Jika kita pernah mendengar kata taksu, tentulah kata itu acap kita
dengar di tanah Bali betapa tidak yang namanya
istilah taksu itu hamper saban hari dikumandangkan oleh umat Hindu, khususnya
umat Hindu Bali. Jamak orang tahu bahwasanya tanah Bali
itu identik juga dengan Hindu yang senantiasa lekat dengan budayanya yang adi
luhung dan diakui oleh bangsa sejagat. Terkait dengan kata taksu, tentu ada
yang namanya upacara keagamaan : upacara air, upacara tanah, ada juga yang
namanya upacara padi.
Manakala di tanah Bali yang kaya dengan
berbagai jenis upacara keagamaan, air, tanah, sungai, danau serta laut tiada
luput didera pencemaran aneka limbah, sampah, juga kotoran. Hampir semua orang tahu, “konsep tenget” juga
datangnya dari tanah Bali, namun amat
disayangkan semuanya menjadi kian campah oleh rasionalitas yang terlampau
intelek, namun nyata luput memekarkan rasa hati yang menggerakkan kesadaran
etik. Ironis memang, di perkotaan, pinggiran kota bahkan ke pedesaan kini mereka malah
iklas membeli air, padahal semula air sehat bisa didapat secara cuma-cuma,
gratis, langsung dari alam.
Disisi lain, yang juga mewarnai corak geliat kehidupan warga Bali kini adalah semaraknya alih kepemilikan , alih
fungsi, serta alih peruntukan lahan produktif yang tidak terbendung, tidak
terkendali. Tiada pelak lagi, yang kena imbas nyata adalah para petani Bali,
subak Bali, semuanya kian terjepit secara ekonomi, sosial, juga politik.
Demikian juga dengan masyarakat Bali yang
merawat tradisi berkesantunan terhadap tanah serta air dikawasan hulu, di
pegunungan serta danau mereka kian tersisih secara ekonomi, sosial, politik.
Singkat ceritra, di Bali kini berbagai jenis kesenjangan kian menganga
sedemikian lebarnya. Diantaranya kesenjangan diantara subak sebagai teks
kearifan sistim peradaban air dan tanah yang kian mengenaskan. Orang-orang
saban hari riuh memadati pantai-pantai Bali, mereka semua girang bertempik riuh
dengan penobatan subak sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) di tengah arus deras
alih kepemilikan, alih fungsi, serta alih keperuntukan tanah-tanah sawah di
Bali. Diera ini, masih adakah yang peduli dengan alam dan budaya Bali ? Seberapa lama lagikah taksu Bali
akan mampu bertahan dan bergema hingga gaungnya di dengar oleh bangsa sejagat?
Mari kita tanyakan kepada rumput yang bergoyang, di tepi-tepi pantai tanah Bali……..
No comments:
Post a Comment