Di tengah hiruk pikuknya warga dunia lantaran pemanasan
global mendera umat manusia, masih ada warga bumi yang ringkih bahu membahu
bertahan mempertahankan suatu tradisi demi terselamatkan yang namanya sumber
daya alam (khususnya air). Kita semua tahu, air itu identik juga dengan hutan
(keberadaan hutan) maka jika mau air mengalir hingga jauh maka lestarikanlah
hutan serimbun-rimbunya. Tersebutlah suatu desa di Lombok Utara, Desa Bayan
demikian namanya, ada terpelihara secara berkelanjutan yang namanya “hutan adat”
di wilayah Desa Bayan. Namanya saja hutan adat, tentunya segala sesuatu tentang
hutan itu dikawal oleh adat misalnya jika mau masuk hutan. ( Segala hal yang
dilakukan warga ketika masuk hutan, mesti melakukan ritual-ritual adat).
Terletak di atas sebuah perbukitan merupakan sebuah
perkampungan warga/ adat Bayan, “Dasan Bangket Bayan” demikian namanya.
Letaknya di tengah sebuah hutan adat, di kaki Gunung Rinjani. Di tempat itu
tinggalah pasutri (Amaq dan Inaq
Parombaq), yang diangkat oleh musyawarah Adat Sasak Bayan, kepercayaan ada di
pundaknya demi terjaganya keseimbangan alam dan kehidupan sosial masyarakat.
Dasan Bangket Bayan adalah merupakan tempat asal usul kehidupan serta leluhur warga
Sasak Bayan.
Loko Klo,demikian namanya
hutan adat itu, karena terkawal secara berkelanjutan oleh adat maka tidaklah
heran, hutannyapun lebat, rimbun bahkan lembab, dingin, serta rada-rada gelap. Saking
ketatnya pengawalan kelestarian hutan ini sampai-sampai jika ada pohon tumbang
merintangi jalan warga, kalau hendak memotongnya harus ada ritual terlebih
dahulu ( ngasuh). Pohon di hutan ini
bukannya tidak boleh ditebang, boleh ditebang tapi tidak dibolehkan memakai
mesin gergaji, penebang harus pakai kapak atau parang. Para pelanggarnya di
denda harus membayar dengan kerbau untuk upacara ngasuhnya.
Pengangkatan Amaq dan Inaq Perumbaq adalah berdasarkan garis
keturunan yang ditunjuk oleh masyarakat adat. Jabatannya minimal tiga tahun,
selama itu jua mereka bagai terkurung, karena tidak diperbolehkan keluar hutan,
mereka hanya punya ruang gerak sekitar sepuluh are saja. Tapi mereka itu adalah
orang pilihan, dengan tugas mulia menjaga keseimbangan alam demi kesejahtraan
umat manusia. Demi kebutuhan hidup sehari-hari, dengan sukarela masyarakat adat
selalu mengantarkan apapun kebutuhan pemangku adatnya ini. Masing-masing warga
yang selesai panen punya kewajiban menyerahkan hasil panennya (tawa’an), jumlah
yang diserahkan adalah seikat padi bulu dan seikat padi ketan.--
Sumber : koran tokoh, edisi 2
-8 deseember 2013.
No comments:
Post a Comment