Monday, December 29, 2014

Pura/ candi Gunung Kawi, Gianyar





Perasaan selalu dekat kepada Sang Pencipta karena salah satu efek dari sembahyang/ mengagungkanNya niscaya memberi pengaruh kesucian pada penyembahNya karena Dia bersifat maha suci. Siapa saja di atas bumi ini, kalau senantiasa berusaha agar dapat dekat denganNya dengan cara sembahyang maka orang itu akan memperoleh pahala kesucian dari Hyang Widhi (itu keyakinan Hindu). Demi mendekatkan kepada Hyang Widhi, dari sejak nguni para penganut Hindu yang taat memikirkan perlu yang namanya tempat suci sebagai tempat pemujaan/mengagungkanNya yakni tempat yang disucikan/disakralkan baik  dengan aneka serana pisik juga  spiritual. Suci yang dimaksud bukan hanya bersih, namun tempat itu memiliki kekuatan spiritual. Lumrah sudah, mendunia sudah bahwa tempat suci agama Hindu itu disebut pura, namun di beberapa daerah misalnya India dinamakan kuil, Mandira, di tanah Jawa dinamai candi sedangkan di Kalimantan Tengah bernama Balai Basarah. Demikian juga di zaman dinasti Warma di tanah Bali, telah di bangun suatu tempat suci yang lebih dominan ke arah candi, pahatan candi tebing nan terjal.


Pura/ candi Gunung Kawi sering disebut Gunung Kawi di Gianyar Bali merupakan pedharman keluarga dinasti Warma di Bali. Raja Udayana, Warmadewa, Marakata dan Anak Wungsu dari dinasti Warmadewa yang merupakan perpanjangan dinasti Warman di Kutai serta Tarumanegara... Semua candi merupakan pahatan atau relief pada batu padas dengan menggunakan bahasa Kawi...
Gunung kawi berada di Kabupaten Gianyar, yang berjarak sekitar 35 km arah timur laut tepatnya berlokasi di Banjar Penaka, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar.


Sejarah:
Candi Gunung Kawi adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat memuliakan roh Raja Udayana beserta keluarganya. Tafsiran ini dihubungkan dengan pahatan prasasti pada salah satu candi. Candi Gunung Kawi dibagi empat kelompok. Kelompok candi lima berada di sebelah timur Tukad Pakerisan. Semua bangunan mengarah ke barat.
Candi Gunung Kawi memiliki fungsi sebagai tempat memuliakan roh suci Raja Udayana Warmadewa, Marakata, dan Anak Wungsu. Di sebelah barat Sungai Pakerisan terdapat kelompok candi empat. diperkirakan empat candi dimaksud sebagai “ padharman ” empat selir Raja Anak Wungsu. Di sebelah barat daya, ada satu candi yang dikenal dengan candi ke-10 (sepuluh). Pada pintu masuk candi gunung kawi terdapat tulisan “ rakryan ”. Mencermati tulisan huruf Kadiri Kwadrat tersebut, besar kemungkinan kelompok candi ke-10 sebagai tempat padharman pejabat atau perdana menteri pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu..

Setelah melewati Gapura dan 315 anak tangga di pinggir sungai Pakerisan yaitu sebuah sungai yang mempunyai nilai sejarah yang sangat tinggi, terletak komplek candi Gunung Kawi. Obyek wisata ini termasuk wilayah Tampaksiring 40 km dari Denpasar.
Mengenai nama Gunung Kawi ini belum diketahui dengan pasti asal mulanya. Namun secara etimologi dikatakan berasal dari kata Gunung dan Kawi, yang berarti gunung adalah daerah pegunungan dan Kawi berarti pahatan. Jadi maksudnya ialah pahatan yang terdapat di pegunungan atau di padas karang.
Menurut sejarahnya diantara raja – raja yang memerintah di Bali yang paling terkenal adalah Dinasti Warmadewa. Raja Udayana adalah merupakan dinasti ini dan beliau adalah anak dari Ratu Campa yang diangkat anak oleh Warmadewa. Setelah dewasa Udayana nikah dengan Putri Jawa yang bernama Gunapriya Dharma Patni. Dari perkawinannya ini menurunkan Erlangga dan Anak Wungsu. Akhirnya setelah Erlangga wafat tahun 1041, kerajaanya di Jawa Timur dibagi Dua. Pendeta Budha yang bernama Empu Baradah dikirim ke Bali agar pulau Bali diberikan kepada salah satu Putra Erlangga, tetapi ditolak oleh Empu Kuturan. Selanjutnya Bali diperintah oleh Raja Anak Wungsu antara tahun 1029 – 1077 dan dibawah perintahnya Bali merupakan daerah yang sangat subur dan tentram. Setelah beliau meninggal dunia abunya disimpan dalam satu candi di komplek Candi Gunung Kawi. Tulisannya yang terdapat diatas pintu semu yang berbunyi : " Haji Lumah Ing Jalu " yang berarti Sang Raja dimakamkan di Jalu" sama dengan "Susuh" dari ( ayam jantan ) yang bentuknya sama dengan "Kris" maka perkataan Ing Jalu dapat ditafsirkan sebagai petunjuk " Kali Kris " atau Pakerisan. Raja yang dimakamkan di jalu dimaksud adalah Raja Udayana. Sedangkan tulisan " Rwa Anakira " yang berarti " Dua Anaknya " kemungkinan yang dimaksud makam Raja Udayana, Anak Wungsu dan Empat orang Permaisuri Raja serta Perdana Mentri Raja. Diseberang Tenggara atau dari komplek candi ini terletak Wihara ( tempat tinggal atau asrama para biksu / pendeta Budha ). Peninggalan candi dan wihara di Gunung Kawi ini diperkirakan pada abad 11 Masehi.

Sumber dan foto : www.facebook.com , sebuah status akun Tutde Astawan  :

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini