Riil yang terjadi diatas bumi ini hampir semuanya
berpasang-pasangan hingga ada diantaranya istilah kiri kanan, atas bawah, laki
perempuan, maju mundur dan yang lainnya, yang mana sejatinya diantara istilah
yang berpasangan itu bermakna saling menentang dalam artian berlawanan demi
keseimbangan. Fakta membuktikan jika salah satu diantara yang berlawanan itu
tidak ada lagi, maka yang satunya tidak akan berfungsi sesuai layaknya,
kongkrit sandal yang semestinya sepasang jika hanya tinggal satu (seblah saja).
Kodrat Ilahi yang maha kuasa memanglah demikian adanya, maka terciptalah yang
namanya kaum adam dan kaum hawa, di kalangan umat Hindu (baca Hindu Bali)
mengenal istilah purusa dan pradhana.
Purusa itu adalah istilah untuk kaum lelaki ( garis keturunan yang
laki-laki ), sedangkan pradhana istilah bagi kaum perempuan (garis keturunan
yang perempuan).
Mengapa
ayah digambarkan sebagai angkasa sedangkan ibu sebagai bumi pertiwi? Dalam
Hindu, aspek maskulin adalah Siwa yang merujuk pada kesadaran murni
(pure-consciousness). Kesadaran murni itu luas bagaikan angkasa yang bisa
mencakup segalanya. Sedangkan aspek feminin adalah Shakti, yang merujuk pada
energi atau fenomena material. Dunia
fenomenal itu berubah, merupakan perpaduan empat elemen yaitu tanah, air, api,
dan angin. Sedangkan elemen ruang (akasha) adalah luasnya kesadaran kita. Dalam
masyarakat agraris, hasil pertanian yang berlimpah adalah harmoni dari empat
elemen. Elemen tanah harus didukung elemen air, juga angin dan elemen api.
Gunung meletus adalah elemen api, akan merusak namun juga memberikan unsur hara
bagi tanah. Air dari gunung mengalir dan memberikan irigasi yang baik bagi
sawah dan ladang. Elemen angin membuat proses penyebaran benih dan menjaga
kondisi alam agar tetap hidup. Ini semua adalah aspek feminin yaitu Shakti. Dalam
bahasa sederhana, kesatuan aspek maskulin dan feminim adalah buah kehidupan,
inilah asal mula kultus kesuburan.
Karena takdirlah ada : langit dan bumi, suami dan istri, bapak (langit) dan ibu (akasa) bahkan juga ada Rama dan Sita |
Telah ditakdirkan bahwa perempuan itu memang kodratnya
harus selalu berada di ”bawah” lelaki, karena perempuan itu identik dengan
”ibu” (pertiwi / bumi) atau ”PRADHANA” (asas bendani / badan jasmaniah).
Sedangkan lelaki ditakdirkan harus selalu berada di ”atas” wanita, karena ia
identik dengan sosok ”ayah” (langit / akasa) atau ”PURUSA” (Atman). Atau
diistilahkan bapa akasa ibu pertwi. Sosok ayah (langit) sangat berarti bagi
seorang ibu (bumi), karena dari langitlah turunnya hujan yang mendatangkan kesuburan
di bumi, dan seorang lelakilah datangnya benih kehidupan penyambung keturunan
yang lebih lanjutnya dibesarkan di Rahim seorang perempuan (ibu). Dalam konteks
ajaran Hindu, jika Atman (Purusa) pergi meninggalkan Pradhana (badan),, maka
”matilah” manusia ! Badan jasmaniahnya menjadi rusak dan terurai kembali
keasalnya, yaitu ; Panca Maha Bhuta atau ”lima zat unsur” (tanah, air, api,
udara dan ether). Artinya : dalam konteks ajaran Hindu, maka lelaki (Purusa /
Atman) itu adalah ”Penguasa” atau pengendali perempuan (badan jasmaniah).
Lelaki itu memang harus ”menguasai” wanita dan harus selalu berada di ”atas”
wanita, dimana wanitanya harus selalu di ”bawah” lelaki. Tiada boleh wanita itu
ada di ”atas” lelaki, kecuali Wanitanya sendiri minta di ”atas”, karena saking
bosannya terus-terusan ”ditekan” dari atas. Fakta juga telah membuktikan, pada
suatu rumah tangga karena jika perempuan yang mengaturnya/ meraja putri
(bhs.Bali) mungkin karena penghasilan si istri lebih besar dari suami, niscaya
keharmonisan keluarga itu tidak setabil.
No comments:
Post a Comment