Tuesday, February 10, 2015

Kalianget, kerajaan yang hancur dalam sehari




Pada zamannya dahulu di tanah Bali bagian utara, wilayah kabupaten Buleleng kini tersebutlah sebuah kerajaan yang bernama kerajaan Kalianget. Pada suatu ketika pada kerajaan itu pernah terjangkit suatu wabah penyakit, banyak rakyat yang meninggal, orang di tanah Bali menyebutnya gerubug. Diantara sejumlah rakyat yang meninggal ada satu keluarga yang taraf kehidupannya serba kekurangan, beranggautakan lima orang ayah ibu, seorang anak perempuan dan dua anak laki-laki. Saat gerubug mewabah kedua orang tuanya meninggal, demikian pula dengan anak yang pertama dan kedua. Nasib baik diterima oleh si bungsu, anak ketiga di tanah Bali menyandang sebutan “ Nyoman “.  Karena ayah bundanya meninggal demikian juga para kakaknya, maka jadilah Nyoman anak yatim piatu.

ilustrasi " Jaya Prana - Layon Sari "

Sejak nguni mungkin, setiap anak terlantar dipelihara oleh pemerintah dan kenyataannya karena Nyoman anak yatim piatu maka atas kehendak raja, Nyoman di ajak/ di tarik dipelihara dibesarkan serta di didik di lingkungan keraton, jadilah Nyoman keluarga kerajaan yang mau tidak mau memperoleh perlakuan khusus di banding anak pada umumnya. Sang raja amat sayang pada I Nyoman, dua puluh lima tahun silam di pungut diantara kesekian rakyat yang meninggal dan kini I Nyoman telah jadi anak yang dewasa, I Nyoman Jaya Perana nama yang diberikan oleh Sang raja. Tumbuh I Nyoman Jaya Perana jadi orang yang tampan rupawan, kulit kuning langsat, tutur sapanya lembut. Dibesarkan dan dididik di lingkungan keraton mau tidak mau I Nyoman dapat perhatian yang cukup utamanya dalam hal pendidikan, kebanyakan waktunya untuk mempelajari aneka karya sastra (nyastra), mekidung atau gegitan. Sering kali sang raja meminta agar Nyoman mekidung/metembang, diantaranya menembangkan kekawin Arjuna Wiwaha, suaran Nyoman memang syahdu merdu cocok nian dengan rupanya yang tampan rupawan. Banyak para dara yang mengintip saat Nyoman megegitan, diantaranya banyak berkomentar “ itu baru anak muda tampan, semoga suatu ketika nanti saya yang dilamar jadi pedamping hidupnya “.

Pada suatu ketika, usai I Nyoman Jaya Perana metembang menghibur sang raja, sang raja menyatakan bahwa I Nyoman telah cukup dewasa dan pantas untuk penya seorang istri. Maka sang raja menyuruh I Nyoman Jaya Perana memilih calon pendamping pergi ke pasar, memilih diantara para gadis yang pergi ke pasar, sesuai keterangan sang raja ada lebih dari enam ratus para gadis pilihan. Maka pergilah I Nyoman ke pasar sesuai titah sang raja, Singkat ceritra, ada seorang gadis datang dari utara mengalungkan selendang kain gringsing, rambutnya panjang hingga ke punggung, perawakan semampai, senyum manis menawan. I Nyoman Jaya Perana jatuh hati akan keelokan sang gadis, dari keterangan yang di dapat, Ni Nyoman Layon Sari nama gadis itu, anaknya De Bendesa dari timur/banjar kangin di Banjaran Sekar.
Usai pergi ke pasar I Nyoman Jaya Perana langsung pergi ke keraton menghadap sang raja, menyampaikan bahwa dia telah menemukan seorang gadis pilihan. Sang rajapun mengundang para penasehat, pepatih, serta semua warga kerajaan untuk menghadiri rapat mempersiapkan dan merencakan pernikahan I Nyoman Jaya Perana. Dalam rapat di sepakati, terhitung mulai hari  itu ada saat/ hari baik untuk melangsungkan sebuah pernikahan yakni lagi dua puluh delapan harinya.  Waktu yang dimaksud adalah : Selasa Umanis Kuningan, perhitungan orang Bali (Hindu) saat itu adalah sasih kepitu. Setelah hari baik dipilih, lantas sang raja menulis surat tertuju kepada De Bandesa di Banjaran Sekar yang tiada lain adalah orang tuanya Ni Nyoman Layon Sari. Surat sang raja diantar langsung oleh I Nyoman Jaya Perana, singkat ceritra De Bandesapun cumpu atau setuju dengan isi surat, menjadikan I Nyoman Jaya Perana sebagai menantu, demikian juga dengan Ni Nyoman Layon Sari setuju menjadikan I Nyoman Jaya Perana sebagai pendamping hidupnya.

Karena saking sayangnya sang raja kepada I Nyoman Jaya Perana, maka persiapan upacara pernikahannya, untuk tempat kedua mempelai dibuatkan rumah baru dan perlengkapan yang lainnya dengan bentuk yang amat istimewa. Diantaranya  dibuat dua bale singasari, manca gina, bandung sari, bale gajah makakipu, dan yang lainnya yang kesemuanya terkesan berlebihan. Selain aneka bangunan yang dibuat, menjelang hari pernikahan aneka hiburanpun dipentaskan  diantaranya ada gambuh, juga wayang, tiada terpungkiri para hamba sahaja saat itu dibebaskan untuk mabuk mabukan.. Tiada kecuali saat hari pernikahan tiba, pakaian mempelaipun dapat di bilang berlebihan. Laki yang tampan dan perempuannya yang cantik molek maka tepat nian bagaikan ratih kamajaya. Saat upacara pernikahan itulah serasa bidadari Supraba kalah cantik, maka tiada heran usai kedua mempelai sembahyang lantas menghadap sang raja, rajapun mulai gundah gulana jatuh hati pada Ni Nyoman Layon Sari.

Setelah hari pernikahan I Nyoman Jaya Perana dengan Ni Nyoman Layon Sari, perasaan sang raja semakin gundah gulana kasmarannya kepada Ni Layon Sari kian menjadi. Dengan keadaan raja yang demikian para pembantu raja diantaranya patih Saunggaling tanggap, maka Saunggalingpun memberi saran agar jangan sampai di ketahui oleh khalayak dan berjanji akan dengan mudahnya memperdaya agar I Nyoman Jaya Perana dapat disingkirkan / dibunuh demi menjadi jandanya Ni Nyoman Layon Sari.  Lantas, sesuai dengan persetujuan sang raja maka setelah 42 hari pernikahan/ ebulan pitung dina (bhs.Bali), I Nyoman Jaya Perana dipanggil ke keraton menghadap sang raja. Dan I Nyoman Jaya Peranapun di tipu, dia diperintahkan pergi ke Teluk Terima ( sebuah teluk di tengah hutan di Bali barat ),  yang berjarak 55 kilo meter dari Kalianget,  bersama dengan 40 orang pengikut/sahaja diantaranya I Saunggaling, dengan tujuan mengusir suku bangsa Bajo yang memburu menjangan dan kerbau tanpa izin. Usai rapat, para pembantu raja dan juga I Nyoman Jaya Perana pulang ke rumah masing-masing.

Menjelang tidur Ni Nyoman Layon Sari membuat persiapan untuk bekal perjalanan sang suami ke Teluk terima esok, diantaranya dipersiapkan  sebuah lekesan berbahan sirih lengkap dengan buah inang muda, uang 150, juga rokok  sudah dipersiapkan. Saat tengah malam lewat  Nyoman Layon Sari bermimpi, memimpikan rumahnya dihanyutkan oleh banjir bandang. Menjelang subuh Nyoman Layon Sari bangun dan menyampaikan impian pada sang suami, dan menghalangi agar I Nyoman Jaya Perana tidak jadi ikut ke Teluk terima. Naluri seorang istri ada benarnya, Ni Nyoman Layon Sari tahu bahwa sang suami akan meninggal. Namun I Nyoman Jaya Perana  tenang menanggapi dan mengatakan bahwa, kalau sudah kehendakNya  walau dia diam di tengah gedung terbuat dari batu tiada terhelakkan tentu  dia akan mati.

Saat yang ditentukan untuk pergi ke Teluk terimapun datang, pagi-pagi buta rombongan telah meninggalkan Kalianget, singkat ceritra rombongan telah sampai di tepi pantai wilayah Bali utara  tiba-tiba I Nyoman Jaya Perana kesandung, bersimpuh  lantas duduk istirahat dibawah pohon kayu ketapang. Saat itulah I Nyoman Jaya Perana merasa diri tiada tenaga seakan telah mati, perjalanan dilanjutkan tiba di Pabean langkahpun dipercepat maka lekas  tiba di Tanjung Tinge-tinge mentaripun tenggelam rombongan menginap semalam. Keesokan hari kala subuh menyapa, perjalanan dilanjutkan tiba di Grokgak, desa Pangulon telah terlewati, perjalanan serasa cepat dan sungai pule terlewati, demikian juga desa Banyu Poh maka tibalah di Pulaki, istirahat sejenak. Dan kala itu terdengarlah  aneka suara penghuni hutan bali kauh ada macan, menjangan, juga binatang yang lainnya. Subuh berikutnya menyapa, perjalanan kembali dilanjutkan tiba di Gelis, Gendangan telah terlewati, tiba di Tanjung Rejasa dan Pegametan, tiada terasa tibalah rombongan di Teluk Terima.

Istirahat tidur sebentar, lantaran lesu sedemikian pulasnya tidur I Nyoman Jaya Perana. Saat terjaga maha patih Saunggaling berbicara pada I Nyoman, mengatakan bahwa dia utusan sang raja, lalu sepucuk surat dari sang raja diberikan kepada Nyoman Jaya Perana. Dalam surat sang raja ditegaskan bahwa, I Nyoman Jaya Perana punya salah besar kepada sang raja yakni berperilaku menyamai penguasa/ memada-mada tingkahing gusti (bhs.Bali), yakni memiliki/menikah dengan serang gadis yang sedemikian ayu (Ni Nyoman Layon Sari), karena itu atas perintah dan kehendak raja I Nyoman Jaya Perana akan dibunuh, juga istrinya akan di ambil sang raja sebagai istri/ dimadu. Setelah usai membaca surat sang raja, Nyoman Jaya Perana sadar bahwa dia bisa hidup hingga hari ini adalah atas kebaikan sang raja dua puluh lima tahun lalu. Kemudian I Nyoman Jaya Perana menyatakan iklas mati kepada patih Saunggaling, dan berpesan agar kelak sang raja dapat menerima Ni Nyoman Layon Sari apa adanya, karena dia gadis desa belum tahu banyak tentang lingkungan istana.

Adegan berikutnya adalah, I Nyoman Jaya Perana langsung ditikam dengan keris oleh patih Saunggaling yang sebelumnya telah terjadi komunikasi tentang keiklasan untuk berkorban demi membela yang benar dan kewajiban menghamba pada penguasa. Semua yang terjadi disaksikan jelas oleh para rombongan diantaranya ke 40 orang pengikut, semua menangis tersedu. Pada hari itulah di bali kauh ada aroma darah yang sewangi aneka bunga, kumbangpun datang, mingisap darah darah wangi bukan bunga. Pada hari itu juga penomena alam terjadi  dari langit turun hujan lebat, petir saling menyahut, bianglala yang nyata berupa teja gulingpun muncul, gempa terasa,  itu semua nyata merupakan prabawanya I Nyoman Jaya Perana. Walau demikian keadaan alam, mayat/jasad I Nyoman Jaya Perana diberlakukan sebagaimana mestinya dimandikan, dikebumikan, dan diupacaraii.

Upacara penguburan usai, rombonganpun meninggalkan Teluk Terima kembali ke Kalianget. Saat itulah banyak macan yang menguntit, terus menerkam sepanjang jalan. Tiba di desa Pegametan teringgal 2 orang teman,  lantas Pemuteran, Tanjung  Serna, Pulaki telah terlewati, istirahat di Sungai Pule.  Pada hari berikut tiba Grokgak tertinggal lagi 7 teman, desa Patas terlampaui, tiba di Pangulon, Celukan Bawang telah lewat, sungai Jurang ditemui, lantas tiba di Brongbong, disana terasa langkah telah lunglai mati terinjak 9 teman, tiba di Ketapang Undung, mati lagi 5 teman. Pondok Jaringan terlampaui dahaga tiada terkira, saat minum air mati lagi 3 teman. Hanya tinggal beberapa sahaja yang mampu bertahan menghadap raja, diantaranya patih Saunggaling.

Kepada sang raja diceritrakan semua kejadian, sang raja merasa senang hati.  Pada hari-hari berikutnya sang raja mulai membujuk merayu Ni Nyoman Layon Sari, namun iman Ni Nyoman teguh kokoh. Lama kelamaan, apa daya iman seorang wanita desa tiada sanggup menghadapi gangguan dari sang raja dan ditambah jua dengan perasaan cintanya kepada suami I Nyoman Jaya Perana, maka Ni Nyoman Layon Sari menikam dirinya dengan keris. Tahu bahwa Ni Nyoman Layon Sari telah mati bunuh diri, sang rajapun jadi khilap semua pembantu juga warga istana tiada ubahnya binatang di mata sang raja. Lalu sang raja mengunus keris, mengamuk di dalam dan di luar istana, banyak korban yang jatuh. Oleh karena ancaman rakyat yang kuat,  dan nyata tidak akan dapat mengatasi, lalu sang raja membunuh dirinya sendiri.  Tidak sampai disana, beberapa bandesa yang cinta kepada raja menerima fitnah, bahwa meninggalnya sang raja karena ulah rakyat. Karena itu mereka selaku pembela mengamuk dan rakyat sebagai penentang/lawan, lalu menolak serangan itu. Terjadilah perang saudara, tentu ada tangkis menangkis, tusuk menusuk, semua rakyat besar kecil, laki perempuan menyerbu turut mengamuk sengit. Dahsyat tiada berketentuan mana kawan mana lawan, asal dekat di tikam, asal rapat dipenggal, maka akhirnya hancurlah kerajaan Kalianget. Hancur dalam sehari, semua rakyat jadi korban kecuali keluarga Jro Bandesa Banjar Kanginan di Banjaran Sekar.-

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini