Di bulan Januari tahun 2019 senja hari saya memungut
sesobek kertas yang telah menjadi sampah dihalaman rumah di desa Belimbing,
sobekan kertas itu ternyata sobekan dari sebuah majalah bernuansa budaya terbit
di Bali tahun 2002 kemarin, saya baca sambil duduk menjelang hujan turun di
bulan basah. Saya tersenyum senyum sendiri di usia usur, karena memang semua
yang tertoreh di sobekan majalah itu jelas tegas merupakan potret hitam
putihnya budaya tanah Bali yang dikagumi oleh orang sejagat, walau potret hitam
putih tapi lugas menggambarkan salah satu bidang yang termasuk kedalam
kebudayaan Bali, bidang yang tergambarkan adalah bidang paling penting yakni
para seniman tari di tanah Bali.
Dibuka dengan suatu tanya “ apakah seniman Bali
benar-benar melakukan kegiatan seni tanpa pamrih, tanpa mengharapkan
penghasilan dengan mengorbankan tenaga serta waktunya, juga materinya untuk
mendukung kegiatan kesenian demi menyenangkan para dewa? “ Persis lugas terlakoni pada umumnya oleh para
seniman tradisional yang menari di pura pura dan tempat tempat suci sejenis
misalnya merajan dadia atau panti, yang mana kejadian kejadian itu tidak lain
merupakan rutinitas aktivitas para seniman tradisional tanah Bali, yang tiada
tersangkal hingga di tahun tahun kepemimpinan presiden NKRI yang ke tujuh,
tidak pernah disikapi oleh para seniman Bali modern yang menjajakan karya
karyanya dari galeri satu ke galeri lainnya. Bukan rahasia lagi di era era
serba global dan berbagai media sosial yang menjamur bahwa, pujian terhadap
kesenian dan seniman Bali terus didengungkan riil dengan mengatakan bahwa
kebudayaan Bali berlandaskan agama Hindu, dan ajaran agama Hindu mengajarkan
beryadnya secara tulus iklas. Dalam menciptakan karya seni kemudian
mempertunjukkannya dihadapakan para wisman yang nyata-nyata merupakan para Dewa
Pariwisata, maka dididiklah para seniman Bali itu untuk beryadnya. Jika
nantinya para seniman Bali itu menerima imbalan sekedarnya, tentu tidak akan
menuntut, karena mereka berkesenian adalah merupakan persembahan atau beryadnya.
Ironis bukan ? Astungkara, mereka
pemerhati kesenian dan cinta kebudayaan khususnya kebudayaan Bali merasa
terketuk hati demi para seniman Bali keseluruhan, niscaya hingga ke akhir zaman
budaya adi luhung Bali tidak akan “hanya tinggal cerita”.-
No comments:
Post a Comment