Tuesday, October 27, 2015

“ Jalannya Mati ibarat angin, hidup inipun hanya sesaat "



... dari itu hai manusia, janganlah terlalu sedih. Sejatinya hidup manusia itu tidaklah tetap, jiwamu itu tiada bedanya awan di musim panas, lagi pula jalannya mati itu sama dengan angin. Ketahuilah mula-mula dunia ini kosong semata, kemudian menyusul “ada”  yang bersifat amat sementara, untuk akhirnya kembali kepada “tidak ada”  Sesungguhnya hidup ini hanya sekejap mata, sehingga tidak sepantasnya diikat oleh kehausan atau kecintaan akan hidup.

jalannya mati itu sama dengan angin
tentang hidup itu




Umat Hindu meyakini bahwa ada yang namanya hukum karma/ karma pala, yang mana kurang lebih artinya kelak setelah kita mati sang atma wajib untuk mepertanggungjawabkan segala perbuatan kita semasa hidup. Ada yang bertugas mengadili segala perbuatan kita semasa hidup yang diantaranya tersirat apik pada berbagai jenis sastra kematian yang lumrahnya terkenal dengan nama Atma Tattwa.  Berjenis purana : Yama Purana Tattwa, Yama Tattwa, Atma Prasangsa dan yang lainnya.

Ngaben/upacara kematian : Cara  pembersihan arwah leluhur di Bali
Di Griya Purnawati, Kemenuh, Blahbatuh, Gianyar.

Yang namanya kematian itu tiada pernah tertebak kapan saatnya, karena itu merupakan rahasia dan kuasaNya. Sesuai dengan tulisan saudara  Armin Jaya pada media sosial face book di grup tertutup Komunitas Spiritual Bali Batoer yang menggambarkan tentang prosesi kematian seseorang . Pada saat-saat menjelang kematian, Pranamaya Kosha (lapisan badan prana atau energy kehidupan) bergerak mengalir dari ujung-ujung tangan dan ujung-ujung kaki dan selanjutnya berkumpul di jantung. Selanjutnya dari jantung, prana ini akan bergerak menuju ubun-ubun. Tepat saat prana mencapai ubun-ubun, kita ”berpindah” meninggalkan Sthula Sarira (badan fisik) ke Linga Sarira (badan fisik halus). Linga sarira kita ini akan ”melayang” di atas Sthula Sarira. Pada saat itu, antara Sthula Sarira dan Linga Sarira masih terhubung oleh ”tali sutratman” (tali energy berwarna keperakan), yaitu dari Kepala Sthula Sarira ke kepala Linga Sarira. Selama ”tali sutratman” ini belum putus, maka selama itu pula kita belum mati, meskipun secara medis kita dinyatakan sudah mati. Keajaiban ini sering terjadi dimana-mana, ketika seseorang yang dinyatakan sudah mati, tetapi tiba-tiba ”hidup” kembali. Ini dikarenakan ”tali sutratman” itu belum putus sama sekali -- DETIK-DETIK MENGHADAPI KEMATIAN --

 
Ngaben/upacara kematian : Cara  pembersihan arwah leluhur di Bali

 Ketika kita benar-benar sudah mati, kita harus secepatnya sadar bahwa kita sudah mati, karena kita tidak punya banyak waktu untuk menemukan jalan yang membebaskan kita dari roda Samsara. Biasanya kita akan melihat keluarga kita menangis disekitar jazad kita. Kalau itu yang terjadi, kita harus segera memastikan kematian kita sendiri ; --- 1). Segeralah kita mencari cermin. Lihat di cermin, kalau kita tidak melihat tubuh kita, itu sebagai pertanda kita sudah mati -- 2). Kalau tidak ada cermin, segeralah kita mencari cahaya terang (cahaya lampu, cahaya matahari, dll). Berdirilah di bawah cahaya terang itu. Kalau kita tidak melihat ”bayangan” tubuh kita, itu pertanda kita sudah mati --- SETELAH memastikan bahwa diri kita benar-benar sudah mati, tidak penting menunggui keluarga kita yang menangis ..tidak penting memikirkan pekerjaan yang belum tuntas ..tidak penting memikirkan perusahan ..tidak penting memikirkan kekayaan, dsb. Percuma ! Karena kita tidak akan dapat melakukan apapun, karena kita tidak lagi memiliki badan/tubuh (wadag/pisik/jasmaniah). Yang terpenting adalah ; bahwa semua keterikatan itu merupakan ”halangan besar” bagi perjalanan yang terang di alam kematian -- PARAMAJYOTIR (CAHAYA MAHASUCI) -- Beberapa saat setelah terjadi kematian, kita akan mengalami ”Fase Transenden Pertama” (seolah-olah kita sedang bermimpi), dimana rekaman atau ”memory” dari seluruh kehidupan kita (yang tersimpan di dalam Karana Sarira) muncul semua. Seluruh akumulasi pengalaman hidup muncul dari segala sudut pikiran ..kejadian demi kejadian ..seperti film yang diputar cepat. Semua kejadian dan pengalaman hidup kita akan terlihat sangat jelas dan detail, layaknya kita menonton film layar lebar. Lalu kita akan memasuki fase transenden kedua, dimana muncul ”Parama Jyotir atau ”cahaya terang Mahasuci, yang merupakan ”gerbang” menuju moksa (pembebasan) atau minimal menuju alam-alam terang (Svah Loka). Akan tetapi durasi kemunculan cahaya ini sangat bervariasi bagi setiap orang, tergantung dari Samskara (kecendrungan pikiran) kita sendiri di saat-saat akhir menjelang kematian. Bagi yang semasa hidup banyak karma buruknya, serta Ahamkara (ke-aku-annya) besar dan berat, apalagi berisi iri hati, marah-marah, benci, dendam serta pikirannya dualistik (salah-benar, suci-kotor), penuh keterikatan dengan benda-benda duniawi, dll, sehingga di moment kematian pikirannya cendrung buruk, maka cahaya terang ini muncul sebentar saja ..mulai hanya 1/2 detik s/d 30 menit. Sedang bagi yang semasa hidup banyak melakukan karma baik, serta keakuannya kecil ; kebaikannya tulus ..kesabarannya tulus ..kerelaannya tulus, dsb, sehingga di moment kematian pikirannya cendrung tenang, maka cahaya terang ini akan muncul selama sekitar 30 menit s/d beberapa jam, tergantung diri kita sendiri. Sedangkan bagi seorang ”Jiwan Mukta”, yaitu seseorang yang semasa hidup ke-aku-annya sudah lenyap (Nirahamkarah), memungkinkan akan segera ”menyatu” dan mengalami moksa. Keberadaannya langsung menyatu sempurna dengan cahaya terang Mahasuci yang Tidak Terpikirkan (Acintya), laksana segelas air tertuang ke dalam samudra ..langsung menyatu sempurna -- CAHAYA TRI DATU -- Setelah kita tersadar dari fase transenden tsb, kita masih punya waktu beberapa saat untuk melihat diri kita sendiri mati ..melihat tubuh kita terbaring, membujur kaku tiada berdaya. Sadarlah bahwa kita sudah mati. Akan ada ”cahaya putih” muncul dari atas ubun-ubun kita yang bergerak ke bawah ke satu titik dihadapan kita. Lalu ”cahaya merah” muncul dari ibu pertiwi (tanah, bumi) yang bergerak ke atas titik yang sama. Ketika cahaya putih dan merah ini bertemu, di sana muncul ”warna hitam”. Waktunya hanya beberapa detik saja, kita harus perhatian dan cepat. Kalau kita cerdas dan cernat, hidup penuh dengan kasih-sayang dan kebaikan ..meditasi kita bagus dan di saat-saat kematian, bathin kita tenang-seimbang (Upeksha), maka kita akan berhasil melompat masuk ke warna hitam ini. Kalau kita berhasil, berarti roda Samsara akan berhenti dan kita ”terbebaskan”. Kalau kesempatan ini terlewatkan (kita gagal), kita masuki kesempatan berikutnya -- MRTYA LOKA -- Mrtya Loka adalah ”alam kematian”. Ketika mengarungi alam ini, kita begitu banyak mendengar suara-suara mengerikan. Suara-suara itu seakan-akan mengejar-ngejar kita ..menginjak-nginjak tubuh kita ..mencincang tubuh kita. Kita berlarian kesana-kemari dalam kegelapan dan ketakutan. Harus dipahami, suara-suara itu bukanlah suara Setan, juga bukan suara Tuhan yang marah atau menghukum. Itu adalah repleksi atau pantulan dari samskara yang timbul dari pikiran kita sendiri, terutama rasa bersalah kita dikarenakan banyak melakukan karma buruk semasa hidup di dunia. Mrtya Loka adalah alam ”penghubung” antara alam satu dengan banyak alam lainnya di akhirat, dan ini membuat kita berpikir seribu kali untuk memasuki alam yang mengerikan ini .---


Nb :  Sadarilah ;
Tidak capek pun perlu istirahat
Tidak kaya pun perlu bersyukur sadarlah hidup itu pendek pasti ada saatnya finish,jangan tertipu dengan usia muda, karena syarat mati tidak harus tua, jangan terpercaya dengan tubuh dan badan sehat karena syarat mati tidak mesti sakit teruslah berbuat baik berkata yg baik memberi nasehat baik walaupun tidak banyak orang memahamimu


Sumber info,  tulisan : Armin Jaya ( grup tertutup komunitas spiritual Bali Batoer )

 



No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini