Menurut sumber–sumber
berupa lontar, sastra, dan purana, Maharsi Markandeya berasal dari India.
Seperti dinyatakan dalam Markandeya Purana, “Sang Yogi Markandeya kawit hana
saking Hindu” yang artinya “Sang Yogi Markandeya asal mulanya adalah dari
India”. Dari data-data yang di dapatkan nama Markandeya bukan nama
perorarangan, melainkan adalah nama perguruan atau nama pasraman seperti halnya
juga nama Agastya. Perguruan atau pasraman adalah lembaga yang mempelajari dan
mengembangkan ajaran-ajaran dari guru-guru sebelumnya. Kebiasaan secara tradisi
yang diturunkan dari generasi ke generasi untuk melanjutkan tradisi dari guru
sebelumnya, yaitu dari guru ke murid dan seterusnya. Garis perguruan turun
temurun ini di sebut Parampara, dan tiap-tiap parampara menyusun pokok-pokok
ajarannya, dari parampara yang telah mengangkat guru dan murid untuk
melanjutkan garis perguruan ini dinamakan Sampradaya. Dari tiap-tiap sampradaya
menyusun pokok-pokok ajarannya dari sumber-sumber yaitu, Catur Weda, Purana,
Upanisad, Wedanta Sutra, dan Itihasa. Walaupun memiliki pandangan yang berbeda,
namun mereka mengambilnya dari Weda dengan tradisi turun-temurun yang sama
dalam menafsirkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran di dalam Weda. Demikian
akhirnya, pustaka-pustaka suci tersebut disebarkan, dimana di antaranya adalah
Markandeya Purana, Garuda Purana, Siva Purana, Vayu purana, Visnu Purana dan
lain sebagainya. Bahkan dari tiap generasi ke generasi terdapat nama diksa
(inisiasi) yang sama dengan nama pendahulunya. Jadi sang Maharsi Markandeya
adalah seorang rsi dari garis perguruan yang namanya sama dengan nama
pendahulunya di India, beliau datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama
Hindu, terutama paham Waisnava (pemuja Wisnu).
Ketika tiba di Indonesia, Maharsi
Markandeya berasrama di wilayah Pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Lalu beliau
ber-dharmayatra ke arah timur, dan tibalah di Gunung Raung, Jawa Timur. Disini
beliau membuka pasraman dimana beliau di dampingi oleh murid-murid beliau yang
di sebut Wong Aga (orang-orang pilihan). Beberapa tahun kemudian beliau
melanjutkan perjalanan ke timur, tepatnya ke pulau Bali yang ketika itu masih
kosong secara spiritual. Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, beliau juga
ingin mengajarkan teknik-teknik pertanian secara teratur, bendungan atau sistem
irigasi, peralatan untuk yajna dan lain-lain. Perjalanan beliau diiringi oleh
800 orang murid-muridnya.
Saat datang pertama kali ke Bali, beliau
datang ke Gunung Tohlangkir. Disana beliau dan murid-muridnya merabas hutan
untuk lahan pertanian, tetapi sayangnya banyak murid-muridnya terkena penyakit
aneh tanpa sebab, ada juga yang meninggal diterkam binatang buas seperti
mranggi (macan), ada yang hilang tanpa jejak, bahkan ada yang gila. Melihat
keadaan demikian, Maharsi Markandeya memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung,
lalu beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang menimpa murid-muridnya ketika
ke Bali. Akhirnya beliau mendapatkan petunjuk bahwa terjadinya bencana tersebut
adalah karena beliau tidak melaksanakan yajna sebelum membuka hutan itu.
Setelah mendapatkan petunjuk, Maharsi
Markandeya kembali lagi datang ke Bali tepatnya ke Gunung Tohlangkir. Kali ini
beliau hanya mengajak 400 orang muridnya. Tapi sebelum merabas hutan dan
kembali mengambil pekerjaan sebelumnya, Maharsi Markandeya melakukan upacara
ritual, berupa yajna, agni hotra, dan menanam panca datu di lereng Gunung
Tohlangkir, Nyomia, dan upacara Waliksumpah untuk menyucikan dan
mengharmoniskan tempat tersebut. Demikianlah akhirnya semua pengikut beliau
selamat tanpa kurang satu apapun. Oleh karena itu, Maharsi Markandeya kemudian
menamakan wilayah tersebut dengan nama Wasuki, kemudian berkembang menjadi nama
Basukian dan dalam perkembangan selanjutnya orang-orang menyebut tempat ini
dengan nama Basuki yang artinya keselamatan. Hingga saat ini, tempat ini
dikenal dengan nama Besakih dan tempat beliau menaman panca datu akhirnya di
dirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Besakih. Dan Maharsi Markandeya
mengganti nama Gunung Tohlangkir dengan nama Gunung Agung. Tidak hanya itu
saja, Maharsi Markandeya akhirnya menamakan pulau ini dengan nama Wali yang
berarti persembahan atau korban suci, dan dikemudian hari dikenal dengan
nama Bali Dwipa atau sekarang dikenal dengan nama Bali, dimana semua akan
selamat dan sejahtera dengan melaksanakan persembahan yajna atau korban suci.
Setelah beberapa tahun lamanya beliau akhirnya menuju arah barat untuk melanjutkan
perjalanan dan sampai di suatu daerah datar dan luas, sekaligus hutan yang
sangat lebat. Disanalah beliau dan murid-muridnya merebas hutan. Wilayah yang
datar dan luas itu dinamakan Puwakan, kemudian dari kata puakan berubah menjadi
Kasuwakan, lalu menjadi Suwakan dan akhirnya menjadi Subak.
Di tempat ini beliau menanam berbagai
jenis pangan dan semuanya bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan dengan
baik. Oleh karenanya tempat ini di namakan Sarwada yang artinya serba ada.
Karena keadaan ini dapat terjadi karena kehendak Tuhan lewat perantara sang
maharsi. Kehendak bahasa Balinya kahyun, kayu bahasa sansekertanya taru,
kemudian dari kata taru tempat ini dikenal dengan nama Taro dikemudian hari,
yang terletak di kabupaten Gianyar. Di wilayah ini Maharsi Markandeya
mendirikan pura sebagai kenangan terhadap pasramannya di gunung raung. Pura ini
dinamakan Pura Gunung Raung, bahkan hingga saat ini di bukit tempat beliau
beryoga juga di dirikan sebuah pura yang kemudian dinamakan Pura Luhur Payogan,
yang letaknya di Campuan, Ubud. Pura ini juga disebut pura Gunung Lebah.
Selanjutnya Mahasri Markandeya pergi ke arah barat dari arah Payogan dan
kemudian membangun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa, sedangkan
wilayahnya dan sebagainya di beri nama Parahyangan kemudian orang-orang
menyebutnya dengan sebutan Pahyangan. Dan sekarang tempat tersebut dikenal
dengan Payangan.
Orang-orang Aga, murid-murid Maharsi Markandeya menetap di desa-desa yang dilalui oleh beliau, mereka membaur dengan
orang-orang Bali mula, bertani dan bercocok tanam dengan cara yang sangat
teratur, menyelenggarakan yajna seperti yang di ajarkan oleh Maharsi
Markanadeya. Dengan cara demikian terjadilah pembauran orang-orang Bali mula
dan orang-orang Aga, kemudian dari pembauran ini mereka dikenal dengan nama
Bali Aga yang berarti pembauran penduduk bali mula dengan orang-orang aga,
murid Maharsi Markandeya, dengan adanya hal ini, maka Hindu dapat
diterima dengan baik oleh orang-orang Bali mula ketika itu. Sebagai rohaniawan
(pandita) orang-orang Bali Aga dimana Maharsi Markandeya menjadi pendirinya,
maka orang-orang Bali Aga dikenal dengan nama Warga Bhujangga Waisnava.
http://hyangsari.wordpress.com
>> Sumber
No comments:
Post a Comment