Hari pediksan itu akan dilaksanakan pada tilem sasih
kalima nanti. Jangan anak kecewa sepeninggalku. Pilih antara empat anakku untuk
menjadi pendeta kerajaan!” demikian nasihat Mpu Dang Hyang. Dalem menyembah
dengan khidmad. Setibanya Dang Hyang di desa Mas, dititahkan pangeran Mas
mempersiapkan segala upakara untuk upacara pediksan nanti. Diceritakan tepat
pada hari pediksan itu Sri Aji Dalem Waturenggong datang diiring oleh para
punggawa, turut mempersaksikan upacara suci itu.
Sesudah upacara itu selesai, maka Mpu Dang Hyang
memberikan nasihat kepada putra-putranya, antara lain tentang kewajiban
pendeta.
1. Tidak boleh minum tuak atau segala
minuman beralkohol
2. Menghindari segala hal yang
menyebabkan mabuk
3. Tidak boleh makan daging sapi,
karena ia sebagai ibu yang memberikan susu kepada kita.
4. Tidak makan daging babi rumahan
(peliharaan)
5. Tidak memakan daging ayam peliharaan
6. Menghindari segala hal kotor, baik
sekala maupun niskala
7. Tidak boleh iri hati
8. Tidak boleh mengambil istri orang
lain dan berzina.
Demikianlah nasihat Mpu Dang Hyang kepada
putra-putranya. Selanjutnya beliau mengeluarkan seluruh harta kekayaan beliau,
dan akan dibagikan kepada semua putranya. Dalem
Waturenggong turut mempersaksikan peristiwa itu, diiringi oleh Sira Arya
Kenceng, Pangeran Dauh Baleagung beserta rakyatnya, dan Ki Pan Geleng
pelayannya Ida Kidul. Adapun harta yang dibagi yaitu : emas, perak, uang
kepeng, permata mirah, cincin, tegal sawah, lontar-lontar pustaka, alat pawedan
(pemujaan kependetaan), rakyat (panjak), dan lain sebagainya. Tempat membagi
harta beliau itu dilakukan di luar gria asramanya di Mas.
Harta benda itu dibagi lima (5) untuk enam orang putranya.
Di luar gria itu diletakkan 5 buah balai amanca desa (5 arah). Kemudian, Dalem
mempersilakan keenam putra Dang Hyang untuk mengambil warisan itu sesuai
kehendak mereka.
1. Mpu Kulon mengambil emas, perak,
uang kepeng, permata, surat tegalan dan rakyat, akibatnya akan mempunyai
keturunan banyak tapi kurang pandai.
2. Mpu Lor mengambil surat tegal sawah,
emas, perak, uang kepeng, permata perhiasan, dan rakyat, akibatnya mempunyai
keturunan banyak tapi kurang pandai.
3. Mpu Wetan mengambil surat tegal
sawah, emas, perak, uang kepeng, permata perhiasan, dan rakyat, akibatnya
mempunyai keturunan banyak tapi kurang pandai.
4. Ida Putu Sangsi dan Ida Putu Bindu
mengambil satu bagian untuk mereka berdua berupa sawah dan ladang, maknanya
kepandaian kurang, tapi banyak anak.
5. Mpu Kidul tetap diam tak mengambil
satupun. Akhirnya setelah diperingatkan oleh Dalem, barulan beliau mengambil :
lontar pustaka, alat pawedan, 2 buah genta bernama Ki Brahmana dan Ki
Samprangan, pisau pengrupak bernama Ki Tamlang, keris bernama Ki Sepak.
Maknanya penuh kepandaian dan bakat, tapi sayang keturunannya sedikit.
Beliau mengangkat Bendesa Mas sebagai pelayannya.
Masih ada rakyat, seekor ayam kurungan, dan sebatang pisau pengrupak. Mpu Kulon
mengambil rakyat, Mpu Lor mengambil ayam kurungan, dan Mpu Kidul mengambil
pisau pengrupak. Setelah selesai semuanya maka Dang Hyang berpamitan pada
semuanya, sebab beliau akan berangkat mencari tempat yang suci untuk kembali ke
Siwaloka. Putra-putranya semua menyembah dengan khusuk, demikian pula Sri Aji
Dalem Waturenggong dan Pangeran Dauh Baleagung, para Arya dan rakyat yang
hadir.
Demikianlah akhirnya Dang Hyang Dwijendra berjalan ke
arah selatan seorang diri, hanya membawa tempat pacanangan (tempat sirih). Dang
Hyang Dwijendra mengembara memasuki tempat-tempat suci tanpa ada seorang pun
yang tahu. Tapi pada suatu hari ada orang yang memberitahu Pangeran Mas bahwa
Dang Hyang sedang ada di penghulu sawah antara desa Sumampan dengan Tengkulak,
dilihat sedang menulis lontar.
Beberapa hari kemudian kebetulan hari Penampahan
Kuningan. Bendesa Mas bersama istrinya pergi ke tempat Dang Hyang dengan
membawa makanan yang enak rasanya yang akan dihaturkan kepada Mpu Dang Hyang.
Mpu Dang Hyang menerimanya dengan senang hati, lalu menyuruh pangeran Mas untuk
mencarikan bungkak untuk menyucikan makanan itu. Setelah Dang Hyang
meninggalkan tempat itu, maka tempat bekas beliau bersantap setiap malam
mengeluarkan sinar dan berbau harum, karena itu di sana didirikanlah sebuah
pelinggih bernama Pura Pangajengan (pangajengan = tempat makan).
PURA MASCETI DAN PURA PETI TENGET
Diceritakan setelah itu Dang Hyang pergi ke pantai
selatan Bali, berjalan menuju desa Rangkung mendekati pelabuhan Masceti. Tiba
di sana, beliau merasakan dewa sedang mendekati beliau, maka timbullah semangat
untuk melakukan pemujaan di dalam pura Masceti. Ketika beliau mengucapkan Weda
Matram, tangan beliau dipegang oleh Betara Masceti. “Tidak patut Dang Hyang
menyembah seperti ini, karena sudah suci menunggal kepada Sang Hyang Widhi. Apa
sebab Dang Hyang masih di dunia?” tanya Bhatara Masceti. “Saya masih menunggu
saat turunnya perintah dari Tuhan,” jawab Dang Hyang.
“Kalau begitu,” ujar Bhatara Masceti. “Marilah kita bersamasama bercengkrama di
daerah pinggir laut.” Kemudian, karena kesaktian Bhatara Masceti, akhirnya
mereka tiba di pulau Serangan bagian barat laut. Seseorang melihat mereka
serupa cahaya merah dan kuning, lalu memberanikan diri mendekat. Dilihatnya Mpu
Dang Hyang sedang bercakap-cakap dengan Bhatara Masceti, lalu dia berkata. “Mpu
Dang Hyang, tinggallah dulu di sini, sebab hamba akan memuja Sesuhunan.”
“Baiklah,” jawab Mpu Dang Hyang.
“Buatlah di sini sebuah candi yang akan disungsung
oleg jagat dan buat pula sebuah gedong pelinggih Bhatara Masceti, karena beliau
iring Bapak sampai ke sini!” Dang Hyang melanjutkan pembicaraannya dengan
Bhatara Masceti, tiba-tiba telah sampai mereka di tepi laut Krobokan. Dari sana
Mpu Dang Hyang melihat tanjung Uluwatu sebagai perahu hendak berlayar memuat
orang-orang suci menuju surga. “Dang Hyang, maafkan saya. Saya mohon diri di
sini,” demikian kata Bhatara Masceti lalu menggaib. Dang Hyang Dwijendra
berjalan menuju Uluwatu, pecanangannya diletakkan.
Pura Peti Tenget
Ketika itu beliau melihat ada orang halus bersembunyi di semaksemak karena takut melihat perbawa Dang Hyang yang suci itu. Makhluk halus itu adalah Buto Ijo. Buto Ijo kemudian diperintahkan oleh Dang Hyang untuk menjaga pecanangannya di sana, dan daerah itu diberi nama Tegal Peti Tenget. Kalau ada yang hendak merusak daerah itu, Buto Ijo ditugaskan untuk melawan. Dang Hyang Nirartha terus menuju Uluwatu.
Setelah tiba di sana, tidak terperikan senang hati
beliau, karena tempat itu sunyi dan hening, di sana beliau mengheningkan cipta,
menunggu panggilan Tuhan untuk ngeluhur. 87 Pada suatu hari datang kepala desa
Krobokan bersama beberapa orang menghadap Mpu Dang Hyang. Ia bercerita mengenai
orang-orang yang sakit dan tidak bisa diobati setelah datang ke tegal (Peti
tenget) tersebut. Lalu Dang Hyang memberitahu bahwa pecanangan beliau ada di
sana karena beliau tidak memerlukannya lagi, dan dijaga ketat oleh Buto Ijo.
Dang Hyang kemudian memerintahkan agar di sana dibangun sebuah kahyangan
pelinggih Bhatara Masceti.
Pecanangan milik beliau juga diperintahkan untuk
disungsung agar memperoleh kesejahteraan desa. Pada hari pujawali, Buto Ijo
harus diberi cecaruan, berupa nasi segehan atanding, ikannya jejeron, babi
mentah, segehan agung, lengkap dengan tetabuh tuak arak. Kelihan Krobokan
berpamitan, kemudian di Tegal Peti Tenget kemudian dibangun sebuah pura bernama
Pura Peti Tenget.
PURA LUHUR ULUWATU
Bali is my life..Hindhu is my blood..Pura Uluwatu..
|
Pada hari Selasa Kliwon Medangsia, Dang Hyang Dwijendra mendapatkan wahyu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa bahwa beliau pada hari itu dipanggil untuk ngeluhur. Merasa bahagia sekali beliau, karena apa yang dinanti-nantikan telah tiba. Hanya ada sebuah pustaka yang belum dapat diserahkan kepada salah seorang putranya. Tiba-tiba Mpu Dang Hyang melihat seorang bendega (nelayan) bersama Ki Pasek Nambangan sedang mendayung jukung di lautan di bawah, lalu dipanggil oleh beliau. Setelah bendega itu menghadap, lalu Dang Hyang berkata, “Engkau akan kusuruh menyampaikan kepada anakku Mpu Mas di desa Mas, katakan pada beliau bahwa bapak menaruh sebuah pustaka mereka di sini yang berisi ajaran ilmu kesaktian.”
“Singgih, pukulun sang sinuhun,” ujar bendega lalu
mohon diri. Setelah Ki Pasek Nambangan pergi, maka Dang Hyang Nirartha mulai
melakukan yoga samadhinya. Beberapa saat kemudian beliau moksa ngeluhur, cepat
bagai kilat masuk ke angkasa. Ki Pasek Nambangan memperhatikan juga hal itu
dari tempat yang agak jauh, namun ia tidak melihat Mpu Dang Hyang, hanya cahaya
cemerlang dilihat melesat ke angkasa bagai petir.
Demikianlah akhir riwayat hidup Dang Hyang Nirartha.
Kahyangan tempat beliau ngeluhur itu kemudian disebut Pura Luhur, lengkapnya
Pura Luhur Uluwatu.
http://jeroersaniatabanan.wordpress.com
> sumber
Kutipan
halaman 3 , “ buku sejarah dan babad pratisentana bandesa manik mas”
Bhisama Danghyang Nirartha :
......Seketurunan Kyayi Bandesa Manik Mas tidak
akan menemukan kerahayuan, keselamatan, tak
habis-habisnya kena sakit, berselisih dalam keluarga, menderita duka nestapa,
dan menderita dalam bathin, disamping itu diperintahkan kepada keturunan
Pangeran Mas dan Brahmana Mas, kalau ada keturunan mereka tidak ingat atau lupa
nyungsung Pura Taman Pule dan Pura Buk Cabe, terkutuk mereka
semua...................................................................
NB > Danghyang Nirartha = Danghyang
Dwijendra = Pedanda Sakti Wau Rauh ( orangnya 1 sebutan/namanya lebih dari 1)
No comments:
Post a Comment