Sejujurnya saja diantara kita semua yang mana merupakan
ciptaanNya bebas untuk meyakini keberadaanNya dan bebas juga bagaimana kita
mewujudkan rasa hormat bhakti kita kepadaNya, itulah hak pokok kita sebagai
umat manusia para cendekiawan membilang
hak asasi. Demikian juga halnya dengan para penganut agama Hindu, tidak
ada yang melarang walau bagaimanapun caranya mengejawantahkan rasa bhaktinya
akan Tuhan Yang Maha Esa. Maha Tunggal Beliau, Hindu juga meyakini itu namun
lantaran diriNya tiada pernah mampu untuk digambarkan saking kebesaran
kuasaNya, Umat Hindu sesuai petunjuk dari orang yang danggap suci hanya mampu
memberikan banyak nama sesuai fungsi beliau ( manifestasinya yang diyakini berupa
sinar suciNya nan gemerlap indah).
Hindu itu amat yakin, bahwa dikesembilan arah mata angin ada sinar suci Tuhan yang dalam riilnya
dipuja/dimuliakan sebagai Dewa Nawa Sanga. Ditegaskan, bahwa kesemuanya itu
hanya sesuai fungsiNya/tugasNya misal di Utara diyakini bertempat Dewa Wisnu
warna Beliau hitam tugasnya sebagai
pemeliara/pelindung aneka isi jagat,
sedangkan di Selatan bertempat Dewa Brahma merah warnaNya sebagai pencipta segala isi jagat (maya pada).
Berkenaan dengan hal penciptaan khususnya sarwa prani/segala yang bernyawa dan
hal perlindungan dalam artian kelangsungan
keberadaan semua ciptaanNya di dunia ini tentu dibutuhkan sejenis
makanan sebagai sumber penghidupan. Kita semua tahu, sebagian besar sumber
makanan itu adalah dari aneka tumbuhan dengan protein nabatinya. Umat Hindu
(baca Hindu Bali), punya cara tersendiri dalam mengucapkan rasa syukurnya atas
keberhasilannya dalam bertani. Warga Hindu Bali meyakini semua tumbuhan itu
bisa menghasilkan dengan baik adalah atas kehendakNya khususnya manifestasi
Tuhan dalam hal menguasai segala jenis tumbuhan. Sanghyang Sangkara, demikian
Beliau disebut ada waktu tersendiri untuk beliau dalam memujaNya. Diyakini
menempati arah Barat Laut / wayabya / Kaja kauh (bhs.Bali) warnya Beliau sesuai
dengan warna daun aneka tumbuhan, yakni hijau. Di muliakan setiap 210 hari
sekali setiap hari Sabtu Kliwon Wariga / Tumpek Wariga. Di sebut rerainan jagat
tumpek wariga karena jatuhnya bertepatan dengan wuku Wariga, di daerah-daerah
tertentu di nusa kecil Bali ada yang menyebut : Tumpek Bubuh (karena serana
utama sesajen memakai bubur/bubuh (bhs.Bali)), ada juga nyang menyebutnya
Tumpek Pengatag. Sejak hari Tumpek Wariga itu, pas 25 harinya lagi tibalah Hari
Raya Galungan.-
No comments:
Post a Comment