Ntah termasuk memperkaya khasanah budaya atau tidak, karena umat Hindu
di Bali dari sejak nguni banyak ritual keagamaannya dirangkaikan dengan kegiatan
tabuh rah (serupa judi tajen). Tabuh
Rah adalah suatu kata majemuk, yaitu rangkaan dua buah kata menjadi satu
pengertian yang terdiri dari kata ”tabuh” dan ”rah”. Kata ”Tabuh” berarti tabur
atau ”taur”, sesuai hukum perubahan bunyi bahasa Indonesia yang berarti bayar.
Sedangkan kata ”rah” berasal dari kata ”darah”. Jadi Tabuh Rah berarti tawur
darah, dengan kata lain pembayaran dengan darah. Jadi yang dimaksud dengan
tabuh rah adalah taburan darah binatang kurban yang dilaksanakan di dalam rangkaian
upacara agama/ritual keagaamaan, dimana tabuh rah ini lazimnya dilaksanakan
dalam rangkaian upacara butha yadnya. Buta Yadnya berarti ; ”suatu kurban suci
kepada Bhuta dan Kala”. Bhuta sendiri berasal dari akar kata ”Bhu” yang artinya
”menjadi”, atau telah ada, ada makhluk dan wujud. Tetapi pengertian Bhuta Kala
secara filosopis adalah suatu kekuatan negatif yang timbul akibat terjadinya
ketidak-harmonisan antara Bhuana Alit/manusia dengan Bhuana Agung/alam semesta
(atas Kemaha KuasaanNya), yang oleh manusia ketidak-harmonisan itu dibayangkan
seperti makhluk halus atau gaib yang mengganggu ketentraman hidup manusia. Tabuh
rah sudah ada sejak jaman purba hingga zaman Majapahit dahulu, yaitu dengan
dilakukannya pemotongan kepala ayam sebagai upacara kurban. Hal ini berdasarkan
Prasasti Jaya Negara yang ditemukan di Sedoteko. Sedangkan di Bali, cara
penaburan darah itu dilakukan dengan mengadakan sabungan ayam yang dinamakan
tajen, yang mulai berlaku sejak abad 9, seperti disebutkan di dalam suatu
prasasti, yang menyebutkan ; Blin darah
yang artinya biaya untuk darah. Demikian pula halnya jika ada bangunan
yang baru selesai didirikan kemudian diupacarai/melapaspas, menurut adat zaman
dulu, juga dibuatkan upacara kurban atau tabuh rah, seperti disebutkan di dalam
”Prasasti Serai” Nomor 302, lembar 3b, sbb ; --- ”yan mangdiri sanga ya,
kajadyan panabungen” --- (Jika mendirikan Sanggar (sanggah), diijinkan
mengadakan sabungan ayam) --- Prasasti ini adalah jaman pemerintahan raja
suami-istri, yaitu: Ratu Sri Gunapria Dharmapatni dan Sri Udayana Warmadewa.
Prasasti tsb bertanggal 26 Nopember 993. Juga tersebut di dalam Prasasti Batur Pura Abang, Nomor 305 yang berbunyi ; ”mwang yan makaryya-karyya, masanga
kunang wgilaya manawunga makatang tlung parahan” --- (Dan lagi jika
melaksanakan upacara mendirikan sanggar (sanggah), mereka diijinkan mengadakan
sabungan ayam tiga kali pendaratan/ telung seet (bh.Bali) Di dalam pustaka
Lontar ”Siwa Tattwa Purana”, disebutkan ; --- ”Mwang ring Tileming kasanga,
hulun megawe yoga, teka wenang wang ing madhyapada magawe tawur kasowangan, den
hana pranging satha, wenang nyepi sadina ika labain sangkala Dasa Bhumi, yanora
samangkana rug ikang wang ing madhyapada ..... ” --- artinya : --- ”Lagi pula
pada Tilem Kasanga, aku (Bhatara Siwa) mengadakan yoga, maka wajiblah orang di
bumi ini membuat persembahan masing-masing, lalu adakan pertarungan ayam, dan
nyepi sehari (ketika) itu beri kurban (hidangan) Sang Kala Dasa Bumi. Jika
tidak, celakalah manusia di bumi).
Sesuai prasasti dan lontar di atas, maka pelaksanaan penaburan darah/
tabuh rah sering juga dilakukan dengan cara dan bentuk yang mentah. Dalam
bentuk ini, darah binatang itu ditaburkan di tempat pelaksanakan upacara kurban
. Cara menaburkan darah itu bermacam-macam, yang kalau di Bali dilakukan
melalui sabungan ayam/tajen. Tetesan darah ayam yang disabung itu mengandung
makna menaburi tempat upacara. Hal ini bermakna untuk menebus dosa, atau demi
eratnya hubungan manusia dengan dunia gaib atau rokh-rokh di dunia
niskala/kasat mata.
Namun karena sifat kemanusiaan (manusiawi) maka
acap menyalah gunakan kesempatan dalam kesempitan, Di lengkapi dengan kemalasan pada manusia
maka tidak jarang acara tabuh rah itu di selingkuhkan menjadi ajang perjudian,
misalnya tabuh rah itu paling banyak cuma tiga daratan/telung leeban/telung
seet (bhs.Bali), namun pada perakteknya sering lebih dari itu maka tiada
terbantah ajang perjudianlah jadinya (malih rupa). Tidak terbantah memang
kegiatan sabungan ayam/tajen itu jamak ada neng Bali, walau pada riilnya ajaran
agama Hindu mengharamkan tajen (judi/berjudi) ; Wahai penjudi janganlah bermain judi, lebih baik menjadi petani,
disanalah kekayaan berlimpah rua, disanalah sapi piaraanmu, dan disana pula
sejatinya kebahagiaan istrimu. Nyatalah bermain judi itu tidak baik bagi
siapapun karena penjudi bisa menjual habis semua miliknya dan hanya akan
menimbulkan hutang, contoh : Si Darma Wangsa dalam epos Brata Yuda. Dalam
masyarakatpun keluarga para penjudi tidak akan memiliki kehormatan dalam artian
kurang disegani. Judi itu membuat manusia malah bekerja (tamah memurti), saat
berjudi itulah manusia lupa segala-galanya, hilang kesadarannya, dengan ending
nan pasti akan mempergunakan segala cara mendapatkan uang. Niscaya kian
bertambahlah yang namanya para pencuri, perampok, dan sejenisnya. Ajaran Hindu
itu menyarankan agar penjudi kembali mengolah tanah menjadi petani, karena
lewat bertani niscaya kebutuhan hidup akan terpenuhi, dengan kerja keras
memang. Oleh karena itulah sesuai keyakinan Hindu jua, Dewa Sawita/Dewa Surya
sebagai dewa pemberi rejeki berpesan kepada para penyembahnya agar bangun
pagi-pagi serta melaksanakan kewajiban (swadharma). Kegelapan bagi para penjudi
akan hilang saat matahari terbit dan cahaya muncul. Seandainya pesan itu
dituruti oleh para penjudi, sudahlah tentu dia akan memperoleh kebahagiaan, astungkara
No comments:
Post a Comment