pandan wong/pandan medui/pandan berduri sebagai serana umum untuk membuat seselat, jika di Desa Belimbing Tabanan juga lumrah memakai tanaman gunggung ( duin gunggung) |
Tumpek Wayang itulah Tumpek Ringgit
sabilang sukra wuku wayang, ingetang meseselat
sabilang sukra wuku wayang, ingetang meseselat
Hindu oh Hindu sedemikian buanyaknya ritualmu nan aneh-aneh,
tapi fakta tiada terdampik lantaran ritual-ritual itulah Hindu dari sejak nguni
berlabel berbudaya tinggi tiada banding, lebih-lebih Hindu yang berkembang di tataran
subur Nusantara. Yang tiada terbantah
lagi yakni saat bicara Hindu maka secara otomatis signal pikiran akan
terkoneksi dengan lancar ke pulau yang sedemikian kecilnya di selatan
khatulistiwa, tenar dengan nama pulau Bali sebagai Majapahit yang terakhir neng
NKRI. Bali itu identik nian dengan Hindu
beserta aneka ritual keagamaannya, sampai-sampai disebut kaum kafir oleh
mereka-mereka yang saat matinya kelak yakin seyakin-yakinnya akan disambut
tujuh bidadri. Di tanah Bali itu seperti halnya neng Jawi kesenian wayang itu
masih lestari hingga di zaman modern, dan zaman repormasi yang kebablasan ini,
kesenian wayang kulit di Bali sedemikian erat terkaitnya dengan ritual
keagamaan Hindu Bali. Dalam kesenian wayang kulit inilah sastra-sastra filsafat
kehidupan acap diselipkan dengan manisnya oleh para dalang. Kalau di tanah Bali
para bayi yang orang tuanya penganut Hindu kebetulan lahir saat Tumpek Wayang
(Hari Sabtu wuku Wayang), dibuatkan otonan yang lebih istimewa karena saat
otonannya dipentaskan wayang kulit. Keyakinan Hindu neng Bali, para bayi yang
lahir saat Tumpek Wayang wajib hukumnya memperoleh ruatan/dilukat oleh seorang
dalang via pertunjukan wayang kulit. Lasimnya memerankan lakon ceritra “Sapu
Leger” mengisahkan Sang Kumara dikejar oleh Bhatara Kala untuk disantap/dimangsa,
setelah Sang Kumara bersembunyi (memohon perlindungan pada Ki Dalang), barulah
Sang Kumara Selamat dari kejaran/incaran Bhatara Kala.
Desa Belimbing, setiap hari Jum'at wuku Wayang daun/don gunggung dipakai sebagai bahan seselat yang sebelumnya ditaburi dengan kapur sirih, mesui dan irisan bawang merah |
Yang disebut Tumpek oleh umat Hindu di Bali, adalah salah
satu rerainan (hari raya Hindu) demikian juga halnya dengan Tumpek Wayang (Hari
Sabtu wuku Wayang), umat Hindu juga melakukan ritual keagamaannya dengan serana
yang disebut banten dengan aneka perlengkapannya diantaranya ada banten pejati,
biakaon, tebasan, peras, pengambean, dapetan serta lainnya. Setiap ritual dilangsungkan ditutup dengan
caru (segehan), riilnya kala Tumpek wayang memakai caru pandan wong/pandan
berduri, segehan manca warna (warna lima). Ritual Tumpek Wayang itu ditujukan
kepada dewanya kesenian (Dewa Sangkara) dengan tujuan memohon kepadaNya, khusus
para seniman/pragina agar yang namanya taksu itu merasuk kedalam dirinya serta
dalam aneka pementasan selanjutnya agar bertuah(metaksu)/berkharisma. Berkesinambungan
setiap 210 hari sekali, sehari menjelang Tumpek Landep (Sukra/Jum’at wuku
Wayang) umat Hindu seBali melaksanakan ritual meseselat (memasang seselat)
berserana pandan berduri atau tumbuhan lainnya yang berduri dengan makna agar
terlindungi oleh aneka kekuatan jahat. Umumnya seselat itu ditaruh di ; sanggah
kemulan, sebanyak sejumlah pelinggih yang ada di lingkungan rumah ( penunggun
karang, sumur, pada tiap pelangkiran, dll.) Keyakinan warga Hindu Bali kegiatan
itu bertujuan demi menangkal aneka serangan jahat (manusa sakti), desti, serta
bhuta kala. Karena pada saat Sukra wukuning Wayang amat rawan, juga merupakan kesempatan
yang amat baik bagi penganut ilmu hitam (ngiwa) untuk mayah/membayar tailan
[menyetor arwah seseorang sebagai tebusan untuk meningkatkan ilmunya], orang
Bali bilang ‘pengeleakannya’. “semoga terjauhkan dari segala bencana serta musibah”
No comments:
Post a Comment