Tidaklah salah kiranya kalau Bali itu dikatakan pulau yang
berhawa mistis bernuansa relegius murni, karena apa? Bisa dikatakan berhawa
mistis dan ada unsur relegiusnya tentu
harus ada juga faktor sejenis keyakinan yang meyakini bahwa ada suatu energi diluar
kemampuan manusia. Yang dimaksudkan di sini adalah, hampir semua kegiatan yang
berjenis tradisi yang di jaga kelesatariannya dalam hitungan ratusan tahun di Bali memeiliki
maksud agar Bali aman dan juga ajeg (
ngerahajengan jagat ). Mungkin karena napas-napas Hinduismelah yang menyebabkan
semua warna/jenis tradisi masyarakat Bali lestari hingga NKRI memasuki era
reformasi yang kebablasan. Riil, ada perang pandan di Karangasem, dan di Bangli
juga ada baris babuang.
Tidaklah salah jika pariwisata di Pulau Bali dikembangkan
dengan konsep pariwisata budaya yakni
budaya Hinduisme, salah satu diantara
alasannya adalah semua tradisi-tradisi masyarakat Bali yang di pagelarkan
secara rutinitas utamanya yang berjenis tarian/atraksi pasti diiringi oleh suatu bunyi-bunyian yang
bercorak gamelan. Gamelan di Bali itu ragamnya lebih dari tiga macam : Gong,
angklung, gambang, joged bumbung, tingklik, gender, dan yang lainnya. Namanya
saja daerah tujuan wisata, tentu memiliki kesekian banyak keunikan misalnya di
suatu tempat di pulau Bali, Desa Pengotan kabupaten Bangli saban tahun
menggelar tradisi baris babuang / perang papah biu yang diiringli dengan
tabuh/gamelan gambang yang disebut “due kenyong” dan selonding. Uniknya adalah
para penabuh gambangnya harus para teruna/ lelaki yang masih lajang.
Disaban tahun kala bulan penuh/ purnama sasih keenam bertempat
di pura Bale Agung Pengotan, Bangli yang namanya perang papah biyu/pelepah
pisang (bhs.Bali) kala malam tiba
digelar. Namanya perang, tentu ada yang berperang/beradu, perang yang satu ini
juga ada aturan mainnya misalnya di gelar tiga sesi ( sesi pertama yang
berperang para jro dulu, sesi kedua dilakoni oleh empat orang kerama yang punya kedudukan di Bale Agung, sesi
terakhir/ketiga dilakoni oleh para pemuda dari seluruh banjar se Desa
Pengotan). Aba-aba perang di berikan oleh seorang wasit yang dinamakan Jro
Muncuk.Dengan bersenjatakan papah biu/pelepah pisang berukuran 0,5 s.d 1 meter
mereka yang berperang saling gebuk, hanya mengenakan kamben/kamen tanpa baju.
Namanya saja ritual keagamaan apa lagi dilaksanakan diareal tempat suci jelas
memiliki suatu tujuan demi keselamatan/kerahayuan, demikian juga perang papah
biu/baris babuang bertujuan untuk keselamatan kita semua (ngerahajengan jagat)
tidak hanya sebatas keselamatan warga Desa Pengotan.-
Sumber bacaan : majalah
bali post 116.
No comments:
Post a Comment