Sunday, February 8, 2015

Berawal Petra, akhirnya Betara Hyang Guru




Tiada terpungkiri upacara ngaben yang telah terkenal hingga ke manca  negara sana  merupakan salah satu jenis kebudayaan para warga Hindu neng tanah Bali, tentunya merupakan salah satu jenis daya tarik para wisman untuk senantiasa mengenang  tanah Bali sepanjang ayatnya. Ngaben itu upacara penghormatan bagi seluruh anggauta keluarga kepada  anggauta keluarga yang lebih dulu meninggalkan alam maya pada ini, pitra yadnya demikian sebutannya. Sejatinya bagi warga Hindu, setelah pelaksanaan ngaben rangkaian upacara pitra yadnya bukannya telah berakhir namun masih ada aneka tahapan berikutnya.

Ngaben di Durentaluh Belimbing Pupuan Tabanan Bali

Diyakini oleh para penganut Hindu, setelah diaben atma masih terbungkus suksma sarira/lingga sarira, atma yang telah diaben disebut pitara. Untuk melepaskan suksma sarira itu dari sang pitara maka perlu dilakukan suatu upacara yang bernama atma wedana. Sesuai dengan buku K. Nadha Sang Perintis halaman 94, upacara atma wedana itu ada lima tingkatan upacara berdasarkan cakupannya, yakni : ngangseng, nyekah, mamukur, maligia, serta ngeluwer. Makna dan fungsi kelima tingkatan upacara itu sama, yang membedakannya adalah besar kecilnya upakara berdasarkan kemampuan sosialnya.  Kalau upacara atma wedana itu dilaksanakan hingga tingkatan ngeluwer, apapun yang diminta orang yang datang asalkan wajar wajib untuk dikabulkan oleh yang melakukan upacara. Dengan serana upacara diyakini oleh penganut Hindu mampu mendekatkan diri kepada sesama, alam beserta isinya, dan juga Hyang Kuasa, diyakini kian besar tingkatan upacara maka cakupan yang didekatkan akan lebih luas.  Umat Hindu percaya, setelah tingkatan upacara tertentu penyebutan atma orang yang telah meninggal berbeda-beda. Begitu  meninggal disebut petra/petala, setelah diaben disebut pitara, dan setelah dilakukan atma wedana disebut dewa pitara. Dan setelah disebut dewa pitara upacaranya tidak masih bernama pitra yadnya umat Hindu menamai nuntun. Dewa pitara di tuntun, kemudian distanakan /kalinggihang di Sanggah Kemulan/ Pelinggih Hyang Guru  lantas disebut Batara Hyang Guru.-


Sumber bacaan : buku K.Nadha Sang Perintis.

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini