Mpu Gnijaya, Mpu Kuturan, Danghyang Nirartha, Mpu Markandeya, dan Mpu
Baradah adalalah orang-orang suci yang pernah memperbaiki tatanan kehidupan
keagamaan di Bali. Mereka amat berjasa makanya hingga kini beliau-beliau itu
amat dihormatinya, dan disungsung/dipuja di berbagai pura. Diantara mereka itu
ada sepenggal informasi tentang “Mpu Kuturan” :
Mpu Kuturan merupakan salah satu dari Panca
Pandita yang tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon wuku
pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan atau
tahun caka 923 (1001M) yang berkaitan dengan Siwa
Buddha yang ada di Bali, selanjutnya berparhyangan di Pura Silayukti ( di Padangbai)
Dari adanya lontar Calon Arang dapat diketahui bahwa Mpu Kuturan berasal dari Jawa Timur yaitu di suatu tempat bernama Girah, dan disanalah beliau pernah berkuasa sebagai seorang Raja. Beliau berangkat dan menetap di Bali didorong oleh tiga factor penyebab yaitu:
Dari adanya lontar Calon Arang dapat diketahui bahwa Mpu Kuturan berasal dari Jawa Timur yaitu di suatu tempat bernama Girah, dan disanalah beliau pernah berkuasa sebagai seorang Raja. Beliau berangkat dan menetap di Bali didorong oleh tiga factor penyebab yaitu:
- Memenuhi permintaan raja suami istri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa yang bertahta di Bali pada tahun caka 910 sampai dengan 988 atau tahun 988M sampai dengan tahun 1011M, yang memerlukan keahlian beliau dalam bidang adat dan agama untuk merehabilitasi dan mestabilisasi timbulnya ketengangan-ketegangan dalam tubuh masyarakat Bali Aga
- Karena bertentangan dengan istri beliau yang menguasai magic. Sebab itu istri beliau ditinggalkan di Jawa yang dijuluki “Walu Natheng Girah” atau “Rangda Natheng Girah” (jandanya Raja Girah)
- Sebagai bhiksuka atau Sanyasa, beliau lebih mengutamakan ajaran dharma dari pada kepentingan pribadi
Kesempatan yang baik itu beliau pergunakan untuk untuk datang ke
Bali, karena dorongan kewajiban menyebarkan dharma. Selain Senapati, beliau
juga diangkat sebagai sebagai ketua Majelis ”Pakira kiran I Jro makabehan:,
yang beranggotakan sekalian senapati dan para pandita Ciwa dan Budha. Dalan
suatu rapat majelis yang diadakan di Bataanyar yang dihadiri oleh unsur tiga
kekuatan pada saat itu, yaitu
- Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua sidang
- Dari pihak Ciwa diwakili oleh pemuka Ciwa dari Jawa
- Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran.
Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri
Murti untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap sebagai
perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Konsesus yang tercapai pada waktu itu
menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana ditetapkan bahwa semua aliran di
Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut “Ciwa Budha” sebagai persenyawaan
Ciwa dan Budha. Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah
bangunan suci (pura) untuk memuja Sang Hyang
Widhi Wasa dalam perwujudannya yaitu Pura “Kahyangan
Tiga” yang menjadi lambang persatuan umat Ciwa Budha di Bali.
Di Bali, Salah satu nama Tuhan adalah Sang
Hyang Mbang atau Mahasunyi yang dalam agama Buddha ada istilah Sunyata. Tahun
baru di Bali dirayakan dengan sunyi (sunyata). Di Bali Selatan, ada Pura
Sakenan yang puncak piodalannya jatuh pada Hari Raya
Kuningan. Sementara Sakenan berasal dari kata Sakyamuni. Sakyamuni nama
asli Sidartha Gautama.
Mpu Kuturan sendiri adalah pendeta Buddha
yang peninggalannya adalah Meru, hasil modifikasi Pagoda umat Buddha.
Pada Abad ke-16, Bali mengalami masa
kejayaan di bawah Raja Dalem Waturenggong. Dalam masa kerajaan itu ada
penasihat spiritual yaitu pendeta Siwa-Buddha. Peninggalannya berupa Padmasana
Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7 prasasti peninggalan purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu Kuturan di Bali berpangkat “Senapati”, dan prasasti-prasasti tersebut kini masih terdapat:
Tentang adanya Mpu Kuturan di Bali dapat diketahui dari 7 prasasti peninggalan purbakala, dimana disebutkan bahwa Mpu Kuturan di Bali berpangkat “Senapati”, dan prasasti-prasasti tersebut kini masih terdapat:
- Di desa Srai, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tinggkat II Bangli, bertahun Caka 915 atau 993M
- Di desa Batur, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tingkat II Bangli, bertahun caka 933 atau 1011M
- Di desa Sambiran, kecamatan Tejakula kabupaten tingkat II Buleleng, bertahun caka 938 atau 1016M
- Di desa Batuan, kecamatan Sukawati kabupaten tingkat II Gianyar bertahun caka 944 (1022M)
- Di desa Ujung Kabupatendaerah tingkat II Karangasem bertahun caka 962 (1040M)
- Di Pura Kehen Bangli, kabupaten tingkat II Bangli, karena sudah rusak tidak tampak tahunnya
- Di desa Buahan, kecamatan Kintamani, kabupaten daerah tingkat II Bangli bertahun caka 947 (1025M)
No comments:
Post a Comment