Entah karena apa tidak semua
warisan para pendahulu kita dapat kita pelihara dengan baik, jangankan
dilestarikan. Misalnya tanah kita semua doyan amat dengan uang dari hasil
jualan kacang, kacang “tanah”. Setelah punya uang kitapun jadi senang dan
loyar/boros karena hura-hura itu hobi kita. Itu tentang tanah, kalau saja ada
yang mau membeli sanggah tentu kitapun akan menjual sanggah/merajan kita untuk
foya-foya. Ada juga warisan para pendahulu kita ( leluhur orang Bali) berupa
suatu budaya yakni kesusastraan Bali.
Keberadan kesustraan Bli kayaknya
sudah tidak mendpatkan tempat lagi di hati para generasi muda, dengan bukti
meredup dan hampir hampir saja punah, namun belum sirna. Untuk dapat kembali
bangkit, jaya, and eksis kayak keemasan leluhur kita kemarin dulu serasa sulit,
bagai mau mengeringkan danau Beratannya
Bali. Karena fakta yang tiada terpungkiri telah bicara, tidak banyak para generasi muda Bali yang
tertarik akan bahasa Bali (ini pokok problemanya), untuk sekedar tahu saja
jarang apalagi mempelajari, menekuni, dan mengembangkan. Serasa asa telah pupus, memang demikianlah
adanya. Tinggal menungga waktu, waktu lenyapnya si kesusastraan Bali, sungguh
sayang !! Yang lebih ektrim, di tahun awal 2013 pemerintah mengeluarkan sebuah
kurikulum yang menghapus bahasa daerah (Bali) dari pembelajaran.
Mungkin lantaran yang namanya
kesusastraan Bali itu kebanyakan berupa lontar yang tertulis rapi dalam aksara
Bali. Disinilah kendalanya, kenapa para generasi muda Bali jarang mau
mempelajarinya, ujung-ujungnya para generasi muda Bali kian tahun kian banyak
yang buta, buta akan aksara Bali, tak heran memang kita. Walau kemarin-kemarin
aksara Bali telah diajarkan sejak di bangku Sekolah Dasar bahkan hingga ke
Sekolah Menengah Atas. Anggapan yang keliru memang mendera para generasi muda
Bali, bahwa belajar aksara Bali tiada
berguna, toh kini telah ada komputer. Padahal untuk menterjemahkan
lontar-lontar yang masih terpelihara di banyak tempat, mesti tahu dan mengerti
aksara Bali. Lontar-lontar itu warisan nenek moyang, tak salah bila dikatakan
lontar itu adalah aset yang berharga dalam khasanah budaya bangsa. Hendaknya
kita jangan membiarkan aksara dn kesusastraan Bali punah, karena kita enggan
dan tak mau, tiada sudi untuk mempelajarinya. Memang tidak terpungkiri ini adalah
merupakan salah satu bukti kurangnya kaderisasai dalam menurunkan budaya ke
kenerasi berikutnya. “Jangan kita terlalu menyesal, karena memang demikianlah
adanya”
No comments:
Post a Comment