Wednesday, January 23, 2019

Demi Dewa Pariwisata




Di bulan Januari tahun 2019 senja hari saya memungut sesobek kertas yang telah menjadi sampah dihalaman rumah di desa Belimbing, sobekan kertas itu ternyata sobekan dari sebuah majalah bernuansa budaya terbit di Bali tahun 2002 kemarin, saya baca sambil duduk menjelang hujan turun di bulan basah. Saya tersenyum senyum sendiri di usia usur, karena memang semua yang tertoreh di sobekan majalah itu jelas tegas merupakan potret hitam putihnya budaya tanah Bali yang dikagumi oleh orang sejagat, walau potret hitam putih tapi lugas menggambarkan salah satu bidang yang termasuk kedalam kebudayaan Bali, bidang yang tergambarkan adalah bidang paling penting yakni para seniman tari di tanah Bali.


Dibuka dengan suatu tanya “ apakah seniman Bali benar-benar melakukan kegiatan seni tanpa pamrih, tanpa mengharapkan penghasilan dengan mengorbankan tenaga serta waktunya, juga materinya untuk mendukung kegiatan kesenian demi menyenangkan para dewa? “  Persis lugas terlakoni pada umumnya oleh para seniman tradisional yang menari di pura pura dan tempat tempat suci sejenis misalnya merajan dadia atau panti, yang mana kejadian kejadian itu tidak lain merupakan rutinitas aktivitas para seniman tradisional tanah Bali, yang tiada tersangkal hingga di tahun tahun kepemimpinan presiden NKRI yang ke tujuh, tidak pernah disikapi oleh para seniman Bali modern yang menjajakan karya karyanya dari galeri satu ke galeri lainnya. Bukan rahasia lagi di era era serba global dan berbagai media sosial yang menjamur bahwa, pujian terhadap kesenian dan seniman Bali terus didengungkan riil dengan mengatakan bahwa kebudayaan Bali berlandaskan agama Hindu, dan ajaran agama Hindu mengajarkan beryadnya secara tulus iklas. Dalam menciptakan karya seni kemudian mempertunjukkannya dihadapakan para wisman yang nyata-nyata merupakan para Dewa Pariwisata, maka dididiklah para seniman Bali itu untuk beryadnya. Jika nantinya para seniman Bali itu menerima imbalan sekedarnya, tentu tidak akan menuntut, karena mereka berkesenian adalah merupakan persembahan atau beryadnya. Ironis bukan ?  Astungkara, mereka pemerhati kesenian dan cinta kebudayaan khususnya kebudayaan Bali merasa terketuk hati demi para seniman Bali keseluruhan, niscaya hingga ke akhir zaman budaya adi luhung Bali tidak akan “hanya tinggal cerita”.-

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini