Berawal dari diutusnya Kyayi Penulisan Dauh Baleagung oleh
raja Gelgel kala itu (Dalem Watu Renggong), untuk mengundang Danghyang Nirartha
agar menghadap raja Gelgel. Dengan kuda putih pakaiannya juga serba putih maka
berangkatlah Kyayi Penulisan Dauh Baleagung menjalankan titah raja Gelgel
menuju Desa Mas. Singkat ceritra, dengan resmi kemudian mengangkat Danghyang
Nirartha sebagai pendeta raja / pendeta bangsawan kerajaan Gelgel. Pada waktu
itulah kerjaan Gegel ada pada puncak kejayaannya, berkat adanya sang pendeta raja
yang mendampingi dalam melakukan berbagai tugas pemerintahan, wibawa Sang Dalem
juga kian bertambah, berbagai wabah juga lenyap dari bumi Gelgel. Danghyang
Nirartha tidak hanya ahli dalam bidang
agama, juga dalam bidang kesusastraan. Kala itulah lontar-lontar di tanah Bali
mulai ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa kuno yang telah mengalami
perkembangan.
Pada suatu ketika ditengah aman tentramnya kerajaan Gegel, Danghyang
Nirartha memohon izin kepada raja agar diizinkan melakukan suatu dharmayatra
menjelajah tanah Bali. Sang Raja (Dalem
Watu Renggong) amat gembira mendengar rencana Danghyang Nirartha, dan mempersilahkan
beliau untuk segera memulainya. Pada hari yang telah dipilih maka mulailah Sang Pendeta dari Majapahit itu melakukan
suatu perjalanan, beliau mulai dengan menuju arah barat. Gianyar tertuju,
wilayah Badung terlewati dan beliaupun menyusuri pantai. Sebuah tanjung
menjorok jauh ke laut, terlihat oleh beliau. Langkah sang pendetapun terus
menuju tanjung itu, nyata terjadi amat indah batu karang bahan tanjung itu,
pertemuan antara daratan dan laut demikian asri lahirlah pemandangan yang
menembus ke segala arah dengan lautan yang terbentang luas yang nyata
membangkitkan perasaan kagum akan kebesaran Hyang Kuasa. Lama sang pendeta
merenung, menikmati keindahan alam, tiba tiba terdengarlah bisikan jiwa beliau,
bahwa tempat itu memang baik untuk tempat “moktah” . Maka dibuatlah tempat suci
diujung daerah tanjung yang menjorok indah ke laut itu. Berdirilah pura Ulu
Watu di tempat itu, dan di tempat pesraman sang pendeta didirikan sebuah pura :
Pura Bukit Gong
Setelah lewat beberapa waktu, sang pendetapun meninggalkan tanjung karang tersebut guna
melanjutkan misinya berdharmayatra, Meliwati tanah yang berbukit maka tibalah
sang pendeta di daerah Bualu. Dari Desa Bualu berjalan ke tenggara menuju
sebuah tanjung yang menjorok ke utara. Sang pendeta berhenti disana melepas
lelah, karena merasa haus lalu beliau menancapkan tongkatnya ke tanah,
tersemburlah air jernih di tempat itu. Disanalah beliau mandi dan juga minum
air. Para penduduk di sekitar amat gembira dengan adanya mata air baru itu.
Kemudian para pendudukpun mendirikan sebuah pura di tempat itu, “Pura Bukit
Payung” demikian diberi nama.-
No comments:
Post a Comment