Setelah
Panglima Meliter Tanah Bali Kebo Iwa Gugur barulah tanah Bali ada dalam
genggaman tangan Maha Patih Majapahit Gajah Mada berbungkuskan Sumpah Palapa
Lokasi : di barat lautnya pura Srijong pantai payan Tabanan |
Sejatinya tanah Bali itu disebut sebagai Majapahit yang
terakhir tidaklah terlalu keliru, mengingat dari sejak nguni sebut saja di awalnya abad 14 pernah ada
seorang Panglima Meliter nan sakti mandaraguna disegani lawan serta kawan
berperan akftif menjaga kedamaian nusa kecil Bali. Saat itu, Sri Gajah
Waktra/Dalem Bedaulu/ Sri Astasura Ratna Bumi Banten Sang Pemberani juga
sedemikian saktinya memerintah tanah Bali menjadikan seorang perjaka tangguh
sebagai Panglima meliternya dialah Kebo
Iwa/Kebo Wandira/Kebo Taruna. Kala itu di Bali dan Jawa memakai aneka nama
binatang sebagai titel kehormatan kepada mereka-mereka yang diistimewakan.,
riil ada : Kebo (kerbau),Gajah, Mahisa (banteng), Banyak (angsa) misalnya Kebo
Anabrang, Mahisa Cempaka,Mahesa Jenar, Lembu Sora,Gajah Para, Banyak Wide, serta lainnya. Ketahuilah, bahwasanya
Panglima andalan tanah Bali Si Kebo Iwa amat ditakuti oleh Maha Patih Besar
Gajah Mada mungkin ilmu kesatian Jawa kalah oleh ilmu kesaktian Bali. Saat Sri Gajah Waktra bertahta di tanah Bali
sedemikian keloktahnya, banyak raja-raja lain merinding baru mendengar namanya,
dimana Sang Penguasa yang satu ini memiliki sejumlah pendamping nan sakti mandaraguna (kebal) diantaranya ;
Maha Patih Ki Pasung Grigis di Tengkulak, Patih Kebo Iwa di Blahbatuh,
Temenggung Ki Kala Gemet, Ki Tunjung Tutur, Ki Tunjung Biru, Ki Tambiak, Ki
Kalung Singal serta orang-orang sakti lainnya. Tidaklah heran pasukan Majapahit
sempat gemetar kala menahlukkan tanah Bali. Sebelum Kebo Iwa maninggal selama
itu jua tanah Bali tidak terggenggam oleh tangannya Maha Patih Gajah Mada. ( karena mengetahui keinginan Patih Gajah Mada
yang kuat mewujudkan sumpah palapanya, maka akhirnya Si Jantan Kebo Iwa
memberitahu Maha Patih Gajah Mada kelemahan diriny, agar bisa dikalahkan)
Sebagai seorang panglima meliter di zamannya, tentu harus
senantiasa menjaga darat serta laut, berkeliling di sepanjang pantainya nusa
kecil Bali. Maka tidaklah heran jika hingga akhir ayatnya Si Panglima Kebo Iwa
selalu di hormati walaupun nyata-nyata dia telah tiada. Warga Bali (baca Hindu
Bali), punya cara tersendiri dalam menghormati jasa-jasa besar seseorang yakni
dengan membuatkan sebuah pura sebagai tempat menghormati dan mengenang atas jasa mereka, misalnya jasa para orang
suci (Danghyang Nirartha), namun demikian Umat Hindu Bali tidaklah pernah
mendewakan seseorang. Sebagai bukti
kongkrit Patih Besar Kebo Iwa yang asalnya dari Blahbatuh Gianyar, tapi juga
tempat menghormatinya berupa sebuah pura ada di Pantai Payan ( di barat lautnya
Pura Srijong). Merupakan bukti yang
tiada terbantah kalau pada zamannya dulu Patih Kebo Iwa pernah berdomisili atau
paling tidak melakukan aneka aktivitas yang menyangkut orang banyak di sekitar
pantai payan (pantai Soka). Hingga di tahun dua ribuan, di seputar Pura Srijong
masih diyakini ada peninggalan Patih
Kebo Iwa berupa dapur/paon (bhs.Bali) dan periuk/payuk (bhs.Bali) mereka acap
menyebut “payuk kebo iwa”.
No comments:
Post a Comment