kesimpulan bahwa pura ini merupakan pura induk dari pura-pura lainnya yang ada di Nusa.
2) Di pura ini pula orang-orang di Nusa mendak-mendak pitara, [atau] Nuntun Pitra, sebagaimana halnya yang lazim kita jumpai di Pura Dalem di Bali dan khususnya di pura Dalem Puri di Besakih [memohon supaya dewa tersebut ikut ke rumah ke tempat suci, di Pura Merajan]. Dengan demikian dapat kita menyimpulkan bahwa pura ini adalah Pura Dalem. Di Pura Dalem Penataran Peed ini memang kita jumpai ada sesuai Palinggih Dalem yang terletak di sebelah Timur menghadap ke Barat. Bagi orang Nusa dan Klungkung kebanyakan menganggap Palinggih pokok di sana adalah Padmasana yang ada di sebelah Utara menghadap ke Selatan. Bagi kita di Bali, palinggih Padma itu memang jarang kita jumpai ada di pura Dalem, mula-mula kami mengira bahwa palinggih Padma itu baru-baru saja dibuat, dimana sebagaimana kita jumpai akhir-akhir ini, hampir semua pura-pura yang belum berisi Padmasana lalu diisi dengan Padmasana. Tetapi setelah kami menjumpai foto yang dibuat tahun 1940 yang dimiliki oleh Puri Kanginan Blahbatuh, maka rupa-rupanya Padmasana itu sudah ada sejak dulu. Menurut Mangku Rumodja [Rumoja, Rumeja, various ways of spelling], mangku Dalem Peed, Padmasana itu adalah Palinggih Bhatara di Besakih. Hal ini rupanya menyebabkan mengapa pura tersebut lebih dikenal dengan nama Pura Penataran saja karena merupakan pasimpangan dari Pura Penataan Besakih. Di samping itu adanya hal-hal yang bersifat historis mungkin menyebabkan mengapa palinggih untuk di pura Dalem sangat kecil dan sederhana sekali.
3. Kalau kita meneliti dari sejarah Ratu Nusa, mengenai adanya suatu perebutan pengaruh antara Gunung Agung dengan Bukit Mundi dimana Gunung Agung adalah linggih Ida Bhatara Siwa sedang Bukit Mundi linggih Ida Bhatara Durgha (Dewi Rohini), dimana keduanya ini merupakan positif dan negatif dari kekuatan alam semesta dapat bandingkan dengan letak pura Besakih dengan Dalem Puri, dimana kedua kekuatan itu bertentangan tetapi dengan adanya rwabhineda [dua kekuatan yang berbeda, yaitu positif dan negatif] ini maka tercintanya kehidupan. Di dalam sejarah Nusa panugrahan Bhatara Siwa di Gunung Agung yang dimiliki oleh Dalem Dukut bertemu dengan panugraham Bhatara Durgha yang dimiliki oleh Dalem Sawang, dengan pepatihnya I Renggan. Sebab itu kami menaruh perkiraan bahwa:
a. Pura Dalem Penataran Peed ini sudah didirikan pada jaman Dalem Dukut dimana beliau menggabungkan kedua kekuatan panugrahan itu. Padmasana, lambang white magic-nya digambarkan dengan padmasana disatukan dengan black magic dari pura Dalem dengan Ratu Gede Nusa (I Mecaling), sebagain pepatihnya.
b. Kemungkinan yang lain adalah dimana palinggih Bhatara Dalem Penataran ini sudah ada lebih dahulu, sebelum jaman Dalem Dukut sebagai palinggih penataran dari Bukit Mundi tempat Stananya Bhatari Durgha atau Dewi Rohini, sebagaimana dimaklumi bahwa hampir semua palinggih yang mulanya di puncak gunung yang kemudian dibuatkan panyawangannya [tempat pumujaan di rumah orang yang menjadi tempat di mana dewa tersebut akan dipuji, dalam bentuk semetara atau permanen] di bawah, di tempat yang .... lalu disebut Pura Penataran. Contohnya Penataran Agung Batukaru, Penataran Agung Besakih dan sebagainya. Kemudian setelah datang Dalem Dukut dan dapat mengalahkan Dalem Sawang, maka ditambahkan sebuah Palinggih lagi, yaitu Palinggih Padmasana. Dengan demikian maka Palinggih yang kuno tetap dipakai hanya ditambahkan dengan Padmasana dan Bale Agung saja.
III. Hal-hal lain
Piodalan/pengaci
Hari Piodalan jatuh pada tiap Budha Cemeng Klawu, enam bulan sekali , dan tingkatan upacaranya, biasanya hanya tingkat "Palagembal" [termasuk jenis upacara bergolongan "madya", yaitu pada tingkat biasa. Tingkat pertama adalah "Utama", sedangkan tingkat upacara yang sederhana adalah "Nista"] dan pada Piodalan Nadi "ditingkatkan sesuai dengan kemampuan desa-desa pengemongnya [penyungsungnya]". Upacara-upacara piodalan dilakukan sekali saja, tidak seperti di pura-pura besar lainnya di Bali dimana tiap palinggih mempunyai Piondalan sendiri, misalnya di Batur, Besakih dan sebagainya. Kalau keadaan pertanian memungkinkan, atau ada sesuatu hal yang istimewa maka dilakukanlah upacara "Ngusabha" dimana Ida Bhatara pura-pura yang ada di Nusa ikut serta "parum" (meeting, council) di Balai Agung Pura Dalem Penataran Peed.
Di seluruh Nusa hanya ada dua pura yang punya kedudukan yang sama seperti Pura Dalem Penataran Peed, yaitu Pura Batu Medau yang terletak di bagian Timur dari Nusa, yang mempunyai susunan dan status yang sama dengan Pura Dalem Peed. Pura-pura yang ada hubungannya dengan Pura Dalem Peed adalah: Pura Bukit Byaha, Pura Penida, Goa Lawah, Pura Segara, Pura Sakenan, Jungut Batu dan Bukit Mundi.
Pratima & Pralingga (the image of something, a drawing; whatever is used to represent the dead at a festival)
Di pura ini ada 2 buah pratima yang terbuat dari uang kepeng berwujud purusa pradana (laki-laki dan perempuan) yang dibuat oleh Tjokorda Mayun Putra dari Klungkung dan disimpan pada Gedong Penyimpen yang ada di leretan Palinggih sebelah Utara dan dibuat seperti menara menjulang tinggi. Pratima ini adalah buatan baru, sebab pratima yang lama sudah terbakar pada waktu rumah mangku yang ada di sebelah Timur Pura mengalami kebakaran, bersama alat-alat pura lainnya.
IV. Kesimpulan
Pura Dalem Penataran Peed adalah merupakan Pura Besar yang statusnya bisa disamakan dengan Sad Kahyangan di Pulau Bali, karena daerah pengaruh dari pura ini meliputi daerah Nusa dan Bali. Pura ini sifatnya unik karena palinggih dari Bhatara-bhatara yang disungsung di sana merupakan paduan dari bermacam-macam unsur dan tidak lazim kita jumpai pada pura-pura di Bali, misalnya: di Pura Dalem ada palinggih Padma dan ada Balai Agung tempat Upacara Ngusaba. Pura ini mungkin didirikan sebagai Pesimpang Bhatara di Bukit Mundi, karena Pura Dalem di sini tidak memakai setra, sedang yang melingga di Bukit Mundi adalah Bhatari Uma (Dewi Rohini), yaitu saktinya Bhatara Siwa. Kemudian pada jaman Dalem Dukut Pura ini diperluas dengan penambahan Balai Agung, Padmasana Penyawangan Besakih dan lain-lainnya sehingga sifatnya sebagai Pura Dalem menjadi kurang menonjol. Andaikata palinggih Pura Dalem, dan upacara-upacara "Mendak Tirtha" [memohon air suci] tidak kita jumpai di sana, maka orang tidak akan menyangka bahwa Pura ini adalah Pura Dalem pada asal mulanya.
Sebab-sebab purai ini terkenal sampai ke Pulau Bali adalah karena adanya Palinggih Ratu Gede Nusa yang sangat ditakuti dan dikeramatkan, terutama sekali di daerah Bali Timur. Mitologi mengenai Ratu Gede Nusa mengingatkan kita kepada kepercayaan semacam itu di Pulau Jawa, yaitu kepercayaan kepada Nyai Loro Kidul. Kekuatan magis oleh raja harus dikeramati dan hal ini dilukiskan dengan dimana Dalem harus berkawan dengan Ratu Gede Nusa, demikian pula halnya dengan Raja Jogja, Solo, harus kawin dengan Loro Kidul, agar keselamatan dan kesejahteraan rakyat dapat dicapai. Kalau dihubungkan lahirnya Dukuh Jumpungan dengan lahirnya Bhatara Kala ada persamaan-persamaannya, dimana Ratu Gede Nusa adalah turunan dari Dukuh Jumpungan dan kalau mitologi-mitologi ini dikaitkan dengan tattwa, maka akan cocok sekali dimana kekuatan Purusa dengan kekuatan Pradhana, walaupun bertentangan namun harus bertemu. Karena dengan pertemuan positif dan negatif inilah timbulnya gerak dan kehidupan. Contoh Axu [aki?], baru bisa mengeluarkan strum kalau positif dan negatifnya dipertemukan.
Sebagai akhir kata dari tulisan ini kami mohon saran-saran dan perbaikan-perbaikan demi kesempurnaannya.


No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini