Pada zamannya dahulu di tanah Bali bagian utara, wilayah
kabupaten Buleleng kini tersebutlah sebuah kerajaan yang bernama kerajaan
Kalianget. Pada suatu ketika pada kerajaan itu pernah terjangkit suatu wabah penyakit,
banyak rakyat yang meninggal, orang di tanah Bali menyebutnya gerubug. Diantara
sejumlah rakyat yang meninggal ada satu keluarga yang taraf kehidupannya serba
kekurangan, beranggautakan lima orang ayah ibu, seorang anak perempuan dan dua
anak laki-laki. Saat gerubug mewabah kedua orang tuanya meninggal, demikian
pula dengan anak yang pertama dan kedua. Nasib baik diterima oleh si bungsu,
anak ketiga di tanah Bali menyandang sebutan “ Nyoman “. Karena ayah bundanya meninggal demikian juga
para kakaknya, maka jadilah Nyoman anak yatim piatu.
Sejak nguni mungkin, setiap anak terlantar dipelihara oleh
pemerintah dan kenyataannya karena Nyoman anak yatim piatu maka atas kehendak
raja, Nyoman di ajak/ di tarik dipelihara dibesarkan serta di didik di lingkungan
keraton, jadilah Nyoman keluarga kerajaan yang mau tidak mau memperoleh
perlakuan khusus di banding anak pada umumnya. Sang raja amat sayang pada I
Nyoman, dua puluh lima tahun silam di pungut diantara kesekian rakyat yang
meninggal dan kini I Nyoman telah jadi anak yang dewasa, I Nyoman Jaya Perana
nama yang diberikan oleh Sang raja. Tumbuh I Nyoman Jaya Perana jadi orang yang
tampan rupawan, kulit kuning langsat, tutur sapanya lembut. Dibesarkan dan
dididik di lingkungan keraton mau tidak mau I Nyoman dapat perhatian yang cukup
utamanya dalam hal pendidikan, kebanyakan waktunya untuk mempelajari aneka
karya sastra (nyastra), mekidung atau gegitan. Sering kali sang raja meminta
agar Nyoman mekidung/metembang, diantaranya menembangkan kekawin Arjuna Wiwaha,
suaran Nyoman memang syahdu merdu cocok nian dengan rupanya yang tampan
rupawan. Banyak para dara yang mengintip saat Nyoman megegitan, diantaranya
banyak berkomentar “ itu baru anak muda tampan, semoga suatu ketika nanti saya
yang dilamar jadi pedamping hidupnya “.
Pada suatu ketika, usai I Nyoman Jaya Perana metembang
menghibur sang raja, sang raja menyatakan bahwa I Nyoman telah cukup dewasa dan
pantas untuk penya seorang istri. Maka sang raja menyuruh I Nyoman Jaya Perana
memilih calon pendamping pergi ke pasar, memilih diantara para gadis yang pergi
ke pasar, sesuai keterangan sang raja ada lebih dari enam ratus para gadis
pilihan. Maka pergilah I Nyoman ke pasar sesuai titah sang raja, Singkat
ceritra, ada seorang gadis datang dari utara mengalungkan selendang kain gringsing,
rambutnya panjang hingga ke punggung, perawakan semampai, senyum manis menawan.
I Nyoman Jaya Perana jatuh hati akan keelokan sang gadis, dari keterangan yang
di dapat, Ni Nyoman Layon Sari nama gadis itu, anaknya De Bendesa dari timur/banjar
kangin di Banjaran Sekar.
Usai pergi ke pasar I Nyoman Jaya Perana langsung pergi ke
keraton menghadap sang raja, menyampaikan bahwa dia telah menemukan seorang
gadis pilihan. Sang rajapun mengundang para penasehat, pepatih, serta semua
warga kerajaan untuk menghadiri rapat mempersiapkan dan merencakan pernikahan I
Nyoman Jaya Perana. Dalam rapat di sepakati, terhitung mulai hari itu ada saat/ hari baik untuk melangsungkan
sebuah pernikahan yakni lagi dua puluh delapan harinya. Waktu yang dimaksud adalah : Selasa Umanis
Kuningan, perhitungan orang Bali (Hindu) saat itu adalah sasih kepitu. Setelah
hari baik dipilih, lantas sang raja menulis surat tertuju kepada De Bandesa di
Banjaran Sekar yang tiada lain adalah orang tuanya Ni Nyoman Layon Sari. Surat
sang raja diantar langsung oleh I Nyoman Jaya Perana, singkat ceritra De
Bandesapun cumpu atau setuju dengan isi surat, menjadikan I Nyoman Jaya Perana
sebagai menantu, demikian juga dengan Ni Nyoman Layon Sari setuju menjadikan I
Nyoman Jaya Perana sebagai pendamping hidupnya.
Karena saking sayangnya sang raja kepada I Nyoman Jaya
Perana, maka persiapan upacara pernikahannya, untuk tempat kedua mempelai
dibuatkan rumah baru dan perlengkapan yang lainnya dengan bentuk yang amat
istimewa. Diantaranya dibuat dua bale
singasari, manca gina, bandung sari, bale gajah makakipu, dan yang lainnya yang
kesemuanya terkesan berlebihan. Selain aneka bangunan yang dibuat, menjelang
hari pernikahan aneka hiburanpun dipentaskan
diantaranya ada gambuh, juga wayang, tiada terpungkiri para hamba sahaja
saat itu dibebaskan untuk mabuk mabukan.. Tiada kecuali saat hari pernikahan
tiba, pakaian mempelaipun dapat di bilang berlebihan. Laki yang tampan dan
perempuannya yang cantik molek maka tepat nian bagaikan ratih kamajaya. Saat
upacara pernikahan itulah serasa bidadari Supraba kalah cantik, maka tiada
heran usai kedua mempelai sembahyang lantas menghadap sang raja, rajapun mulai
gundah gulana jatuh hati pada Ni Nyoman Layon Sari.
Setelah hari pernikahan I Nyoman Jaya Perana dengan Ni Nyoman
Layon Sari, perasaan sang raja semakin gundah gulana kasmarannya kepada Ni
Layon Sari kian menjadi. Dengan keadaan raja yang demikian para pembantu raja
diantaranya patih Saunggaling tanggap, maka Saunggalingpun memberi saran agar
jangan sampai di ketahui oleh khalayak dan berjanji akan dengan mudahnya
memperdaya agar I Nyoman Jaya Perana dapat disingkirkan / dibunuh demi menjadi
jandanya Ni Nyoman Layon Sari. Lantas,
sesuai dengan persetujuan sang raja maka setelah 42 hari pernikahan/ ebulan
pitung dina (bhs.Bali), I Nyoman Jaya Perana dipanggil ke keraton menghadap
sang raja. Dan I Nyoman Jaya Peranapun di tipu, dia diperintahkan pergi ke
Teluk Terima ( sebuah teluk di tengah hutan di Bali barat ), yang berjarak 55 kilo meter dari Kalianget, bersama dengan 40 orang pengikut/sahaja
diantaranya I Saunggaling, dengan tujuan mengusir suku bangsa Bajo yang memburu
menjangan dan kerbau tanpa izin. Usai rapat, para pembantu raja dan juga I
Nyoman Jaya Perana pulang ke rumah masing-masing.
Menjelang tidur Ni Nyoman Layon Sari membuat persiapan untuk
bekal perjalanan sang suami ke Teluk terima esok, diantaranya dipersiapkan sebuah lekesan berbahan sirih lengkap dengan
buah inang muda, uang 150, juga rokok
sudah dipersiapkan. Saat tengah malam lewat Nyoman Layon Sari bermimpi, memimpikan
rumahnya dihanyutkan oleh banjir bandang. Menjelang subuh Nyoman Layon Sari
bangun dan menyampaikan impian pada sang suami, dan menghalangi agar I Nyoman
Jaya Perana tidak jadi ikut ke Teluk terima. Naluri seorang istri ada benarnya,
Ni Nyoman Layon Sari tahu bahwa sang suami akan meninggal. Namun I Nyoman Jaya
Perana tenang menanggapi dan mengatakan
bahwa, kalau sudah kehendakNya walau dia
diam di tengah gedung terbuat dari batu tiada terhelakkan tentu dia akan mati.
Saat yang ditentukan untuk pergi ke Teluk terimapun datang,
pagi-pagi buta rombongan telah meninggalkan Kalianget, singkat ceritra
rombongan telah sampai di tepi pantai wilayah Bali utara tiba-tiba I Nyoman Jaya Perana kesandung,
bersimpuh lantas duduk istirahat dibawah
pohon kayu ketapang. Saat itulah I Nyoman Jaya Perana merasa diri tiada tenaga
seakan telah mati, perjalanan dilanjutkan tiba di Pabean langkahpun dipercepat
maka lekas tiba di Tanjung Tinge-tinge
mentaripun tenggelam rombongan menginap semalam. Keesokan hari kala subuh
menyapa, perjalanan dilanjutkan tiba di Grokgak, desa Pangulon telah terlewati,
perjalanan serasa cepat dan sungai pule terlewati, demikian juga desa Banyu Poh
maka tibalah di Pulaki, istirahat sejenak. Dan kala itu terdengarlah aneka suara penghuni hutan bali kauh ada
macan, menjangan, juga binatang yang lainnya. Subuh berikutnya menyapa,
perjalanan kembali dilanjutkan tiba di Gelis, Gendangan telah terlewati, tiba
di Tanjung Rejasa dan Pegametan, tiada terasa tibalah rombongan di Teluk
Terima.
Istirahat tidur sebentar, lantaran lesu sedemikian pulasnya
tidur I Nyoman Jaya Perana. Saat terjaga maha patih Saunggaling berbicara pada
I Nyoman, mengatakan bahwa dia utusan sang raja, lalu sepucuk surat dari sang
raja diberikan kepada Nyoman Jaya Perana. Dalam surat sang raja ditegaskan
bahwa, I Nyoman Jaya Perana punya salah besar kepada sang raja yakni berperilaku
menyamai penguasa/ memada-mada tingkahing gusti (bhs.Bali), yakni
memiliki/menikah dengan serang gadis yang sedemikian ayu (Ni Nyoman Layon
Sari), karena itu atas perintah dan kehendak raja I Nyoman Jaya Perana akan
dibunuh, juga istrinya akan di ambil sang raja sebagai istri/ dimadu. Setelah usai
membaca surat sang raja, Nyoman Jaya Perana sadar bahwa dia bisa hidup hingga
hari ini adalah atas kebaikan sang raja dua puluh lima tahun lalu. Kemudian I
Nyoman Jaya Perana menyatakan iklas mati kepada patih Saunggaling, dan berpesan
agar kelak sang raja dapat menerima Ni Nyoman Layon Sari apa adanya, karena dia
gadis desa belum tahu banyak tentang lingkungan istana.
Adegan berikutnya adalah, I Nyoman Jaya Perana langsung ditikam
dengan keris oleh patih Saunggaling yang sebelumnya telah terjadi komunikasi
tentang keiklasan untuk berkorban demi membela yang benar dan kewajiban
menghamba pada penguasa. Semua yang terjadi disaksikan jelas oleh para
rombongan diantaranya ke 40 orang pengikut, semua menangis tersedu. Pada hari
itulah di bali kauh ada aroma darah yang sewangi aneka bunga, kumbangpun
datang, mingisap darah darah wangi bukan bunga. Pada hari itu juga penomena
alam terjadi dari langit turun hujan
lebat, petir saling menyahut, bianglala yang nyata berupa teja gulingpun
muncul, gempa terasa, itu semua nyata
merupakan prabawanya I Nyoman Jaya Perana. Walau demikian keadaan alam,
mayat/jasad I Nyoman Jaya Perana diberlakukan sebagaimana mestinya dimandikan,
dikebumikan, dan diupacaraii.
Upacara penguburan usai, rombonganpun meninggalkan Teluk
Terima kembali ke Kalianget. Saat itulah banyak macan yang menguntit, terus
menerkam sepanjang jalan. Tiba di desa Pegametan teringgal 2 orang teman, lantas Pemuteran, Tanjung Serna, Pulaki telah terlewati, istirahat di
Sungai Pule. Pada hari berikut tiba
Grokgak tertinggal lagi 7 teman, desa Patas terlampaui, tiba di Pangulon,
Celukan Bawang telah lewat, sungai Jurang ditemui, lantas tiba di Brongbong,
disana terasa langkah telah lunglai mati terinjak 9 teman, tiba di Ketapang Undung,
mati lagi 5 teman. Pondok Jaringan terlampaui dahaga tiada terkira, saat minum
air mati lagi 3 teman. Hanya tinggal beberapa sahaja yang mampu bertahan
menghadap raja, diantaranya patih Saunggaling.
Kepada sang raja diceritrakan semua kejadian, sang raja
merasa senang hati. Pada hari-hari
berikutnya sang raja mulai membujuk merayu Ni Nyoman Layon Sari, namun iman Ni
Nyoman teguh kokoh. Lama kelamaan, apa daya iman seorang wanita desa tiada
sanggup menghadapi gangguan dari sang raja dan ditambah jua dengan perasaan
cintanya kepada suami I Nyoman Jaya Perana, maka Ni Nyoman Layon Sari menikam
dirinya dengan keris. Tahu bahwa Ni Nyoman Layon Sari telah mati bunuh diri, sang
rajapun jadi khilap semua pembantu juga warga istana tiada ubahnya binatang di
mata sang raja. Lalu sang raja mengunus keris, mengamuk di dalam dan di luar
istana, banyak korban yang jatuh. Oleh karena ancaman rakyat yang kuat, dan nyata tidak akan dapat mengatasi, lalu
sang raja membunuh dirinya sendiri.
Tidak sampai disana, beberapa bandesa yang cinta kepada raja menerima
fitnah, bahwa meninggalnya sang raja karena ulah rakyat. Karena itu mereka
selaku pembela mengamuk dan rakyat sebagai penentang/lawan, lalu menolak
serangan itu. Terjadilah perang saudara, tentu ada tangkis menangkis, tusuk
menusuk, semua rakyat besar kecil, laki perempuan menyerbu turut mengamuk
sengit. Dahsyat tiada berketentuan mana kawan mana lawan, asal dekat di tikam,
asal rapat dipenggal, maka akhirnya hancurlah kerajaan Kalianget. Hancur dalam
sehari, semua rakyat jadi korban kecuali keluarga Jro Bandesa Banjar Kanginan
di Banjaran Sekar.-
No comments:
Post a Comment