Saturday, January 11, 2014

Terkedepankanlah kebaikan di “Desa Bayan”



Di tengah hiruk pikuknya warga dunia lantaran pemanasan global mendera umat manusia, masih ada warga bumi yang ringkih bahu membahu bertahan mempertahankan suatu tradisi demi terselamatkan yang namanya sumber daya alam (khususnya air). Kita semua tahu, air itu identik juga dengan hutan (keberadaan hutan) maka jika mau air mengalir hingga jauh maka lestarikanlah hutan serimbun-rimbunya. Tersebutlah suatu desa di Lombok Utara, Desa Bayan demikian namanya, ada terpelihara secara berkelanjutan yang namanya “hutan adat” di wilayah Desa Bayan. Namanya saja hutan adat, tentunya segala sesuatu tentang hutan itu dikawal oleh adat misalnya jika mau masuk hutan. ( Segala hal yang dilakukan warga ketika masuk hutan, mesti melakukan ritual-ritual adat).

Terletak di atas sebuah perbukitan merupakan sebuah perkampungan warga/ adat Bayan, “Dasan Bangket Bayan” demikian namanya. Letaknya di tengah sebuah hutan adat, di kaki Gunung Rinjani. Di tempat itu tinggalah pasutri  (Amaq dan Inaq Parombaq), yang diangkat oleh musyawarah Adat Sasak Bayan, kepercayaan ada di pundaknya demi terjaganya keseimbangan alam dan kehidupan sosial masyarakat. Dasan Bangket Bayan adalah merupakan tempat asal usul kehidupan serta leluhur warga Sasak Bayan.

Loko Klo,demikian  namanya hutan adat itu, karena terkawal secara berkelanjutan oleh adat maka tidaklah heran, hutannyapun lebat, rimbun bahkan lembab, dingin, serta rada-rada gelap. Saking ketatnya pengawalan kelestarian hutan ini sampai-sampai jika ada pohon tumbang merintangi jalan warga, kalau hendak memotongnya harus ada ritual terlebih dahulu ( ngasuh).  Pohon di hutan ini bukannya tidak boleh ditebang, boleh ditebang tapi tidak dibolehkan memakai mesin gergaji, penebang harus pakai kapak atau parang. Para pelanggarnya di denda harus membayar dengan kerbau untuk upacara ngasuhnya.

Pengangkatan Amaq dan Inaq Perumbaq adalah berdasarkan garis keturunan yang ditunjuk oleh masyarakat adat. Jabatannya minimal tiga tahun, selama itu jua mereka bagai terkurung, karena tidak diperbolehkan keluar hutan, mereka hanya punya ruang gerak sekitar sepuluh are saja. Tapi mereka itu adalah orang pilihan, dengan tugas mulia menjaga keseimbangan alam demi kesejahtraan umat manusia. Demi kebutuhan hidup sehari-hari, dengan sukarela masyarakat adat selalu mengantarkan apapun kebutuhan pemangku adatnya ini. Masing-masing warga yang selesai panen punya kewajiban menyerahkan hasil panennya (tawa’an), jumlah yang diserahkan adalah seikat padi bulu dan seikat padi ketan.--




Sumber : koran tokoh, edisi  2 -8 deseember  2013.


              

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini