Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Sabang hingga Merauke
jadi ujung timur wilayahnya kemarin dulu
pernah termasyur dengan suatu nama nan populer “ Nusantara “. Terdiri dari ribuan
pulau besar juga kecil, suku bangsanya juga lumayan banyak tapi dunia tahu,
kerukunan nan sejati hanya ada di Nusantara di bawahnya garis khatulistiwa.
Perbedaan yang jamak ada bukan sebagai bahan utama untuk cerai berai namun
sebagai bahan utama pemersatu bangsa, jadilah bangsa besar “ Bangsa Indonesia “,
di tahun 2000 an telah lepas dari cengkraman para bangsa kapitalis lebih dari
setengah abad lalu.
Negara kepulauan, negara kesatuan itulah NKRI, diantara
ratusan jenis perbedaan yang nyata-nyata berupa kebudayaan yang dibanggakan
sepanjang zaman, ada yang unik tapi bertahan. Tentang kehidupan tradisi sejenis
kehidupan warga Desa Tenganan di tanah
Bali, di daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) ada suatu desa Sambori namanya,
disanalah tradisi unik bertahan hingga zaman reformasi ini. Suku Mbojo yang
mendiami desa itu, di sebuah dataran tinggi pegunungan Lambitu, kurang lebih
dengan lama tempuh 1 jam perjalanan dari kota Bima.
Walau nyata zaman ini era modern sudahlah tentu yang namanya
kehidupan modern telah menyentuh wilayah di sekitar Sambori, namun kampung yang
satu ini masih betah dengan kehidupan tradisionalnya. Contohnya, peralatan
serta perkakas yang dipakai semisal alat masak terbuat dari tanah liat, penutup
kepala memakai daun lontar, kulit pohon, atau daun pandan. Masyarakat Sambori
juga terkenal dengan sebutan orang Donggo Timur, mungkin karena di kabupaten
Bima juga ada kecamatan Donggo yang terletak
di barat kota Bima. Rumah mereka juga unik ( uma lengge dan uma jompa ), yang
terbilang langka hingga kini adalah rumah uma lengge. Uma lengge dipakai
sebagai rumah tinggal. Uma lengge sebagai tempat tinggal, kini hanya berupa dua
lantai padahal aslinya adalah tiga lantai. Para tamu diterima di lantai
pertama, saat bersantai juga di tempat yang satu ini, lantai duanya berguna sebagai ruang pribadi , tempat
tidur diantaranya. Kalau yang berlantai tiga, logistik disimpan di lantai tiga diantaranya
berupa padi/gabah. Ada juga semacam kesenian (tradisi) yang senantiasa di
pentaskan di areal persawahan berupa tarian diiringi nyanyian, kala musim tanam
dan musim panen tiba. Para dara dan perempuan dewasa, dengan tongkat kayu
berdiri berderet melangkah satu arah melubangi tanah lalu memasukkan bibit,
sambil bersenandung. Para lelaki di belakangnya menutup sembari merapikan tanah
yang telah diisi bibit tadi. Ada juga juga kesenian bela diri, yang bernama mpa’a
manca, merupakan bela diri khas pasukan kesultanan Bima tempo lalu. Ada juga
adu ketangkasan betis, mpa’a lanca namanya.
Masyarakat Sambori hingga kini masih taat mempertahankan semua kearifan
lokal yang dimliki walau nyata diantara keunikan yang ada, ada yang agak jarang
terlakoni akhir-akhir ini.
Sumber : koran mingguan tokoh, edisi 25 – 31 agustus
2014.
No comments:
Post a Comment