Tuesday, January 21, 2014

Pesamuan Agung itu dipimpin Mpu Kuturan



Pada suatu masa kemarin dulu di Jawa sana ada suatu wilayah yang bernama Girah, disanalah seorang Mpu yang punya nama besar di tanah Bali pernah bertahta. Berputri seorang, amat cantik nian Dyah  Ratna Menggalai nama Sang Putri. Lantaran beda alur keyakinan retaklah kerukunan keluarga Sang Raja ( sang istri menerapkan ilmu hitam/teluh terangjana, sedangkan Sang Raja/Mpu Kuturan menerapkan ilmu putih/kebajikan). Selisih faham keyakinan rupanya tiada pernah ada ujungnya, maka pada suatu ketika pada hari yang telah dipilih Sang Mpu (Mpu Kuturan) meninggalkan istri dan anaknya menuju tanah Bali. Karena menjadi janda, istri Mpu Kuturan dijuluki “ Walu atau Rangda Natheng Girah” yang artinya : janda raja Girah.

Pada saat Mpu Kuturan berhasil melangkahkan kakinya dari hari ke hari di tanah Bali, di tanah Bali sedang terjadi kemelut berkepanjangan di kalangan masyarakat Bali karena adanya dampak perbedaan kepercayaan dan penganutan agama yang berbeda. Yang tengah berkuasa/ jadi rajanya tanah Bali kala itu adalah Sri Gunaprya Dharmapatni. Saat pemerintahan beliaulah Mpu Kuturan dipercaya sebagai seorang senapati, dan karena juga ahli dalam bidang lainnya : politik dan pemerintahan maka Mpu Kuturan kala itu juga dipilih dan diangkat selaku ketua majelis “ pakiran-kiran ijro makabehan” yang beranggotaan semua senapati dan para pandhita, dangacarya dan dangupadhaya ( Siwa dan Budha).

Berbekal pengalaman sebagai raja Girah, Mpu Kuturan menemukan  kiat guna mengatasi kemelut yang berkelanjutan di kalangan masyarakat tanah Bali.  Pada suatu hari yang dianggap baik dan tepat, maka Mpu Kuturan selaku ketua Majelis Pakira-kiran Ijro Makabehan mengadakan pesamuhan agung, bertempat di Bata Anyar. Diundanglah semua tokoh dari masing-masing penganut kepercayaan dan pemeluk agama, yang dibedakan jadi tiga kelompok ;
a.      Dari penganut agama Budha, diwakili sendiri oleh Mpu Kuturan
b.      Tokoh-tokoh / pimpinan orang Bali Aga, dari masing-masing kepercayaan dan pemeluk agama : sadpaksa/ enam sekte agama, dijadikan satu kelompok.
c.       Para tokoh dan pimpinan agama Siwa ( didatangkan dari Jawa ).

Pada kesempatan yang baik itulah, Mpu Kuturan menyampaikan suatu kesimpulan akhir dan juga merupakan hasil dari pesamuhan agung itu yakni : bahwa penyebab utama kemelut berkepanjangan diantara masyarakat tanah Bali adalah agama.  Sebab itulah Mpu Kuturan memandang perlu mengadakan berbagai perubahan serta mengatur kembali tatanan kehidupan masyarakat  dengan suatu peraturan berdasarkan siatuasi dan kondisi serta aspirasi masyarakat. Maka saat itu lahirlah rumusan/keputusan yang menyangkut semua aspek masyarakat. Faham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan, oraganisasi  kemasyarakatan dinamai Desa Pakraman, dan agar didirikan Kahyangan Tiga ( Pura Bale Agung/Pura Desa, Pura Puseh/Pura Segara, Pura Dalem/Hulu Setra), di setiap rumah tangga diwajibkan mendirikan sebuah pelinggih berbentuk  Rong Tiga, semua tanah pekarangan dan tanah-tanah disekitar desa pakraman dan pura Kahyangan Tiga adalah milik Desa Pakraman, tentang nama agama yang dianut oleh masyarakat tanah Bali adalah agama “ Siwa-Budha”

Sumber  : buku babad pasek, seri babad Bali.

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini