Selat Lombok ialah sebuah selat yang menghubungkan Laut Jawa dengan Samudra Hindia. Ia terletak di antara pulau Bali dan Lombok di Indonesia.
Selat Lombok terkenal sebagai salah satu lintasan utama throughflow Indonesia di mana terjadi pertukaran air antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Dia juga menandakan lintasan divisi biogeografikal antara fauna Indo-Malaysia dan jenis fauna yang sangat berbeda yaitu Australasia yang dikenal sebagai Garis Wallace, dinamakan berdasarkan Alfred Russel Wallace yang pertama kali berpendapat tentang perbedaan ayng mencolok antara dua mayoritas biomes di wilayah itu. Ketika level permukaan laut turun pada zaman es Pleistocene, Bali terhubung oleh Sumatra dan daratan Asia sehingga mempunyai fauna Asia yang sama. Namun dalamnya perairan tersebut menyebabkan Lombok dan Kepulauan Sunda Kecil tetap terasingkan. (sumber terpercaya > http://id.wikipedia.org )
Selat Lombok menandai batas flora dan fauna Asia. Mulai dari pulau Lombok ke arah timur, flora dan fauna lebih menunjukkan kemiripan dengan flora dan fauna yang dijumpai di Australia daripada Asia [2]. Ilmuwan yang pertama kali menyatakan hal ini adalah Alfred Russel Wallace, seorang Inggris di abad ke-19. Untuk menghormatinya maka batas ini disebut Garis Wallace.
Topografi pulau ini didominasi oleh gunung berapi Rinjani yang ketinggiannya mencapai 3.726 meter di atas permukaan laut dan menjadikannya yang ketiga tertinggi di Indonesia. Gunung ini terakhir meletus pada bulan Juni-Juli 1994. Pada tahun 1997 kawasan gunung dan danau Segara Anak ditengahnya dinyatakan dilindungi oleh pemerintah. Daerah selatan pulau ini sebagian besar terdiri atas tanah subur yang dimanfaatkan untuk pertanian, komoditas yang biasanya ditanam di daerah ini antara lain jagung, padi, kopi, tembakau dan kapas.
Sekitar 80% penduduk pulau ini adalah suku Sasak, sebuah
suku bangsa yang masih dekat dengan suku bangsa Bali, tetapi sebagian besar
memeluk agama Islam. Sisa penduduk adalah orang Bali, Jawa, Tionghoa dan Arab.
Sebagian besar penduduk pulau Lombok
terutama suku Sasak menganut agama Islam. Agama kedua terbesar yang dianut di
pulau ini adalah agama Hindu, yang dipeluk oleh para penduduk keturunan Bali
yang berjumlah sekitar 15% dari seluruh populasi di sana. Penganut Kristen,
Buddha dan agama lainnya juga dapat dijumpai, dan terutama dipeluk oleh para
pendatang dari berbagai suku dan etnis yang bermukim di pulau ini. Organisasi
keagamaan terbesar di Lombok adalah Nahdlatul Wathan (NW), organisasi ini juga
banyak mendirikan lembaga pendidikan Islam dengan berbagai level dari tingkat
terendah hingga perguruan tinggi.Di Kabupaten Lombok Utara, tepatnya di daerah Bayan, terutama di kalangan mereka yang berusia lanjut, masih dapat dijumpai para penganut aliran Islam Wetu Telu (waktu tiga). Tidak seperti umumnya penganut ajaran Islam yang melakukan salat lima kali dalam sehari, para penganut ajaran ini mempraktikan salat wajib hanya pada tiga waktu saja. Konon hal ini terjadi karena penyebar Islam saat itu mengajarkan Islam secara bertahap dan karena suatu hal tidak sempat menyempurnakan dakwahnya.
Di Cakranegara (dulu bernama kerajaan Cakranegara) Kota Mataram sekarang, dulunya ditemukan Naskah Lontar Kuno oleh Ekspedisi belanda (KNIL) kemudian diambil lalu dibawa ke Belanda, naskah lontar ini sebenarnya berada di Kerajaan Selaparang (sekarang sekitar daerah Pringgabaya, Lombok Timur), namun pada saat peperangan antara Bali dan Lombok, kerajaan Selaparang telah kalah karena diserang secara tiba-tiba, dan akhirnya semua harta benda milik kerajaan selaparang dirampas oleh pasukan Bali, sisa-sisa yang tidak terbawa kemudian dibakar. Termasuk mahkota emas Raja selaparang (Pemban Selaparang) dan naskah lontar Negara Kertagama yang sedang dipelajarai oleh para Putra dan Perwira kerajaan Selaparang. halaman ini ditambahkan oleh Lalu Zulkarnain, bekerja pada Sekretariat Daerah Kota Mataram. ( sumber > http://lombokpromo.wordpress.com)
Menurut isi Babad Lombok, kerajaan tertua yang pernah berkuasa di pulau ini bernama Kerajaan Laeq (dalam bahasa sasak laeq berarti waktu lampau), namun sumber lain yakni Babad Suwung, menyatakan bahwa kerajaan tertua yang ada di Lombok adalah Kerajaan Suwung yang dibangun dan dipimpin oleh Raja Betara Indera. Kerajaan Suwung kemudian surut dan digantikan oleh Kerajaan Lombok. Pada abad ke-9 hingga abad ke-11 berdiri Kerajaan Sasak yang kemudian dikalahkan oleh salah satu kerajaan yang berasal dari Bali pada masa itu. Beberapa kerajaan lain yang pernah berdiri di pulau Lombok antara lain Pejanggik, Langko, Bayan, Sokong Samarkaton dan Selaparang.
Kerajaan Selaparang sendiri muncul pada dua periode yakni pada abad ke-13 dan abad ke-16. Kerajaan Selaparang pertama adalah kerajaan Hindu dan kekuasaannya berakhir dengan kedatangan ekspedisi Kerajaan Majapahit pada tahun 1357. Kerajaan Selaparang kedua adalah kerajaan Islam dan kekuasaannya berakhir pada tahun 1744 setelah ditaklukkan oleh gabungan pasukan Kerajaan Karangasem dari Bali dan Arya Banjar Getas yang merupakan keluarga kerajaan yang berkhianat terhadap Selaparang karena permasalahan dengan raja Selaparang. [2]. Pendudukan Bali ini memunculkan pengaruh kultur Bali yang kuat di sisi barat Lombok, seperti pada tarian serta peninggalan bangunan (misalnya Istana Cakranegara di Ampenan). Baru pada tahun 1894 Lombok terbebas dari pengaruh Karangasem akibat campur tangan Batavia (Hindia Belanda) yang masuk karena pemberontakan orang Sasak mengundang mereka datang. Namun demikian, Lombok kemudian berada di bawah kekuasaan Hindia Belanda secara langsung.
Masuknya Jepang (1942) membuat otomatis Lombok berada di bawah kendali pemerintah pendudukan Jepang wilayah timur. Seusai Perang Dunia II Lombok sempat berada di bawah Negara Indonesia Timur, sebelum kemudian pada tahun 1950 bergabung dengan Republik Indonesia.
( sumber >> http://siswa.univpancasila.ac.id )
Suatu kisah di
Pulau Lombok :
Pada suatu ketika Sri Aji Waturenggong mempermaklumkan
kepada Dang Gurunya bahwa negara Bali sering diserang oleh Sri Aji Krahengan
dari Sasak (Lombok) yang sangat sakti dan pandai mengubah diri (maya-maya) dan
ahli melayang. Acapkali prajurit Dalem kalah dalam pertempuran di tepi laut,
hanya itu saja yang menggangu negaranya. Sebab itu beliau memohon nasihat
bagaimana caranya menghadapi musuh itu. Danghyang Dwijendra menjawab, “nanak Waturenggong, baiklah,
aku akan coba pergi ke Sasak sebagai utusan nanak, untuk datang kepada Sira Aji
Krahengan mengadakan persahabatan.
Oleh karena untuk keselamatan bersama, lebih baik
bersahabat daripada bermusuhan. Bersahabat akan lebih banyak mendapat
keuntungan bersama, sedangkan kalau bermusuhan banyak mendapat kerugian.
Akhirnya, pada suatu hari baik, Danghyang Dwijendra berlayar dengan menumpang jukung.
Pelayarannya lancar dan tidak mendapat aral suatu apa. Setibanya di Sasak,
langsung beliau masuk ke dalam purinya Sri Aji Krahengan. Ketika Sri Aji
melihat pendeta datang, segera beliau turun dari tempat duduknya dan menjemput
sang pendeta dengan hormat dan dipersilakan duduk dekat dengan beliau.
Setelah bersama-sama menikmati suguhan minuman, maka
Sri Aji Krahengan berkata dengan hormat menanyakan perihal kedatangan sang
pendeta. Danghyang Dwijendra menjelaskan
maksud beliau datang, itu atas perkenan, bahkan merupakan utusan dari Dalem
Waturenggong untuk mengadakan suatu ikatan persahabatan kepada Sira Aji Krahengan.
Danghyang juga menyatakan bahwa dengan
persahabatan kita akan dapat memupuk rasa persaudaraan dan memecahkan masalah
bersama, sebagai tanda persahabatan, Danghyang mengatakan bahwa ada baiknya kalau Sira Aji
memberikan salah seorang putrinya untuk menjadi istri Dalem Waturenggong.
“Sang pendeta, harap dimaafkan saja, karena kami tidak
dapat memenuhi sebagai anjuran sang pendeta itu. Sebaiknya sang pendeta pulang
saja!” Dengan hal yang demikian sang pendeta keluar dari dalam puri seraya
mengeluarkan kata-kata kutukan, “Semoga si Krahengan surut kesaktianmu dan
surut kebesaranmu!” Demikian kata beliau seraya menuju pesisir, naik ke atas
jukung yang ditumpangi tadinya lalu menuju pulau Bali. Setelah beliau tiba di
Gelgel kembali, sang pendeta dijemput Dalem Waturenggong dengan khidmad.
“Wahai Dang Guru, apakah berhasil usaha Dang Guru di
sana?” tanya Dalem Waturenggong ketika mereka duduk bersama. “Nanak
Waturenggong, tidak berhasil usahaku mengadakan ikatan persahabatan kepada si
Krahengan dan aku telah memberi kutukan (pastu) agar ia surut kewibawaannya,
tidak lanjut menjadi ksatria,” jawab sang pendeta.
No comments:
Post a Comment