Pada zaman dahulu di Bali berkuasa seorang raja yang amat sakti
bernama Mayadenawa, merasa diri sakti iapun amat sombong rakyatpun ditekan
tidak diperkenankan melaksanakan upacara persembahan. Kayangan atau pura
dirusak, rakyat diancam kalau masih melakukan pemujaan kepada Dewata/ Sanghyang
widhi/ Tuhan. Hal inilah yang mendorong Pandhita Mpu Kulputih melakukan yoga
semadhi di Pura Besakih memohon petunjuk Hyang Widhi, akhirnya beliau mendapat
petunjuk dari Bhatara Maha Dewa agar meminta pertolongan ke Jambudwipa.
Pertolongan dari Sorgapun datang dibawah pimpinan Dewa Indra dengan pasukan
yang kuat bersenjatakan lengkap, menggempur Mayadenawa dari segala penjuru.
Pasukan sayap kanan dipimpin oleh Citrasena dan Citragada, pasukan sayap kiri
dipimpin oleh Sang Jayantaka sedangkan pasukan induk dipimpin oleh Bhatara
Indra, selain itu pasukan juga dipersiapkan dipimpin oleh Gandarwa. Untuk
menyelidiki kelemahan Mayadenawa dikirimlah Bhagawan Narada. Dilain pihak
Mayadenawa sendiri telah mengetahui kedatangan pasukan Bhatara Indra, maka
segala kekuatannya dipersiapkan dengan matang untuk menghadang serangan dari
pasukan Bhatara Indra.
Tibalah saatnya pasukan Bhatara Indra menyerang keraton Mayadenawa,
pasukannyapun mengadakan perlawanan dengan hebatnya sehingga banyak yang
mengalami korban dan banyak yang melarikan diri meninggalkan raja Mayadenawa,
tinggalah sang raja bersama patihnya yang sakti bernama Kala Wong. Oleh karena
matahari telah terbenam pertempuranpun dihentikan. Karena kelelahan pasukan
Bhatara Indrapun tidur dengan nyenyak, saat itulah kesempatan Mayadenawa untuk
meracuni air sungai dengan cetik, sedangkan Mayadenawa meninggalkan tempat itu
dengan berjalan memiringkan telapak kakinya agar tidak diketahui. Tempat itu
akhirnya disebut Tampaksiring. Keesokan harinya pasukan Bhatara Indra bangun
dari tempat tidur lalu mandi dan minum, alangkah terkejutnya Bhatara Indra
banyak pasukannya yang sakit dan meninggal. Melihat keadaan yang seperti itu
Bhatara Indra segera beryoga, menciptakan sumber air yang dapat dipakai obat
yang disebut dengan Tirtha Empul, dengan tirta inilah pasukan Bhatara Indra
dapat disembuhkan. Aliran tirtha empul ini mengalir menjadi sungai yang disebut
dengan Tukad Pakerisan. Kembali pasukan Bhatara Indra mengejar pelarian
Mayadenawa dan ia mengetahuinya lalu merubah dirinya menjadi manukraya,
ditempat itu kemudian diberi nama Manukaya. Pasukan Bhatara Indrapun kembali
mengejar Mayadenawa dan Mayadenawa merubah dirinya menjadi buah timbul, tempat
itu kini bernama Desa Timbul, lalu
menjadi busung (tempat itu menjadi Desa Blusung), lagi menjadi susuh (tempat
itu menjadi Desa Penyusuhan), menjadi Bidadari tempat itu disebut dengan Kedewatan,
namun Bhatara Indra tidak bisa dikelabaui dan terus mengejarnya, dalam keadaan
kepepet Mayadenawa dan Patih Kala Wong merubah diri menjadi batu padas,
diketahui juga oleh Bhatara Indra batu padas itupun dihujani dengan panah yang
mengakibatkan Mayadenawa dan Patihnya Kala Wong menemui ajalnya,darahnya terus
mengalir menganak sungai jadilah Sungai Petanu. “Kematian Mayadenawa merupakan
suatu kemenangan yang disebut dengan Galungan”
> Legenda Galungan.
Tentang Galungan ;
Kata
Galungan berasal dari Bahasa Jawa Kuno, yang artinya menang atau beruntung.
Galungan juga sama artinya dengan Dungulan yang berarti menang. Di Jawa wuku
yang ke 11 disebut dengan wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang ke 11
disebut wuku Dungulan. Namanya yang berbeda tetapi artinya sama. Mengenai asal
usul galungan memang agak sulit memastikannya, tapi dalam lontar purana Bali
Dwipa, disebutkan bahwa Galungan pertama kali dirayakan pada Hari Purnama
Kapat, Buda Keliwon Dungulan tahun 804 saka atau tahun 882 masehi, sejak itu
Galungan terus dirayakan oleh Umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan dirayakan selama kurang
lebih 3 abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya, pada tahun 1103 saka
perayaan Galungan dihentikan. Itu terjadi ketika raja Sri Eka Jaya memegang
tampuk pemerintahan dan raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan,
konon musibah datang tiada henti-hentinya, dan umur pejabat kerajaan konon
menjadi pendek. Ketika Sri Dhanadi mangkat, ia digantikan oleh Sri Jaya Kesunu
pada tahun 1126 saka, barulah Galungan dirayakan kembali dengan khidmat.
No comments:
Post a Comment