Friday, October 5, 2012

Pura Agung Gunung Raung di Desa Taro



Disalah satu daerah tingkat dua Jagat bali ada sebuah Desa, Desa Taro namanya  kecamatan Payangan  kabupaten Gianyar. Disanalah Pura Agung Gunung Raung berdiri. Masih ingatkah anda dengan seorang Maharsi Markandeya?  Tatkala dulu beliau menyebarkan Agama Hindu di tanah Bali kurang lebih di abad ke 8, beliau mempunyai karya besar di Desa Taro.



Lembu putih, ciri khas Desa Taro tentu saja keberadaan Pura Agung Gunung Raung. Pura yang berdiri megah dekat kantor Perbekel Desa Taro ini menjadi salah satu kebanggaan warga setempat. Karenanya, dalam lambang Desa Taro, meru Pura Agung Gunung Agung menjadi latar lembu putih.
Pura Agung Gunung Raung juga mewariskan jejak Maharsi Markandeya ketika mengadakan perjalanan suci menyebarkan agama Hindu ke Bali. Pura ini didirikan sang rsi berbarengan pembukaan Desa Sarwa Ada yang menjadi cikal bakal Desa Taro kini.
Dalam lontar Bhuwana Tattwa Maharsi Markandeya disebutkan Pura Agung Gunung Raung merupakan pemindahan dari Pura Gunung Raung di Jawa Timur. Pura itu juga dibangun oleh Mharsi Markandeya sendiri.
Namun, sebelum tiba di Taro dan membangun Pura Agung Gunung Raung, Maharsi Markandeya sempat juga beristirhat sejenak di Brasela yang bertetangga dengan Taro. Karena tempat ini dirasa kurang tinggi, sang rsi melanjutkan mencari tempat ke arah utara yakni Taro. Meski begitu, sebagai penanda sang rsi pernah berjejak di tempat ini dibangun Pura Mas Merenteng.
Pura Agung Gunung Raung sendiri, menurut Jro Mangku Ktut Soebandi dalam bukunya Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali merupakan pura penyungsungan jagat. Hanya memang, pengemong pura ini dari masyarakat Desa Taro khususnya Desa Adat Taro Kaja yang berjumlah sekitar 227 kepala keluarga (KK). Meski begitu, warga dari desa-desa lain seperti Desa Sukawana, Blantih, Pengotan, Selulung, Jagaraga, Bayung Gede, Ubud dan lainnya ikut nyungsung pura ini.
Yang cukup unik, pura ini memiliki pemedal atau pintu masuk sebanyak empat buah di empat penjuru mata angin yakni timur, barat, utara dan selatan. Lazimnya, parahyangan-parahyngan lainnya di Bali hnya memiliki pintu masuk satu atau dua.
Namun, pemedal yang kerap digunakan umat hanyalah pemedal sisi utara dan selatan. Pemedal sisi timur tiada berani dilintasi karena ada pantangan tiada boleh mengenakan perhiasan emas. Entah karena apa, bila ada yang mengenakan perhiasan emas seperti kalung ems tau cincin emas, perhiasan itu kerap hilang. Sementara pemedal sisi brat praktis tidak pernah dimanfaatkan karena berhadapan dengan hutan seluas 40 are.
Tak cuma itu, padmasana agung berada di madyaning natah (di tengah-tengah). “Biasanya padmasana itu berada di sisi kaja kangin (timur laut)” kata Puri. Di sisi kaja kangin berdiri Pura Dalem Purwa.
Keunikan lain, di dekat pemedal Pura Agung Gunung Raung juga terdapat dua buah titi gonggang (jembatan yang labil). Masyarakat Desa Taro meyakini titi gonggang itu sebagai tempat bagi orang yang ingin masumpah. Misalnya ada orang yang belum membayar tetapi mengaku membayar, akhirnya bersumpah kepada orang yang dibayari. Di titi gonggang itulah bisanya sumpah itu dilaksanakan. Bila orang tersebut bisa melewati titi gonggang berarti orang itu memang benar, bila jatuh berarti orang itu salah.
Pujawali di Pura Agung Gunung Raung sendiri dilaksanakan tiap Buda Kliwon Ugu. Dulu, pujawali dilaksanakan cuma sehari dan puncaknya mesti tengah malam. Namun, semenjak Pura Agung Gunung Raung banyak didatangi umat yang hendak tangkil, Ida Bhatara kini nyejer selama tiga hari. Ini atas petunjuk Penglingsir Puri Ubud, Tjokorda Gde Suyasa. Tahun ini, di Pura Agung Gunung Raung dilaksanakan Karya Panca Wali Krama.
Meski begitu, pajenengan-pajenengan yang banyak terdapat di Pura Agung Gunung Raung yang juga kerap diberikan upacara patirthaan masih dilaksanakan sehari. (sumber > http://pojok-bali.blogspot.com )

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini