Petilasan Kiayi Gusti Ageng Pemacekan
dusun Pasekan, desa/kecamatan Karang Pandan, kabupaten Karanganyar, Jawa
Tengah.
petilasan Kiayi Ageng Pemacekan, di Jawa Tengah |
Sejarah telah menorehkan bahwasanya tanah Bali itu pada
tahun 988 Masehi s.d 1011 Masehi diperintah oleh raja yang tenar dengan
julukan Raja Suami Istri (Sri Mahendradata dan Sri Udayana Warmadewa) bergelar Sri Gunaprya Dharmapatni / Udayana
Warmadewa. Pada zaman pemerintahan raja suami istri inilah di tanah Bali sempat
agak kurang damai, karena kekacauan muncul hampir setiap waktu penyebabnya
tidak ada lain yakni perbedaan keyakinan kepadaNya. Dari situasi perselisihan pertentangan
mengharapkan persatuan kesatuan, ada enam jenis kepercayaan yang dianut oleh
warga tanah Bali kala itu dimana mereka mayoritas dari warga Bali Mula dan Bali
Aga. Penduduk tanah Bali kala itu
menganut Sad Paksa (enam sekte agama) ; Sambu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara,
dan Bhayu. Yang mana dalam pelaksanaannya acap menimbulkan keresahan dalam
masyarakat (akibat dari keanekaragaman paksa itu). Sedemikian lamanya kemelut
itu terjadi hingga pada suatu saat atas kebijakan nan bijaksana dari Raja Suami
Istri, beliau mengundang Empat
Bersaudara orang suci (Catur Sanak) di
Jawa Timur. Keempat orang suci itu, masing-masing telah tersohor keahliannya
dalam berbagai bidang aspek kehidupan, mereka adalah para Mpu (brahmana) ; Mpu
Semeru/Mpu Mahameru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, serta Mpu Gnijaya, mereka datang
ke Bali tidak bersamaan, selanjutnya mendampingi pemerintahan/kepemimpinan Raja
Suami Istri di Bali. Kisah kedatangan para brahmana itu ke tanah Bali selintas
sbb. ;
Daerah Jawa Tengah, peta lokasi petilasan Kiayi Gusti Ageng Pemacekan, Parahyangan Sapta Pandita |
Mpu Semeru penganut agama Siwa, tiba neng tanah Bali saat Jum’at Kliwon, wuku Pujut saat bulan penuh di sasih kaulu (Candra Sangkala Jadma Siratmaya Muka, tahun saka 921 (999M), sempat istirahat bersih-bersih di Tampurhyang , disanalah beliau dengan kekuatan panca bayunya menciptakan seorang manusia berbahan dari tonggak kayu asam (celagi) nan hitam, selanjutnya menurunkan warga Pasek Kayu Selem. Beliau berparahyangan di Besakih (pengempon Bhatara Hyang Putranjaya. Mpu Ghana, penganut aliran Ghanapatya tiba neng Bali hari Senin Kliwon wuku Kuningan (pemacekan Agung), penanggal ping 7 saka 922 (1000M). Selanjutnya berparahyangan di Gelgel Mpu Kuturan ( Mpu Rajakertha), pemeluk agama Bhuda aliran Mahayana, tiba neng Bali saat Rabu Kliwon wuku Pahang tahun saka 923 (1001 M), berparahyangan di Padang / Padangbai. Selanjutnya Sang Mpu memimpin dan mengajarkan tingkah laku yang benar kepada rakyat Bali utamanya tentang kerukunan, antar sesama dengan iklas saling menghargai. Mpu Gnijaya (Sang Brahmana Panditha), penganut Brahmaisma tiba neng Bali Kamis Umanis, wuku Dungulan sasih kedasa, saka 928 (1006M), akhirnya berparahyangan di Bukit Bibis (Pura Lempuyang Madya). Beliau menikah dengan Dewi Manik Gni putri dari dari Bhatara Hyang Putranjaya. Selanjutnya beliau melakukan upcara pudgala bergelar Mpu Gnijaya (sama dengan nama leluhurnya yakni Bhatara Hyang Genijaya. Mpu Gnijaya berputra tujuh orang keloktah dengan sebutan Sang Sapta Rsi/Sang Sapta Pandita ; Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wiradnyana, Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Prateka, serta Mpu Dangka. Sang Sapta Pandita (Sang Sapta Rsi) putra dari Mpu Gnijaya akhirnya samua berumah tangga di tanah Jawi, serta dengan keturunannya masing-masing. Atas kehendakNya para Sapta Panditapun, mangkat di tanah Jawi.
Sumber bacaan : buku ‘mengenal petilasan Kyayi Gusti Ageng Pemacekan & Parahyangan
Sapta Pandita oleh : Jro Dalang I
Nyoman Sudana.
No comments:
Post a Comment