Monday, December 11, 2017

Tabuh rah yang malih rupa




Ntah termasuk memperkaya khasanah budaya atau tidak, karena umat Hindu di Bali dari sejak nguni banyak ritual keagamaannya dirangkaikan dengan kegiatan tabuh rah (serupa judi tajen). Tabuh Rah adalah suatu kata majemuk, yaitu rangkaan dua buah kata menjadi satu pengertian yang terdiri dari kata ”tabuh” dan ”rah”. Kata ”Tabuh” berarti tabur atau ”taur”, sesuai hukum perubahan bunyi bahasa Indonesia yang berarti bayar. Sedangkan kata ”rah” berasal dari kata ”darah”. Jadi Tabuh Rah berarti tawur darah, dengan kata lain pembayaran dengan darah. Jadi yang dimaksud dengan tabuh rah adalah taburan darah binatang kurban yang dilaksanakan di dalam rangkaian upacara agama/ritual keagaamaan, dimana tabuh rah ini lazimnya dilaksanakan dalam rangkaian upacara butha yadnya. Buta Yadnya berarti ; ”suatu kurban suci kepada Bhuta dan Kala”. Bhuta sendiri berasal dari akar kata ”Bhu” yang artinya ”menjadi”, atau telah ada, ada makhluk dan wujud. Tetapi pengertian Bhuta Kala secara filosopis adalah suatu kekuatan negatif yang timbul akibat terjadinya ketidak-harmonisan antara Bhuana Alit/manusia dengan Bhuana Agung/alam semesta (atas Kemaha KuasaanNya), yang oleh manusia ketidak-harmonisan itu dibayangkan seperti makhluk halus atau gaib yang mengganggu ketentraman hidup manusia. Tabuh rah sudah ada sejak jaman purba hingga zaman Majapahit dahulu, yaitu dengan dilakukannya pemotongan kepala ayam sebagai upacara kurban. Hal ini berdasarkan Prasasti Jaya Negara yang ditemukan di Sedoteko. Sedangkan di Bali, cara penaburan darah itu dilakukan dengan mengadakan sabungan ayam yang dinamakan tajen, yang mulai berlaku sejak abad 9, seperti disebutkan di dalam suatu prasasti, yang menyebutkan ; Blin darah  yang artinya biaya untuk darah. Demikian pula halnya jika ada bangunan yang baru selesai didirikan kemudian diupacarai/melapaspas, menurut adat zaman dulu, juga dibuatkan upacara kurban atau tabuh rah, seperti disebutkan di dalam ”Prasasti Serai” Nomor 302, lembar 3b, sbb ; --- ”yan mangdiri sanga ya, kajadyan panabungen” --- (Jika mendirikan Sanggar (sanggah), diijinkan mengadakan sabungan ayam) --- Prasasti ini adalah jaman pemerintahan raja suami-istri, yaitu: Ratu Sri Gunapria Dharmapatni dan Sri Udayana Warmadewa. Prasasti tsb bertanggal 26 Nopember 993. Juga tersebut di dalam Prasasti Batur Pura Abang, Nomor 305 yang berbunyi ; ”mwang yan makaryya-karyya, masanga kunang wgilaya manawunga makatang tlung parahan” --- (Dan lagi jika melaksanakan upacara mendirikan sanggar (sanggah), mereka diijinkan mengadakan sabungan ayam tiga kali pendaratan/ telung seet (bh.Bali) Di dalam pustaka Lontar ”Siwa Tattwa Purana”, disebutkan ; --- ”Mwang ring Tileming kasanga, hulun megawe yoga, teka wenang wang ing madhyapada magawe tawur kasowangan, den hana pranging satha, wenang nyepi sadina ika labain sangkala Dasa Bhumi, yanora samangkana rug ikang wang ing madhyapada ..... ” --- artinya : --- ”Lagi pula pada Tilem Kasanga, aku (Bhatara Siwa) mengadakan yoga, maka wajiblah orang di bumi ini membuat persembahan masing-masing, lalu adakan pertarungan ayam, dan nyepi sehari (ketika) itu beri kurban (hidangan) Sang Kala Dasa Bumi. Jika tidak, celakalah manusia di bumi).  Sesuai prasasti dan lontar di atas, maka pelaksanaan penaburan darah/ tabuh rah sering juga dilakukan dengan cara dan bentuk yang mentah. Dalam bentuk ini, darah binatang itu ditaburkan di tempat pelaksanakan upacara kurban . Cara menaburkan darah itu bermacam-macam, yang kalau di Bali dilakukan melalui sabungan ayam/tajen. Tetesan darah ayam yang disabung itu mengandung makna menaburi tempat upacara. Hal ini bermakna untuk menebus dosa, atau demi eratnya hubungan manusia dengan dunia gaib atau rokh-rokh di dunia niskala/kasat mata.


Namun karena sifat kemanusiaan (manusiawi) maka acap menyalah gunakan kesempatan dalam kesempitan,  Di lengkapi dengan kemalasan pada manusia maka tidak jarang acara tabuh rah itu di selingkuhkan menjadi ajang perjudian, misalnya tabuh rah itu paling banyak cuma tiga daratan/telung leeban/telung seet (bhs.Bali), namun pada perakteknya sering lebih dari itu maka tiada terbantah ajang perjudianlah jadinya (malih rupa). Tidak terbantah memang kegiatan sabungan ayam/tajen itu jamak ada neng Bali, walau pada riilnya ajaran agama Hindu mengharamkan tajen (judi/berjudi) ; Wahai penjudi janganlah bermain judi, lebih baik menjadi petani, disanalah kekayaan berlimpah rua, disanalah sapi piaraanmu, dan disana pula sejatinya kebahagiaan istrimu. Nyatalah bermain judi itu tidak baik bagi siapapun karena penjudi bisa menjual habis semua miliknya dan hanya akan menimbulkan hutang, contoh : Si Darma Wangsa dalam epos Brata Yuda. Dalam masyarakatpun keluarga para penjudi tidak akan memiliki kehormatan dalam artian kurang disegani. Judi itu membuat manusia malah bekerja (tamah memurti), saat berjudi itulah manusia lupa segala-galanya, hilang kesadarannya, dengan ending nan pasti akan mempergunakan segala cara mendapatkan uang. Niscaya kian bertambahlah yang namanya para pencuri, perampok, dan sejenisnya. Ajaran Hindu itu menyarankan agar penjudi kembali mengolah tanah menjadi petani, karena lewat bertani niscaya kebutuhan hidup akan terpenuhi, dengan kerja keras memang. Oleh karena itulah sesuai keyakinan Hindu jua, Dewa Sawita/Dewa Surya sebagai dewa pemberi rejeki berpesan kepada para penyembahnya agar bangun pagi-pagi serta melaksanakan kewajiban (swadharma). Kegelapan bagi para penjudi akan hilang saat matahari terbit dan cahaya muncul. Seandainya pesan itu dituruti oleh para penjudi, sudahlah tentu dia akan memperoleh kebahagiaan, astungkara

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini