Kasihan, prihatin, pedalem (bhs.Bali) kalimat itu dapat
keluar dari semua mulut, dan ungkapan sejenis itu tentunya tertuju kepada
mereka-mereka yang kurang beruntung bahkan untuk mereka yang tergolong gagal.
Kekurang beruntungan ataupun kegagalan itu buanyak jenisnya, dan penyebabnya
juga beraneka ragam. Fokus kita kali ini kembali ke tanah Bali yang senoktah
kecil diantara luasnya areal NKRI, Bali memang kecil namun tidak banyak yang
tahu jika di nusa kecil Bali itu ada lahan pertanian basah (sawah) seluas lebih dari tujuh puluh lima ribu hektar, lahan
sawah seluas itu di kerjakan oleh para petani tangguhnya yakni 55% dari
penduduk Bali, riil. Para petani Bali
itu dikatagorikan petani tangguh dalam artian tekun juga ulet, bukti riilnya
diantaranya kala pada eranya kemarin saat pemerintah negeri ini gencar-gencarnya
melaksanakan pemerataan penyebaran penduduk via transmigrasi, petani asal Bali
itu buanyak yang dikirim ditempatkan di Sulawesi, Kalimantan, juga Sumatra.
Saking tekun uletnya mereka sampai-sampai lantaran keberhasilannya di kawasan
baru, menimbulkan cemburu sosial terhadap penduduk asli ( walau mereka sebangsa
setanah air ).
Sejatinya kita semua khususnya para pemegang kebijakan (baca
Pemimpin), harus dapat memahani situasi dan kondisi pertanian neng Bali, baik
dari ketersediaan lahan dan juga sumber daya manusianya dalam hal ini para
petani Bali, yang pada nantinya sudah tentu harus didukung oleh kecanggihan
tehnologi. Jika para pemegang kebijakan tiada faham itu, bagaimana mungkin akan
membuat suatu kebijakan yang membanggakan demi terbantunya para petani Bali
kedepan yang notabene kondisinya amat memperhatinkan (tertekan), dibanding sector
lain. Lebih Lanjut demi kita-kita yang mendiami tanah Bali, semoga para
pemimpin kita nanti sedikit tidaknya faham akan ketahanan pangan. Harus terpetakan
di alam pikiran mereka (baca pemimpin), bahan pangan apa saja yang tersedia di
Bali, dan bahan pangan apa yang cocok di datangkan ke Bali dan nantinya bahan
pangan itu berusaha dikembangkan di Bali demi kian mengurangi ketergantungan.
Kalau tidak ada kebijakan yang relevan baik dari pemerintah dalam artian
pemerintah tidak mengupayakan tanah itu berproduksi tidak musatahil warga Bali
akan baru bertahan hidup jika yang namanya beras itu di datangkan ke Bali. Riil
kongkrit yang menuai delematis, walau program Bali Mandara telah lebih dari
delapan tahun dilaksanakan dengan menggebu sesemangat saat kampanye lalu, gabah
barasal dari Bali dikirim ke Jawa untuk digiling, kemudian berasnya di jual
lagi ke Bali. Kalau saja teori bisa
terterapkan, demi adanya peningkatan pendapatan petani Bali perlu adanya
kepastian harga hasil produksi (kepastian pengambilan hasil pembelian petani).
Regulasi juga penting, agar mekanisme berjalan antara pengalihan hasil
pertanian dan harga. Bali itu juga tergantung dari pariwisata, maka semoga
terpikirkan juga tentang blue print /rencana fit pengembangan pawiwisata Bali
yang merata yang berkelanjutan berbasis budaya dan pertanian.- “astungkara”
No comments:
Post a Comment