I
Gede Bawa Setiawan, bali post 09012013.
Ngayah, bagi umat Hindu umumnya atau masyarakat
(Hindu) Bali khususnya bagai oksigen yang menapasi relegiusitas. Namun pada
saat globalisasi melanda saat ini,
kegiatan ngayah kian jarang dilakukan. Hingga saat ini ngayah memang lebih
banyak difahami, dimaknai dalam lingkup yang sempit dan terbatas. Seperti ngayah
membuat upakara pada waktu piodalan di pura, mempersembahkan tari
wali,dsb. Akibatnya banyak warga yang
tidak bisa terlibat dalam kegiatan ngayah berkenaan dengan piodalan itu, merasa
asing atau tidak percaya diri. Namun jika memahami dengan benar secara
konseptual tentang makna dan hakikat ngayah, hal itu tidak mesti terjadi.
Aktifitas ngayah yang masih melekat dalam sikap
bathin dan budaya orang Hindu pada hakikatnya berpegang pada suatu rumusan
filosofis kerja sebagai ibadah dan
ibadah dalam kerja. Bagi sosok orang
Hindu lebih jauh diperdalam dalam pemahaman kharisma yang disebut taksu. Konsep
spiritual taksu menjadi dasar, baik dalam representasi paham kerja atau ngayah
dan tidak semata-mata memberi pergulatan teknik, namun juga relegius pendalaman
atas nuansa spiritual pada aktifitas ngayah.
Dewasa ini bentuk pemahaman, penghayatan dan
implementasi ngayah dalam arti luas antara lain dapat direfleksikan melalui
menulis cerita-cerita ketuhanan, menulis buku-buku agama , dharma wecana,
menyekolahkan anak yatim/piatu, mengajarkan tentang agama,dsb. Jadi istilah ngayah tidak selalu dalam
konteks upacara keagamaan saja.--
No comments:
Post a Comment