Lain ladang lain belalangnya, len abian len balangne atau
atau ada juga yang bilang lain lubuk lain ikannya. Sebutannya beda tapi jenis
kegiatan serta makna ataupun tujuannya sama, demikianlah yang acap terjadi di
nusa kecil Bali dilakoni oleh warga pribumi tanah Bali yang mayoritas sebagai
penganut agama tertua Hindu. Inilah jua salah satu sebab tanah Bali itu
dinamakan Maja Pahit Yang Terakhir, karena hanya di tanah Bali segala sesuatu
yang dahulu pernah terlakoni dengan apik di Maja Pahit dapat lestari hingga era era modernasi ini,
contoh kerukunan antar sesama dan ketaqwaannya
kepada Sang Pencipta serta budayanya serupa.
Dari sejak nguni kepercayaan akan Tuhan dan diejawantahkan
dengan sesajen dimana sesajen atau banten itu merupakan salah satu bentuk/jenis
kebudayaan nan agung relegius ada di era Maja Pahit dan juga di tanah Bali.
Dengan serana upakara, menghormati Sang Pencipta dan juga leluhur selanjutnya
di carikan/ditentukan hari hari yang tepat untuk melaksanakan aneka puja
kesyukuran kepadaNya. Maka di tentukanlah/disepakatilah hari hari yang baik itu
sebagai hari-hari suci yang lumrah dikatakan sebagai rerainan, misalnya Galungan (Rabu Kliwon Dungulan),
Kuningan/Tumpek Kuningan (Sabtu Kliwon
Kuningan). Kedua rerainan ini sejatinya inti pokoknya adalah berupa hari nan
tepat mengungkapkan rasa syukur dan rasa bakti kepada para leluhur.
Para umat sedharma dimanapun berada tahu persis kalau
perayaan Hari Raya Galungan itu dapat dilaksanakan dalam waktu hampir seharian
(satu hari penuh / bahkan kala malam hari), lain halnya dengan Hari Raya
Kuningan yang dibatasi waktu hanya hingga tengah hari ( sebelum jam 12 siang
waktu setempat). Keyakinan para penganut Hindu kala wuku Dungulan, para leluhur
berada di bumi (mendampingi para keturunannya) dalam waktu seminggu penuh. Baru
pada saat hari yang dinamakan ulian (Sabtu Dungulan) malam harinya, para
leluhur meninggalkan keluarganya kembali ke tempat dimana mereka dapat tempat
sesuai amal perbuatannya (karmanya). Dan pada rerainan jagat berikutnya (Tumpek
Kuningan) para leluhur diyakini turun kembali ke dunia hanya dalam waktu
singkat (setengah hari saja), untuk memberikan anugrah kemakmuran serta berkah,
atas penghormatan para keturunannya di saat Hari Raya Galungan. Sebagai
ungkapan terima kasih kita atas anungrah para leluhur kitapun menghaturkan
banten (sesajen) yang berisi nasi kuning, bahkan di beberapa tempat di Bali
para leluhur diantar hingga ke depan pintu halaman agar para leluhur gembira ke
alam nirwana. Contohnya di Kelungkung, ada tradisi nyaagang lewat
tradisi yang satu ini para umat Hindu di kabupaten Kelungkung menjelang tengah
hari/tajeg surya (bhs.Bali) secara serentak menghaturkan sesajen di depan pintu
masuk pekarangan . Mereka meyakini tradisi nyaagang ini sebagai wujud bakti
demi mengantar para roh leluhur ke nirwana (suargan). Tidak hanya sesajen yang
mereka gelar di depan rumah, warga juga ikut makan bersama. Dengan mereka makan
bersama artinya mereka dalam keadaan rukun, diyakini para leluhur menyaksikan
keturunannya rukun maka iklaslah mereka menuju nirwana (suargan).
No comments:
Post a Comment