Tuesday, April 30, 2019

Dikisahkan pada Kitab Panjiwikrama


Tanah Bali yang keloktah hingga ke sebrang lautan sana, seantero buana gituw,  sejatinya budaya yang terwariskan tidak terlepas dari yang namanya hiruk pikuk dinamika roda pemerintahan kerajaan neng Jawa kala itu, riilnya tanah Bali pernah ditahlukkan oleh Maja Pahit. Memang sebelum  daerah tahlukan di tanah Bali pernah ada beberapa raja yang pemerintah ; Tercatat di abad ke 8 prasasti blanjongpun ditemukan di seputaran Sanur berbahasa bali kuno, neng prasasti terpahat nama seorang raja Sri Kesari Warmadewa beserta penggantinya yang semuanya bergelar warmadewa, Usai itu muncul raja raja pengganti semisal Ratu Seri Ugrasena, serta seorang raja lainnya bergelar Sri Maharaja Sriwijaya Mahadewi kemudian muncul jua raja yang bergelar Dharma Udayana Warmadewa yang beristrikan Sri Gunapria Dharmapatni. Lakon penguasa tanah Bali berikutnya adalah Marakata yang lumrah dengan kata-kata sumpah neng prasasti peninggalannya  (Sapata) yang menorehkan nama dewa dewa Hindu. Pengganti Marakata adalah Anak Wungsu, konon Anak Wungsu meninggalkan lebih dari 20 prasasti, tanah Bali kala pemerintahan Anak Wungsu terbilang tentram damai, Ketahuilah raja terakhir yang pribumi tanah Bali yang memerintah Bali adalah Paduka Sri Astasura Bhumi Banten, beliaulah Si Raja Bedahulu itu, Kurang lebih baru enam tahun memerintah, datanglah Sang Penahluk dari Tanah Jawi . Cerita tahta berlakonkan trah orang tanah Balipun sirna, karena dengan tahluknya Bali di bawah panji tegar Majapahit pemerintah di tanah Bali digantikan oleh raja raja yang dikirim oleh pemerintah Majapahit, diantaranya raja kiriman Majapahit yang pertama adalah Raja Krisna Kepakisan. Reformasipun dilakukan yakni dengan memindahkan pusat pemerintahan dari Desa Samprangan ke Gelgel. Sri Kresna Kepakisan inilah yang merupakan cikal-bakal keberadaan raja-raja Bali selanjutnya, yang kemudian menurunkan warih pra-Dewa/kaum pra-Dewa neng tanah  Bali. Dalam babad (sastra sejarah) disebutkan, Sri Kresna Kepakisan kemudian digantikan oleh putranya, yaitu Sri Semara Kepakisan, yang kemudian lanjut menurunkan Dalem Waturenggong. Dalem Waturenggong kemudian menurunkan warih /keturunan), yaitu putra-putra / dengan memakai jati diri / gelar / sebutan ; I Dewa Anggungan, l Dewa Tegal Besung, serta yang lainnya. Di era pemerintahan Dalem Waturenggong yang didampingi penasehat linuih (purohita) yang bernama Danghyang Nirartha, Sang Porohita juga yang terkenal dengan usahanya menata kembali kehidupan beragama neng tanah Bali yakni Agama Hindu. Di era Majapahit warga Nusantara ini telah tergolong sebagai kaum intlek berpendidikan terbukti dengan banyaknya karya karya sastra indah diwariskan. Diantara karya karya sastra itu ada bebarapa kitab ; Negarakertagama oleh Mpu Prapanca, Mpu Tantular dengan kitabnya Sutasoma, Arjuna Wiwaha oleh Mpu Kanwa, lebih dari itu konon cerita penahlukan tanah Bali oleh Majapahit lewat Maha patihnya yang pemikir yakni Gajah Mada dikisahkan pada kitab Panjiwikrama, penahlukan tanah Bali memang megambarkan cerita istimewa riil tanah Bali tidak tertahlukkan sebelum Kebo Iwa, dan Ki Pasung Grigis mati maka dari itulah ceritra penahlukan tanah Bali sampai di torehkan dalam sebuah kitab. “ Bali Memang Beda. Astungkara bermanfaat”

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini