Sudah dari sejak lama tradisi ngaben di Bali diketahui oleh
orang banyak/khalayak ramai, yakni merupakan upacara pembakaran/kremasi jenazah
di Bali oleh umat Hindu (merupakan salah satu budaya asli Bali). Upacara ngaben
ini dimaksudkan untuk menyucikan roh anggota keluarga yang sudah meninggal yang
akan menuju ke tempat peristirahatan terakhir/ngungsi sunia loka (bhs.Bali).
Tidak banyak yang bahwa, kata ngaben itu mempunyai arti bekal atau abu yang
semua tujuannya mengarah tentang adanya pelepasan terakhir kehidupan manusia.
Dalam ajaran Hindu, selain dipercaya sebagai dewa pencipta, Dewa Brahma juga
memiliki wujud sebagai Dewa Api. Jadi upacara ngaben dapat diartikan sesuai
keyakinan umat merupakan proses penyucian roh dengan cara dibakar menggunakan
api agar bisa kembali ke sang pencipta seselekas mungkin. Dengan kata lain
dimaksudkan agar semua bahan pembentuk badan kasar kembali ke asal pembentuknya
( air ke air, tanah ke tanah, serta yang lainnya umat Hindu menyebut Panca Tan
Matra). Api yang membakar dipercaya sebagai penjelmaan Dewa Brahma yang bisa
membakar semua kekotoran yang melekat pada jasad dan roh orang yang telah
meninggal.
Ritual pengabenen/ngaben itu ada beberapa jenis yang dilanjutkan dengan prosesi mamukur, jenis pengabenan ; 1. Ngaben Sawa Wedana, merupakan upacara ngaben yang membakar/kremasi jenazah secara langsung/ masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) . Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3 s.d 7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut, dengan rambu menghindari hari petirtan di merajan atau lingkungan orang yang meninggal, juga dihindara hari yang tergolong tidak baik/ala riil ada kala gotongn,semut sedulur, gagag anungsung pati, purnama, tilem, dan lainnya. 2. Ngaben Asti Wedana , adalah upacara ngaben dengan kerangka jenazah yang pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngahgah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara tertentu di mana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara makingsa. Latahnya prosesi ini tidak memakai upakara/bebantenan sama sekali. 3. Swasta/Nyuwasta, yakni upacara ngaben tanpa adanya jenazah maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, diantaranya meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana sebagai pengawak/symbol jasad yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
Setelah upacara ngaben tuntas, dilanjutkan ke prosesi mamukur
juga disebut upacara nyekah atau atma wedana, bahkan dibeberapa tempat di Bali,
upacara mamukur ini disebut dengan upacara ngeroras, yaitu bagian dari upacara
pitra yadnya. Upacara mamukur ini adalah merupakan kelanjutan dari upacara ngaben
(Sawa Wedana / Atiwa-tiwa / pembakaran jenazah).Mamukur berasal dari kata
bukur, mendapat awalan ma, jadilah kata mamukur. Kata bukur berarti : pintu
Sorga, dapat juga diartikan : bangunan kecil yang atapnya bertingkat-tingkat
digunakan saat upacara yang berhubungan dengan roh. Jadi dengan demikian
memukur berarti memasuki pintu Sorga, atau suatu upacara agar roh atau atman yang telah meninggal dapat
memasuki alam sorga atau alam Kedewataan. Maka jelaslah tujuan dari upacara mamukur
tersebut yakni mengantarkan sang Atman
menuju alam Kedewataan, astungkara sesuai harapan.
No comments:
Post a Comment