Yang disebut raksasa itu sejatinya ntah bagaiman bentuk wujud
atau rupanya, apakah tampan atau menyeramkan, tapi yang terjadi pada umumnya
kebanyakan dikaitkan dengan kelakuan seseorang apakah baik/santun, atau
sebaliknya bengis/biadab/ atau sejenisnya. Terlepas dari semua itu pada
zamannya berkuasalah seorang raja nan sakti mandaraguna, di suatu sisi belahan
dunia ini. Sang Raja yang satu ini sedemikian keloktahnya sampai-sampai
dijuluki penahluk tiga dunia dan penahluk para wanita. Pada sebuah epos istana
sang raja didiskripsikan dipenuhi oleh para wanita cantik, diantaranya sang
permaisuri yang paling tenar yang bernama Mandodari merupakan putri seorang
bidadari (Hema).
Terlahir dari seorang ibu yang bernama Kaikesi, sang kakek
merupakan seorang nan mumpuni sakti tiada tanding karena dapat anugrah dari
Dewa Brahma, karenanya puluhan raja di kolong langit ini tertahlukkan,
sedemikian menggetarkan dunia nama Sumali itu, disegani lawan serta kawan.
Berkali-kali dahulunya ayah sang raja menasehati permaisuri, bahwa bercinta di
saat-saat yang tidak tepat akan memperoleh keturunan yang tidak baik (si anak
akan menjadi jahat, sifat egonya besar), tapi semua nasehat tiada tertanggapi
oleh permaisuri (Kaikesi). Apa yang terjadi selanjutnya? Maka hasil cinta
mereka melahirkan seorang anak berkepribadian setengah Brahmana dan setengah
raksasa. Terlahir dengan nama
Dasanana/Dasagriwa, serta konon memiliki sepuluh kepala. Suatu penjelasan
menginfokan, kesepuluh kepala yang ada merupakan pantulan dari permata nan jitu
pada kalung yang diberikan Sang Ayah saat baru lahir.
Tumbuh menjadi dewasa, demikian yang terjadi pada raja yang
satu ini, punya kegemaran melakukan tapa dengan khusuk memuja para Dewa selama
bertahun tahun. Maka nasib baik juga diperoleh sebagaimana sang kakek dahulu,
semua tapa puja direstui Dewa Brahma. Brahma mempersilahkan Sang Dasa Muka
mengajukan permohonan, mendapat kesempatan tersebut Sang Dasasana/Dasagriwa memohon
agar bisa hidup abadi, permohonan yang satu ini ditolak oleh Brahma karena
menyalahi takdir. Sebagai gantinya, Sang Dasasana/Dasa Muka memohon agar kebal
terhadap segala serangan, selalu unggul diantara para Dewa, aneka mahluk
surgawi, raksasa, detya, denawa, segala naga serta mahluk buas. Karena
menganggap remeh/enteng manusia, dia lupa memohon agar unggul terhadap manusia.
Mendengar permohonan tersebut, Brahma mengabulkannya dan menambahkan kepandaian
menggunakan aneka senjata Dewa serta ilmu sihir. Saking kebalnya, Sang Dasa
Muka tidak terbunuh walau badannya hancur sekalipun, tenar dengan ajian rawa
rontek dan ajian panca sona, namun takdir tiada bisa di lawan, Sang Dasa Muka
mati di tangan seorang manusia tampan kesatria pinih tanding kesayangan para
Dewa dengan sebuah senjata Kyai Dangu, yang terus menguntit kemanapun Sang Dasa
Muka lari sebelum ajal menjemput. Sebelum kamtian atasnya tiba, pada suatu
ketika Sang Dasa Muka juga pernah ketempatnya Siwa (Gunung Kailash), dia memohon
kepada Siwa agar kerajaannya (Alengka) tidak bisa dihancurkan oleh semua
musuhnya yang datang dari manapun dari kalangan manapun jua. Karena
ketekunannya selalu memuja para Dewa tiada terkecuali Dewa Siwa, maka
permohonan Sang Dasa Muka diluluhkan Siwa, maka Dewa Siwa memberi Sang Dasasana
sebuah benda bertuah sepanjang umur jagat dan akan dipuja oleh para manusia
sejagat Atma Linggam demikian nama benda bertuah itu. Dengan adanya Atma
Linggam di tangan Sang Dasa Muka, maka cemaslah para Dewa. Karena Linggam itu
akan menambah kekuatan Sang Dasa Muka yang telah sedemikian saktinya, karena
bukan tidak mungkin karena merasa diri sakti diapun akan mengumbar segala
bentuk keangkaraan di muka bumi. Segala upayapun di usahakan menggagalkan, agar
Atma Linggam itu jangan sampai berhasil di bawa ke negeri Alengka, berkat jasa
Dewa Cilik putra Siwa, Ganesha Atma Linggam tidak berhasil dibawa hingga ke
Alengka karena di tengah perjalanan Atma
Linggam sempat di taruh di tanah. Melanggar pantangan/syarat “ jika Atma
Linggam sampai di taruh di atas tanah, maka Atma Linggam akan terpasak ditempatnya
dan tidak bisa dipindahkan selamanya “ Apa boleh buat terlanjur di taruh di
tanah, maka melekat abadilah Atma Linggam itu, walau semua kekuatan yang
dimiliki Sang Dasa Muka Dipakai juga Atma Linggam tiada tergeser sedikitpun,
sampai-sampai tekanan tapat tangan Sang Dasa Muka meninggalkan bekas torehan
pada atma linggam yang menyerupai gambar telinga sapi. Maka diyakini hingga kini
semua lingga sebagai penghormatan kepada Dewa Siwa, bergambarkan gambar yang
menyerupai kuping sapi yang latah disebut : kokarnam (ko=sapi, karnam=kuping).
Sebagian info dari :
kalender bali 2016 oleh I Gusti Nyoman Suartha.
No comments:
Post a Comment