Monday, August 14, 2017

Kasihan, para petani Bali itu



 
" desa Belimbing " seorang petani tengah memanen padi /manyi (bhs.Bali)
Kasihan, prihatin, pedalem (bhs.Bali) kalimat itu dapat keluar dari semua mulut, dan ungkapan sejenis itu tentunya tertuju kepada mereka-mereka yang kurang beruntung bahkan untuk mereka yang tergolong gagal. Kekurang beruntungan ataupun kegagalan itu buanyak jenisnya, dan penyebabnya juga beraneka ragam. Fokus kita kali ini kembali ke tanah Bali yang senoktah kecil diantara luasnya areal NKRI, Bali memang kecil namun tidak banyak yang tahu jika di nusa kecil Bali itu ada lahan  pertanian basah (sawah) seluas  lebih dari tujuh puluh lima ribu hektar, lahan sawah seluas itu di kerjakan oleh para petani tangguhnya yakni 55% dari penduduk Bali, riil. Para  petani Bali itu dikatagorikan petani tangguh dalam artian tekun juga ulet, bukti riilnya diantaranya kala pada eranya kemarin saat pemerintah negeri ini gencar-gencarnya melaksanakan pemerataan penyebaran penduduk via transmigrasi, petani asal Bali itu buanyak yang dikirim ditempatkan di Sulawesi, Kalimantan, juga Sumatra. Saking tekun uletnya mereka sampai-sampai lantaran keberhasilannya di kawasan baru, menimbulkan cemburu sosial terhadap penduduk asli ( walau mereka sebangsa setanah air ).
 
" desa Belimbing " contoh lahan tanah sawah di Bali
 
" desa Belimbing " kecanggihan tehnologi juga dimanfaatkan oleh para petani Bali
Sejatinya kita semua khususnya para pemegang kebijakan (baca Pemimpin), harus dapat memahani situasi dan kondisi pertanian neng Bali, baik dari ketersediaan lahan dan juga sumber daya manusianya dalam hal ini para petani Bali, yang pada nantinya sudah tentu harus didukung oleh kecanggihan tehnologi. Jika para pemegang kebijakan tiada faham itu, bagaimana mungkin akan membuat suatu kebijakan yang membanggakan demi terbantunya para petani Bali kedepan yang notabene kondisinya amat memperhatinkan (tertekan), dibanding sector lain. Lebih Lanjut demi kita-kita yang mendiami tanah Bali, semoga para pemimpin kita nanti sedikit tidaknya faham akan ketahanan pangan. Harus terpetakan di alam pikiran mereka (baca pemimpin), bahan pangan apa saja yang tersedia di Bali, dan bahan pangan apa yang cocok di datangkan ke Bali dan nantinya bahan pangan itu berusaha dikembangkan di Bali demi kian mengurangi ketergantungan. Kalau tidak ada kebijakan yang relevan baik dari pemerintah dalam artian pemerintah tidak mengupayakan tanah itu berproduksi tidak musatahil warga Bali akan baru bertahan hidup jika yang namanya beras itu di datangkan ke Bali. Riil kongkrit yang menuai delematis, walau program Bali Mandara telah lebih dari delapan tahun dilaksanakan dengan menggebu sesemangat saat kampanye lalu, gabah barasal dari Bali dikirim ke Jawa untuk digiling, kemudian berasnya di jual lagi ke Bali.  Kalau saja teori bisa terterapkan, demi adanya peningkatan pendapatan petani Bali perlu adanya kepastian harga hasil produksi (kepastian pengambilan hasil pembelian petani). Regulasi juga penting, agar mekanisme berjalan antara pengalihan hasil pertanian dan harga. Bali itu juga tergantung dari pariwisata, maka semoga terpikirkan juga tentang blue print /rencana fit pengembangan pawiwisata Bali yang merata yang berkelanjutan berbasis budaya dan pertanian.-        astungkara”


No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini