Ditanah Bali seperti halnya
di daerah-daerah lainnya di Nusantara, acap terjadi pergantian penguasa, raja
demikian namanya. Kita semua tahu bahwasanya jika sang penguasa adalah seorang
wanita, maka sang penguasa itu disebut ratu. Pada zamannya kemarin dulu, di
tanah Bali juga pernah ada seorang ratu berkuasa. Ratu yang satu ini memiliki
nama yang demikian indah, yakni Sri Gunaprya Dharmma Patni.
Beliau berputra 3 orang ,
yaitu Sri Dharmmawangsa Wardhana Marakatapangkaja Stanotunggadewa, Sri
Airlangga, dan Sri Anak Wungsu. Musibah tiba, tatkala akan melahirkan Sri Anak
Wungsu, Sri Gunaprya Dharmmapatni
terkena sakit keras. Karena sakit beliau
telah banyak dukun yang diundang/didatangkan ke istana untuk mengobati sakit beliau ( tidak sedikit
dukun yang termasyur ke-sidhi-an dan ke-mandi-annya ). Namun sayang tidak
sedikit dukunpun yang mampu menyembuhkan
penyakit Sang Ratu. Oleh karena dalam
keadaan sakit keras, dan rupanya telah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa pada
saat sang Ratu (Guna Prya Dharmmapatni) melahirkan beliau menemui ajalnya.
Namun putranya lahir dengan selamat, dan putra sang ratu ini sejak baru lahir
sudah nampak rupawan dan tampan. Putra beliau itu diberi nama Sri Anak Wungsu,
yang berarti anak bungsu dari Sri Guna
Prya Dharmmapatni.
Berita tentang wafatnya,
Sri Guna Prya Dharmmapatni segera tersebar hingga ke pelosok pedesaan, sehingga
rakyat ikut bersedih hati serta menyampaikan bela sungkawa. Berita ini bukan
saja tersebar di tanah Bali, akan tetapi juga tersebar hingga ke pulau Jawa.
Itulah sebabnya Mpu Baradah diutus oleh raja Daha Sri Airlangga datang ke Bali,
untuk menyatakan bela sungkawa dan melayat jenazah ibunya. Kemudian abu jenazah
sang ratu, di-candi-kan di Kutri, Buruan (Gianyar) dan diberi gelar Durgga
Mahisa Mardhini Asthabhuja karena beliau
dianggap pejelmaan Dewi Uma penganut faham Siwa.
No comments:
Post a Comment