Kita lahir dan hidup selanjutnya mempertankan hidup di jagat
ini sedikit tidaknya mesti perlu kemampuan untuk bertahan. Kemampuan yang
dimaksud adalah tentang bisa tidaknya kita mengambil suatu kebijakan dalam mempertahankan kehidupan kita, tentu
hal tersebut menyangkut seberapa jauh pendidikan seseorang. Yang namanya
pendidikan ada pendidikan formal berurut dari pendidikan anak usia dini,
pendidikan taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama,
sekolah lanjutan tingkat atas, hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Seperti yang kita ketahui, semua calon siswa yang akan
mengikuti pendidikan di NKRI ini khususnya di Bali tentu menganut salah satu
agama yang diakui sah oleh pemerintah RI. Tentang di tanah Bali karena
mayoritas para calon siswa dan siswa adalah beragama Hindu maka dalam
oprasional proses belajar mengajar pada suatu sekolah tentu dominan
menyelenggarakan ajaran Hindu, misalnya mengenai pembersihan jiwa raga
seseorang calon siswa sebelum mengikuti suatu pendidikan. Dalam Hindu, jagat
raya ini disebut makrokosmos/ buana agung dan badan kita disebut mikrokosmos/buana
alit, para penganut Hindu meyakini pembentuk makrokosmos dan mikrokosmos itu
sama yakni zat panca maha butha (5 macam zat/unsur). Dalam kesehariannya
pemberlakuan makrokosmos dan mikroskosmos haruslah sama sedidaknya keduanya
perlu dibersihkan untuk hal yang lebih
baik tentunya.
Dilakukan di seluruh wilayah Bali, para calon siswa yang akan
mengikuti pendidikan pada suatu tingkat sekolah tentu akan dilaksanakan
pembersihan buana alit/mikrokosmos para calon siswanya. Upacara yang demikian
itu Hindu menyebutnya upanayana/pewintenan saraswati atau pada suatu daerah
Bali disebut pebanyuawangan. Upacara pewintenan Saraswati/upanayana ini sebagai
pembersihan buana alit sehingga secara sastra para calon siswa dan siswa bisa
merasakan dirinya bersih, dengan demikian diyakini hal-hal yang bersifat
negatif bisa berkurang. Umumnya rangkaian upacara ini pada setiap sekolah
didahului dengan atur piuning pada merajan sekolah di permaklumkan kepada Ida
Betara yang berstana di merajan sekolah bahwa mulai saat itu ada para calon
siswa baru yang akan mengikuti pendidikan di sekolah tersebut. Setiap upacara
upanayana/pewintenan saraswati ditandai dengan pemakaian karawista sebagai
lambang penyucian pikiran, pemakaian gelang benang tiga warna/tridatu bermakna
penyucian tingkah laku, serta mencicipi sad rasa (6 rasa : manis, pahit, asam,
asin, sepet, pedas ) bermakna pengendalian ucapan.
Upacara upanayana pada setiap sekolah merupakan awal pelaksanaan
deklarasi kejujuran, yang mana dapat diimplementasikan pada kehidupan
sehari-hari dengan berbagai tahapan yang diawali dengan pelaksanaan ajaran
agama dengan baik, selanjutnya mengajak para sahabat juga keluarga untuk
belajar bertanggung jawab yang berarti para siswa bisa berperilaku yang
positif, membiasakan siswa melaksanakan aneka kegiatan pembelajaran yang
bersifat jujur. Dapatlah diartikan upacara upanayana/pewintenan sari ini adalah awal deklarasi kejujuran. Dengan telah
dilakukannya upacara upanayana, maka resmilah para calon siswa menjadi siswa
pada sekolah bersangkutan, dengan harapan para siswa akhirnya dapat
memperbaiki juga introspeksi diri dalam
membangun jati dirinya kedepan, “astungkara”
Sumber bacaan : tabloid
pendidikan indonesia vol.6 No.1 Agust
2015.
No comments:
Post a Comment