Friday, September 14, 2012

Duri di Desa Tenganan

Bali Age telah melekat di tubuh Tenganan. Awig-awig yang mengikat krama desa masih lugu memelihara warisan budaya yang memang patut untuk dijaga. Meskipun begitu ketatnya, demokrasi tetap terjaga. Di sini laki-laki bukan herarti lebih tinggi dan perempuan. Tenganan selalu memperlakukan orang-orangnya untuk tetap mengingat betapa pentingnya persamaan hak jiwa kewajiban. Lihatlah runah-rumah kuno itu selalu berjejer sama di atas jalan desa yang masih perawan. Orang-orang di sini begitu bijaksana menyikapi tanah warisan desa. Tanah bukan untuk dijual tapi untuk dijaga dan dihidupi. 



Bersyukurlah Manggis punya Tenganan. Di tanah ini aku selalu belajar tentang masa lalu. Keterpencilan bukan lalu membuat desa jadi mati dan asing tetapi tetap hidup dengan segudang aura megis yang terpancar dari perilaku adat menuntun warganya untuk selalu berada pada jalan yang benar.Meski sederhana namun tetap bersahaja. Siapakah yang membiarkan kerbau-kerbau itu bebas berkeliaran? Adalah adat juga. Bahwa hewan tak selamanya meski ditangkar dalam sangkar dan kandang. Di sini selalu ada kebebasan dalam keterikatan. Jangan coba kauusir kerbau itu karena ia adalah penjaga desa.
Di Pageringsingan, aku belajar mengenal kesabaran pada perempuan desa menenun serat benang menjadi selembar kain tradisional. Kain geringsingkah itu? Sore hari, kudapati tangan perempuan Tenganan tengah berlumur kuning minyak kemiri dan merah akar sunti Nusa Penida. Bersabarlah, tunggu hingga benang itu kering, sebentar lagi kubuatkan kain dari tangan-tanganku yang terampil. Ya, kedua tanganmu pun menari menyulam dan menjalin benang-benang yang telah kauwarnai. Jangan tergesa-gesa maka jadilah motif-motif yang kausukai. Inilah kain geringsing yang selalu ditenun dengan kesabaran hati.
Perempuan-perempuan itu tengah menenun kain penolak bala. Kain itulah yang selalu menjagamu dari arus zaman yang suatu waktu bisa menggerus pintalan benangnya. Hingga kini, geringsing itu masih kau pandang sakral. Jika gering berarti sakit dan sing itulah yang meniadakannya. Kuyakini geringsing menjauhkan orang-orang Tenganan dari petaka. 

Cinta di kilometer enam puluh lima dari pusat kota ini juga dibatasi. Jadi, jangan coba-coba menikah dengan warga luar desa. Hai..... pemuda Tenganan jika cintamu tak bisa terbendung dengan perempuan luar, ada konsekuensi yang menunggumu. Di sana, di Banjar Pande akan menjadi tempat tinggal cintamu karena engkau dianggap lahir cacat melanggar keteguhan awig-awig desa. Namun, tak lalu menjadikanmu terpisah dari ritual kehidupan adat dan agama. Engkau masih diberi persamaan hak dan kewajiban untuk tetap melaksanakan ritual kebiasaan yang telah ada. Demikianlah cinta terlarang itu diperlakukan.
Bukit-bukit yang mengelilingi Tenganan selalu menyimpan cerita sejarah yang layak untuk disimak Bukit Kauh dan Bukit Kangin itukah yang telah membendungmu? Matahari di sini selalu terbit di puncak bukit dan harus rela tenggelam di atas bukit pula. Dulu, orang-orang bergerak dari pesisir pantai menuju daerah yang kelak menjadi tanah Bali Kuno. Maka Tenganan kuyakini berasal dari kata ngatengahang mengantarkan orang-orangmu selalu bergerak ke dalam merambah pangsa bukit-bukit mungil itu.
Dalam Kerajaan Bali Kuno, ditanah inilah Ki Patih Tunjung Biru memperoleh kuasa sebagai menteri kerajaan. Masa itu, Bali dipimpin oleh putra Shri Musala Masuli yang bernama Shri Gajah Waktra dengan gelar Dalem Bedahulu atau Sri Astasura Ratna Bumi. Dengan kesaktian dan kebijaksanaannya, Bali pada waktu itu diperintah dengan adil dan tenteram. Dalam pemerintahannya, beliau dibantu para menteri yang patuh memegang perintah sang raja, disiplin, dan sakti mandraguna.Diantaranya Ki Pasung Grigis sebagai mahapatih berkuasa di Tengkulak Ki Kebo Iwa sebagai patih muda berkedudukan di Blahbatuh, Ki Tunjung Tutur mengambil tempat di Tianyar, Ki Tunjung Biru berada di Tenganan, Ki Tambyak di Jimbanan, Ki Buan di Batur, Ki Kopang di Seraya, Ki Walung Singkal di Taro. Para menteri inilah yang selalu menjaga tanah Bali. 

megeret pandan ada di desa tenganan
Dari sinilah timbul cerita bahwa orang-orang Tenganan berasal dari Bedahulu, Gianyar. Suatu kali, raja Dalem Bedahulu kehilangan salah satu kuda kesayangannya. Di manakah kuda itu meringkik? Raja berniat hati agar kuda itu ditemukan. Maka diperintahlah orang-orang Bedahulu untuk mencarinya ke timur Bali di bawah pimpinan Ki Patih Tunjung Biru. Di tanah inilah pada akhirnya kuda itu ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa oleh Ki Patih. Atas kerja keras dan kesetiaan Ki Tunjung Biru maka sang raja memberikan wewenang untuk mengatur dan menguasai daerah tempat kuda itu ditemukan.
Wilayah yang bisa dikuasai sejauh aroma bangkai kuda itu bisa tercium. Berkat kepintaran Ki Patih, dipotong-potonglah bangkai kuda itu dan disebarkan sejauh mungkin sehingga sang menteri kerajaan bisa mendapatkan daerah kekuasaan yang cukup luas.Tengananpun menjadi tempat kekuasaan Ki Patih Tunjung Biru hingga masa ekspedisi Gajah Mada ke Bali. Dimanakah Ki Tunjung Biru membakar semangat laskar perang Bali Aga ketika Gajah Mada menyerang Bali? Di sini di tengah-tengah bukit Tenganan kupercayai Ki Tunjung Biru gugur sebagai ksatria sejati melawan serangan pasukan Majapahit dari pintu gerbang timur Pulau Bali.
Jika aku Tenganan, kudapati pandan-pandan itu tengah berduri. Meruncing pada tepi-tepi daunnya yang menyirip hijau. Siapakah yang menjadikan pandan-pandan itu tumbuh menyuburi Pageringsingan? Kupercayai ini sudah menjadi titah Dewa Indra sebagai dewa tertinggi dalam dunia peperangan. Di tanah Tenganan Dewa Indra selalu dihormati dengan ritual Perang Geret Pandan. Warga percaya bahwa mereka adalah keturunan ksatria perang dari tanah suci India. Setajam apakah duri-duri itu akan menggeret kulit tubuhmu? Setajam hatimu untuk selalu menjaga tradisi perang yang penuh dengan kedamaian itu. Nah, duri-duri itu telah lama menunggumu untuk beryuda di atas arena perang tradisional. Juga tameng ata (sejenis tumbuhan pakis yang merambat) itu, bukankah telah lama merindukannya? Perisai yang akan melindungimu nanti dari geretan duri pandan lawan. Sudah siapkah dirimu bersetubuh dengan duri-duri itu?
Pada sasih kelima tepat di Hari Raya Sambah perang pandan kembali berkobar. Arena yang selalu jadi riuh itu telah menanti laki-laki pemberani sebagai laskar ksatria perang. Di arena perang itulah, pemuda-pemuda Tenganan akan membuktikan bahwa raga dan jiwa mereka betul-betul kuat mempertahankan tradisi yang telah berurat-akar. Tajamnya duri pandan Tenganan tak lalu membuatnya jadi takut jika menghujani punggungnya yang menegak matahari. Sakitkah ketika duri-duri itu menggeret kulit punggungnya?
Gepokan daun pandan berduri itu akan menjadi saksi bahwa tubuhmu betul-betul kuat menahan sakit dan perih sesaat. Jikapun punggungnya itu nanti berdarah tak lalu membuatnya meringis kesakitan. Mereka kini tahu, keteguhan hatinya betul-betul diuji di laga perang. Semangat akan makin menyala untuk menggores punggung lawan ketika tahu bajang-bajang dari celah jendela di atas rumah panggung itu memberinya sorak dalam senyum yang menggoda. Siapakah yang akan mencabuti duri-duri itu pada punggungnya yang memerah? Ketika duri-duri itu dicabuti satu per satu, tarian perang pun telah usai. Perang pandan selalu berakhir dengan damai. Bagiku tak ada yang menang tak ada yang kalah. Kemenangan sejati akan ada ketika tradisi itu tetap terjaga sepanjang pandan-pandan itu terus berbunga dan berduri ditanah Bali Aga Tenganan. 

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini