Saturday, November 4, 2017

“Dalam ngaben ada agni pralina”



Wahai manusia, badannmu yang terbuat dari Panca Mahabhuta pada akhnya menjadi abu, dan atmamu akan memperoleh moksa. Karenanya ingatlah nama Tuhan yakni AUM, ingatlah nama Tuhan yaitu Om,  serta ingatlah senantiasa semua perbuatanmu

prosesi ngaben oleh umat Hindu khususnya di Bali memakai alat/serana yang dinamakan "wadah"

Dari sejak bertahun-tahun lalu, upacara pembakaran jenazah di Bali yang terkenal dengan upacara ngaben sering menjadi bahan soal (test) oleh para guru di tingkat sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama. Walau demikian tentang rincian upacara ngaben itu serta pengertiannya tidaklah banyak diungkap, karena lantaran salah satunya oleh kefleksibelan rangkaian aneka ritual keagamaan Hindu tidak terkecuali ritual ngaben tersebut ( desa kala patra ) ; Desa = tempat, kala = waktu, patra = keadaan (Apa yang benar pada suatu waktu, belum tentu benar pula pada waktu yang lain. Demikian pula apa yang benar pada suatu tempat atau keadaan, dapat berubah menjadi salah pada tempat atau keadaan yang lain /  Desa berarti tempat kita berada, kala adalah waktu saat kita berada, dan patra adalah keadaan ataupun situasi dan kondisi di mana kita berada

 
Ngaben sawa wedana di Bali



Demikian juga tentang pengertian upacara Ngaben atau 'Sawa Wedana” adalah mengupacarai orang yang telah mati atau mengupacarai ”sawa” (mayat/jenazah). Sejatinya ada  lebih dari satu pengertian mati, ; Yang pertama ;. Mati menurut PP No. 18 Tahun 1981, adalah orang disebut mati apabila otak dan batang otaknya sudah tidak berfungsi lagi. Yang kedua sesuai ajaran Hindu,  Mati menurut tattwa, yaitu orang disebut mati apabila atmanya meninggalkan badan kasar yang terbentuk dari lima unsur, dalam artian berpisahnya Panca Mahabhuta dengan Atma yang ada pada tubuhnya, hanya badan kasarnya saja yang hancur proses alami (membusuk), sedangkan Atmanya tetap tak berubah/langgeng sesuai sifatNya. Dan pengertian mati yang ketiga ; Mati menurut Upacara Agama ; Tiada bedanya sebuah bangunan rumah, meskipun secara fisik telah selesai, tetapi kalau belum diupacarai, seperti memakuh dan melaspas, maka seluruh rumah itu belumlah selesai namanya. Demikian pula halnya orang mati menurut pandangan agama Hindu, sebelum selesai diupacarai, belumlah orang itu disebut mati. ”Pertama-tama orang mati itu diupacarai, sebagaimana layaknya orang hidup, yaitu ; dimandikan dengan air biasa dan air bunga (air kumkuman), makerik kuku, maitik-itik, masisig, makramas, dikeningnya di taruh daun intaran, di dada diletakkan daun gadung, di hidung pusuh menuh, dikedua mata diisi cermin (tetelik dari cincin emas/selaka), kemaluan ditutupi dengan daun terong (bagi laki-laki) dan daun tunjung (bagi perempuan). Penyelenggaraan upacara memandikan jenazah di Bali sangatlah bervariasi menurut desa, kala, patra. Namun yang utama  di sini adalah, bahwa di dada, di kepala, hulu hati dan di setiap persendian diletakkan kwangen (buku-buku berbahan uang bolong) lambang pengurip-urip, setelah itu diberi pakaian sebagaimana layaknya orang hidup, selanjutnya dilangsungkan upacara persembahyangan. Setelah upacara persembahyangan, barulah dilakukan upacara ”mapepegat” yang ditandai dengan banten ”Lis Bale Gading”. Upacara mapepegat inilah sebagai tanda peresmian orang itu meninggal yang kemudian terus digulung dengan kain kafan. Kalau mayat sudah digulung, barulah kemudian dilanjutkan dengan memendem atau ngaben (atiwa-tiwa/pembakaran jenazah). Kata Ngaben sendiri berasal dari kata ”api”, mendapat prefik sengau ”ng” dan suffic (akhiran) ”an”, sehingga kemudian menjadi ”Ngapian”. Karena terjadinya hukum perubahan bunyi huruf ; pbmw, maka kata Ngapian lalu berubah menjadi ”Ngapen” atau ”Ngaben”, yang artinya menuju ”api”. Api dalam lambang agama Hindu adalah lambang Brahma. Jadi kata Ngaben artinya ”menuju alamnya Brahma” -Tujuan pokok upacara Ngaben atau Sawa Wedana ini adalah untuk menyucikan Atman dari ikatan Panca Mahabhuta yang disebut Stula Sarira. Stula Sarira (badan fisik/badan kasar) ini berupa sepuluh alat-alat indrya. Lima diantaranya, disebut ”Panca Buddhindrya” atau ”Panca Jhanendriya”, yakni ; mata, hidung, telinga, lidah dan kulit. Sedangkan lima alat indrya lainnya lagi disebut ”Panca Karmendriya”, yaitu ; kaki, tangan, mulut, dubur serta kemaluan. Ketika manusia mengalami kematian, maka kesepuluh alat-alat indriyanya ini kemudian dibakar atau dikembalikan ke alam asalnya. indriya-indriya inilah yang membangun jasmani manusia. Dan ketika manusia mati, indriya-indriya ini dianggap sudah tidak berfungsi lagi, karena itu perlu diselenggarakan upacara Ngaben atau Upacara Sawa Wedana (atiwa-tiwa/pembakaran jenazah), yang bertujuan mempercepat pengembalian unsur-unsur Panca Mahabhuta (air, api, tanah, angin dan ether) ke alam asalnya. Secara fisik, Stula Sarira (badan kasar) dan Suksma Sarira (badan halus) itu dibakar dengan api sekala, yaitu api alam. Sedangkan secara niskala (kasat mata / gaib), alat indriya dan indrayanya sendiri dibakar oleh api yang berasal dari mantra sang Pandita yang memimpin upacara tersebut. Api niskala dari sang Pandita itu disebut ”Agni Pralina”. Dengan Agni Pralina inilah semua alat indriya dan indriyanya dibakar. Agni Pralina ini keluar dari Puja Mantra sang Pandita, ialah yang didapat dari hasil tapa, brata , yoga dan samadhinya sang Pandita.-

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini