Berangkatlah Mpu Bharadah menuju Balidwipa
Berjumpalah dirinya dengan sang pendeta yg teramat teguh hatinya
Di pertapaan Silayukti, senyap hanya suara ombak yang tak pernah diam
Dijemputlah sang adik seperguruan, yang teramat lelah dalam perjalanannya
Mpu Kuturan, sang kakak nan bijaksana memeluk sang adik yang bersahaja
Keduanya duduk berhadapan disuguhi keladi kukus dan teh jahe merah
Sungguh pertemuan yang mengharukan juga membahagiakan hati
Tak sabar Mpu Kuturan ingin mendengar keadaan di Jawadwipa
Tempat yang ditinggalkannya, mungkin selamanya tak akan pernah kembali
Hati tak dapat menahan diri, ingin mendengar kabar disana
Mpu Baradah pun bercerita diselangi tawa canda, menyenangkan hati sang kakak yang tengah direndam rindu. Setelah usai, mulailah bercakap tentang upacara dan upakara
Saling bertukar ilmu, mencerahkan diri tanpa ada perdebatan, sungguh keduanya bersahaja dan tinggi sastra. Mpu Kuturan berkenan padanya menggelar berbagai perkakas upakara yang sedang dibuat, sungguh takjub Mpu Baradah.
Setengah bulan berjalan di padang silayukti.Tibalah waktunya Mpu Baradah menyampaikan amanat. Amanat Prabhu Airlangga yang hendak mangkat dan meminta nasehat tahta bagi kedua puteranya.
"Sungguh suram rasa hatiku karena membawa beban berat ini kakanda Kuturan" Terhentaklah Mpu Kuturan sambil meletakkan kembali sirih gambir jambe yang hendak dikinang.
"Andaikata baginda hamba meminta hak sebagai putra pertama Uddayana dan menggantikannya sebagai rabhiseka prabhu di Bali, lalu diberikan kepada salah satu puteranya disana"
"Baginda hamba teramatlah risau, puteri mahkota, sang Sri Sanggrama Wijaya tak gubris memangku hakwarisnya, lebih menyukai biksuni daripada seorang ratu. Sedangkan kedua puteranya, sang Samarawijaya dan sang Garasakan pastilah akan saling berebut"
"Maka hendaklah Baginda hamba memohon agar diberikan satu di Jawa dan satu di Bali. Begitulah amanat yang hendak hamba sampaikan, semoga berkenan, tiadalah maksud hamba menyinggung perasaan, hamba ikut menanggung rana Baginda yang akan turun tahta"
Lalu terdiamlah Mpu Baradah menunggu jawaban Mpu Kuturan yang tengah menarik napas panjangnya
"Ingsun kira tidaklah bijaksana, sebab wus titah bathara Balidwipa diperintah Prabu Marakata Uddayana dan sudah ada raja penggantinya kelak. Ingatlah, bahwa kedua putera utama Maharaja Uddayana sudah sama-sama memerintah di Jawa dan di Bali, tak baik bila kelak menimbulkan perang saudara" begitulah jawabannya
Mendengar ucapan bijak Mpu Kuturan, terhentilah percakapan wasiat disitu
Tak santun bila dilanjutkan, dan beranjaklah dirinya mohon pamit diesok pagi kembali ke Jawadwipa.
Lalu terhempaslah sang angin membawa harum bunga kemuning. Meski tetaplah tidak mampu hilangkan rasa risau kedua pandita besar dijamannya. Yang pernah bersama dalam satu perguruan bagai kakak dan adik kandung. Karena hanyalah kakak adik seperguruan dibukit pertapaan Lemahtulis. Berpisahlah Mpu Baradah dipertapaan Silayukti, kembali menghadap Baginda Airlangga di Dhanapura.
Diakhir cerita haru dari amanat yang tak bisa dilaksanakan oleh kedua Mpu raja dijawa dan Bali, Sang Samarawijaya memangku tahta di Panjalu Khadiri, istananya di Dhanapura
Sedangkan, Sang Garasakan memangku tahta di Jenggala Keling, istananya di Surapura
Lalu diBalidwipa, Sang Anak Wungsu menggantikan Sang Marakata, tak ubahnya laksana mendiang Ibunda Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni, selalu sujud bhakti kehadapan Sang Hyang Widhi dan para dewata.
Berjumpalah dirinya dengan sang pendeta yg teramat teguh hatinya
Di pertapaan Silayukti, senyap hanya suara ombak yang tak pernah diam
Dijemputlah sang adik seperguruan, yang teramat lelah dalam perjalanannya
Mpu Kuturan, sang kakak nan bijaksana memeluk sang adik yang bersahaja
Keduanya duduk berhadapan disuguhi keladi kukus dan teh jahe merah
Sungguh pertemuan yang mengharukan juga membahagiakan hati
Tak sabar Mpu Kuturan ingin mendengar keadaan di Jawadwipa
Tempat yang ditinggalkannya, mungkin selamanya tak akan pernah kembali
Hati tak dapat menahan diri, ingin mendengar kabar disana
Mpu Baradah pun bercerita diselangi tawa canda, menyenangkan hati sang kakak yang tengah direndam rindu. Setelah usai, mulailah bercakap tentang upacara dan upakara
Saling bertukar ilmu, mencerahkan diri tanpa ada perdebatan, sungguh keduanya bersahaja dan tinggi sastra. Mpu Kuturan berkenan padanya menggelar berbagai perkakas upakara yang sedang dibuat, sungguh takjub Mpu Baradah.
Setengah bulan berjalan di padang silayukti.Tibalah waktunya Mpu Baradah menyampaikan amanat. Amanat Prabhu Airlangga yang hendak mangkat dan meminta nasehat tahta bagi kedua puteranya.
"Sungguh suram rasa hatiku karena membawa beban berat ini kakanda Kuturan" Terhentaklah Mpu Kuturan sambil meletakkan kembali sirih gambir jambe yang hendak dikinang.
"Andaikata baginda hamba meminta hak sebagai putra pertama Uddayana dan menggantikannya sebagai rabhiseka prabhu di Bali, lalu diberikan kepada salah satu puteranya disana"
"Baginda hamba teramatlah risau, puteri mahkota, sang Sri Sanggrama Wijaya tak gubris memangku hakwarisnya, lebih menyukai biksuni daripada seorang ratu. Sedangkan kedua puteranya, sang Samarawijaya dan sang Garasakan pastilah akan saling berebut"
"Maka hendaklah Baginda hamba memohon agar diberikan satu di Jawa dan satu di Bali. Begitulah amanat yang hendak hamba sampaikan, semoga berkenan, tiadalah maksud hamba menyinggung perasaan, hamba ikut menanggung rana Baginda yang akan turun tahta"
Lalu terdiamlah Mpu Baradah menunggu jawaban Mpu Kuturan yang tengah menarik napas panjangnya
"Ingsun kira tidaklah bijaksana, sebab wus titah bathara Balidwipa diperintah Prabu Marakata Uddayana dan sudah ada raja penggantinya kelak. Ingatlah, bahwa kedua putera utama Maharaja Uddayana sudah sama-sama memerintah di Jawa dan di Bali, tak baik bila kelak menimbulkan perang saudara" begitulah jawabannya
Mendengar ucapan bijak Mpu Kuturan, terhentilah percakapan wasiat disitu
Tak santun bila dilanjutkan, dan beranjaklah dirinya mohon pamit diesok pagi kembali ke Jawadwipa.
Lalu terhempaslah sang angin membawa harum bunga kemuning. Meski tetaplah tidak mampu hilangkan rasa risau kedua pandita besar dijamannya. Yang pernah bersama dalam satu perguruan bagai kakak dan adik kandung. Karena hanyalah kakak adik seperguruan dibukit pertapaan Lemahtulis. Berpisahlah Mpu Baradah dipertapaan Silayukti, kembali menghadap Baginda Airlangga di Dhanapura.
Diakhir cerita haru dari amanat yang tak bisa dilaksanakan oleh kedua Mpu raja dijawa dan Bali, Sang Samarawijaya memangku tahta di Panjalu Khadiri, istananya di Dhanapura
Sedangkan, Sang Garasakan memangku tahta di Jenggala Keling, istananya di Surapura
Lalu diBalidwipa, Sang Anak Wungsu menggantikan Sang Marakata, tak ubahnya laksana mendiang Ibunda Ratu Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni, selalu sujud bhakti kehadapan Sang Hyang Widhi dan para dewata.
No comments:
Post a Comment