Pada suatu masa kemarin dulu di Jawa sana ada suatu wilayah
yang bernama Girah, disanalah seorang Mpu yang punya nama besar di tanah Bali
pernah bertahta. Berputri seorang, amat cantik nian Dyah Ratna Menggalai nama Sang Putri. Lantaran beda
alur keyakinan retaklah kerukunan keluarga Sang Raja ( sang istri menerapkan
ilmu hitam/teluh terangjana, sedangkan Sang Raja/Mpu Kuturan menerapkan ilmu
putih/kebajikan). Selisih faham keyakinan rupanya tiada pernah ada ujungnya,
maka pada suatu ketika pada hari yang telah dipilih Sang Mpu (Mpu Kuturan)
meninggalkan istri dan anaknya menuju tanah Bali. Karena menjadi janda, istri
Mpu Kuturan dijuluki “ Walu atau Rangda Natheng Girah” yang artinya : janda
raja Girah.
Pada saat Mpu Kuturan berhasil melangkahkan kakinya dari hari
ke hari di tanah Bali, di tanah Bali sedang terjadi kemelut berkepanjangan di
kalangan masyarakat Bali karena adanya dampak perbedaan kepercayaan dan
penganutan agama yang berbeda. Yang tengah berkuasa/ jadi rajanya tanah Bali
kala itu adalah Sri Gunaprya Dharmapatni. Saat pemerintahan beliaulah Mpu
Kuturan dipercaya sebagai seorang senapati, dan karena juga ahli dalam bidang
lainnya : politik dan pemerintahan maka Mpu Kuturan kala itu juga dipilih dan
diangkat selaku ketua majelis “ pakiran-kiran ijro makabehan” yang beranggotaan
semua senapati dan para pandhita, dangacarya dan dangupadhaya ( Siwa dan
Budha).
Berbekal pengalaman sebagai raja Girah, Mpu Kuturan
menemukan kiat guna mengatasi kemelut
yang berkelanjutan di kalangan masyarakat tanah Bali. Pada suatu hari yang dianggap baik dan tepat,
maka Mpu Kuturan selaku ketua Majelis Pakira-kiran Ijro Makabehan mengadakan
pesamuhan agung, bertempat di Bata Anyar. Diundanglah semua tokoh dari
masing-masing penganut kepercayaan dan pemeluk agama, yang dibedakan jadi tiga
kelompok ;
a.
Dari
penganut agama Budha, diwakili sendiri oleh Mpu Kuturan
b.
Tokoh-tokoh
/ pimpinan orang Bali Aga, dari masing-masing kepercayaan dan pemeluk agama :
sadpaksa/ enam sekte agama, dijadikan satu kelompok.
c.
Para
tokoh dan pimpinan agama Siwa ( didatangkan dari Jawa ).
Pada kesempatan yang baik itulah, Mpu Kuturan menyampaikan
suatu kesimpulan akhir dan juga merupakan hasil dari pesamuhan agung itu yakni
: bahwa penyebab utama kemelut berkepanjangan diantara masyarakat tanah Bali
adalah agama. Sebab itulah Mpu Kuturan
memandang perlu mengadakan berbagai perubahan serta mengatur kembali tatanan
kehidupan masyarakat dengan suatu
peraturan berdasarkan siatuasi dan kondisi serta aspirasi masyarakat. Maka saat
itu lahirlah rumusan/keputusan yang menyangkut semua aspek masyarakat. Faham Tri
Murti dijadikan dasar keagamaan, oraganisasi kemasyarakatan dinamai Desa Pakraman, dan agar
didirikan Kahyangan Tiga ( Pura Bale Agung/Pura Desa, Pura Puseh/Pura Segara,
Pura Dalem/Hulu Setra), di setiap rumah tangga diwajibkan mendirikan sebuah
pelinggih berbentuk Rong Tiga, semua
tanah pekarangan dan tanah-tanah disekitar desa pakraman dan pura Kahyangan
Tiga adalah milik Desa Pakraman, tentang nama agama yang dianut oleh masyarakat
tanah Bali adalah agama “ Siwa-Budha”
Sumber : buku babad pasek, seri babad Bali.
No comments:
Post a Comment