http://www.babadbali.com ( sumber )
Pura Pulaki berdiri di atas tebing berbatu yang
langsung menghadap ke laut. Di latar belakangnya terbentang bukit terjal yang
berbatu yang hanya sekali-sekali saja tampak hijau saat musim hujan. Pura ini
tampak berwibawa, teguh dan agung, justru karena berdiri di tempat yang teramat
sulit. Apalagi pemandangan yang ditampilkan begitu menawan. Jika berdiri di
dalam pura lalu memandang ke depan, bukan hanya laut yang bakal tampak namun
juga segugus bukit kecil di sebelah baratnya yang berbentuk tanjung. Kera-kera
yang hidup di sekitar pura ini, meski terkesan galak, juga menciptakan daya
tarik tersendiri.
Pura Pulaki terletak di Desa Banyupoh Kecamatan
Gerokgak, Buleleng, sekitar 53 kilometer di sebelah barat kota Singaraja. Pura
ini terletak di pinggir jalan raya jurusan Singaraja-Gilimanuk, sehingga umat
Hindu akan selalu singgah untuk bersembahyang jika kebetulan lewat dari Gilimanuk
ke Singaraja atau sebaliknya. Namun jika ingin bersembahyang secara
beramai-ramai, umat bisa datang saat digelar rangkaian piodalan yang dimulai
pada Purnama Sasih Kapat. Sejarah Pura Pulaki memang tak bisa dijelaskan secara
tepat. Namun, dari berbagai potongan data yang tertinggal, sejarah pura itu
setidaknya bisa dirunut dari zaman prasejarah.
Di kawasan Pura Pulaki, di sekitar Pura
Melanting, sekitar 1987 ditemukan beberapa alat perkakas yang dibuat dari batu,
antara lain berbentuk batu picisan, berbentuk kapak dan alat-alat lain.
Berdasar hal itu, dan dilihat dari tata letak dan struktur pura, maka dapat
diduga latar belakang pendirian Pura Pulaki awalnya berkaitan dengan sarana
pemujaan masyarakat prasejarah yang berbentuk bangunan berundak.
Di sisi lain, dilihat dari letak Pura Pulaki yang
terletak di Teluk Pulaki dan memiliki banyak sumber mata air tawar, maka
kawasan ini diduga sudah didatangi manusia sejak berabad-abad lalu. Kawasan
Pulaki menjadi cukup ramai dikunjungi oleh perahu dagang yang memerlukan air
sebagai bahan yang sangat diperlukan dalam pelayaran menuju ke Jawa maupun ke
Maluku. Bahkan, kemungkinannya pada waktu itu sudah ada berlaku perdagangan
dalam bentuk barter. Barang yang kemungkinan dihasilkan dari kawasan Pulaki
adalah gula dari nira lontar. Ini didasarkan hingga kini masih ditemukan
tanaman lontar di sepanjang pantai dari Gilimanuk ke timur, termasuk Pulaki.
Pulaki
sudah ada sejak zaman prasejarah, baik berhubungan dengan tempat suci, maupun
sebagai tempat aktivitas lainnya. Hal ini berlanjut hingga peristiwa penyerangan
Bali oleh Majapahit tahun 1343 Masehi. Dalam buku ekspedisi Gajah Mada ke Bali
yang disusun Ketut Ginarsa tertulis bahwa pasukan Gajah Mada turun di Jembrana
lalu berbaris menuju desa-desa pedalaman, seperti Pegametan, Pulaki dan
Wangaya.
Menurut Simba, Pulaki juga pernah dijadikan pusat
pengembangan agama Hindu sekte Waisnawa sekitar 1380 Masehi seperti tertera
dalam buku ''Bhuwana Tatwa Maharesi Markandeya'' susunan Ketut Ginarsa.
Data lain yang menyebut tentang Pulaki terdapat
juga dalam buku ''Dwijendra Tatwa'' karangan Gusti Bagus Sugriwa. Di situ ada
tertulis, "Baiklah adikku, diam di sini saja, bersama-sama dengan putri
kita Ni Swabawa. Ia sudah suci menjadi Batara Dalem Melanting dan adinda boleh
menjadi Batara Dalem Ketut yang akan dijunjung dan disembah orang-orang di sini
yang akan kanda pralinakan agar tak kelihatan oleh manusia biasa. Semua menjadi
orang halus. Daerah desa ini kemudian bernama Pulaki."
Data lain tentang Pulaki adalah ditemukannya
potongan candi yang bentuknya seperti candi yang ada di Kerajaan Kediri.
Ditemukan di Pura Belatungan tahun 1987. Dari data itu, maka kesimpulannya
keberadaan Pura Pulaki sebagai suatu tempat suci sudah ada sejak zaman
prasejarah dan menghilang setelah kehadiran Dang Hyang Nirarta dengan peristiwa
dipralinakannya Pura Pulaki sekitar 1489 Masehi. Keberadaan Pura Pulaki tanpa
penghuni secara sekala berlangsung cukup lama. Pura Pulaki menghilang dari
penglihatan sekala dan daerah ini praktis kosong sejak 1489 sampai sekitar
tahun 1920 atau selama sekitar 431 tahun. Namun sebelum itu, dari kurun waktu
zaman prasejarah sampai dengan kehadiran Ida Batara Dang Hyang Nirarta tahun
1489, Pura Pulaki masih tetap sebagai tempat pemujaan, baik yang dilaksanakan
orang prasejarah, orang Baliaga dengan Sekte Waisnawa yang dikembangkan Rsi
Markandeya dan orang pengikut Tri Sakti dengan simbol tiga kuntum bunga teratai
yang berwarna merah, hitam dan putih yang dipetik Danghyang Nirartha dari kolam
yang diperoleh dalam perut naga di Pulaki.
Tahun 1920 Pulaki mulai dibuka yang ditandai
dengan disewakannya tempat ini oleh pemerintah kolonial Belanda kepada orang
Cina bernama Ang Tek What. Kawasan itu kemudian dikembalikan sekitar tahun 1950
yang selanjutnya dilakukan pemugaran-pemugaran terhadap tempat suci di kawasan
itu. Pemugaran Pura Pulaki dan pesanakannya dilakukan setelah tahun 1950.
Menurut Simba, Pura Pulaki dan pesanakan, seperti
Pura Pabean, Pura Kerta Kawat,
Pura Melanting,
Pura Belatungan, Pura Puncak Manik dan Pura Pemuteran, tak bisa dipisahkan.
Dilihat dari 7 lokasi Pura-pura tersebut dan sesuai konsep Hindu hal itu
termasuk konsep sapta loka, yakni konsep tentang sapta patala, yakni 7 lapisan
alam semesta.
Sejarah Pura Pulaki tak bisa dilepaskan dari
tempat-tempat pemujaan lainnya di Bali. Menurut Ketua Kelompok Pengkajian
Budaya Bali Utara Drs. I Gusti Ketut Simba, Buleleng terletak di antara gunung
dan laut. Karena jarak pegunungan dan laut sangat dekat maka datarannya yang
dimiliki sangat sempit. Ini disebut wilayah nyegara-gunung, suatu daerah yang
penuh dengan pusat spiritual dan tempat pemujaan, baik di gunung maupun di tepi
laut.
Ketut Simba menjelaskan, bentuk Pulau Bali itu
tak ubahnya seperti seekor itik. Kepala menghadap ke barat berhadapan dengan
Jawa, punggung ke utara berhadapan dengan laut Jawa dan Laut Bali, ekornya ke
timur menghadap ke Lombok. Sementara leher, tembolok, dada, perut, berhadapan
dengan Samudera Hindia. Di bagian punggung Pulau Bali terbentang sederetan
daerah pegunungan dari barat, daerah Desa Cekik hingga ke timur di Lempuyang
Karangasem sehingga Bali seolah dibelah menjadi dua. Bali Selatan dan Denbukit.
Denbukit juga dibagi dua, di mana bagian barat biasa disebut dauh enjung dan
dangin enjung, di mana batasnya adalah enjung sanghyang.
Ekor itik ini punya makna bahwa Bali punya nilai
kesucian yang sangat tinggi. Karena itik binatang suci, terbukti jika orang
membikin banten (aturan suci), terutama suci gede, maka binatang ini adalah
sarana yang sangat menentukan kesucian banten tersebut. Begitu pula pegunungan
yang memanjang dari barat ke timur adalah punggung itik, di mana pada tulang
punggung mengandung sumsum dan unsur kehidupan pada dimensi spiritual.
"Pada tempat inilah ditemukan garis kundalini," katanya.
Pura-pura yang ditemukan di sepanjang pantai antara
lain Pura Bakungan, Pura Teluk Terima, Labuhan Lalang, Pura Gede Pengastulan,
Labuhan Aji, Celuk Agung, Penimbangan, Beji, Puradalem Puri, Gambur Anglayang,
Kerta Negara Mas, Pojok
Batu, Pura Pulaki dengan pesanakannya dan pura lainnya. Sedangkan di
pegunungan dari barat ke timur ada Pura Pucak Manik, Pura Bujangga, Asah Danu, Batukaru,
Tamblingan, Puncak
Mangu, Bukit Sinunggal, Indrakila, Penulisan, Besakih, Gunung Andakasa, Lempuyang dan
lain-lain.
Nah, Pura Pulaki yang dibangun pada tempat
perpaduan antara daerah pegunungan dan laut atau teluk. Maka tata letak,
struktur dan lingkungan Pura Pulaki ini ditemukan unsur antara segara dan
gunung yang menyatu.
http://www.babadbali.com ( sumber )
No comments:
Post a Comment