Pada dasarnya Bali amat terbuka dengan yang namanya interaksi
dengan dunia luar, misalnya dengan tulus menyambut kedatangan para wisman juga
wisnu. Jamak orang tahu tentang
masyarakat Bali yang telah menyatu dengan seni budaya dan agama mayoritasnya,
namun tiada terpungkiri di lain pihak akan menjadi amat sensitif begitu
bersentuhan dengan adat budaya Bali. Tak heran jika pada suatu ketika dulu ada
kasus iklan yang menampilkan bola golf diatas canang sari tidak diizinkan beredar
di Bali, demikian juga dengan sebuah film yang berjudul Pandan Sari, kedua
contoh itu nyata-nyata telah menyentuh yang namanya kearifan lokal/ perasaan
orang Bali.
Di NKRI yang kita cintai ini khususnya di masing-masing
daerah tingkat satunya ada suatu badan yang disebut Bafida ( Badan Film
Daerah), demikian juga halnya di Bali. Menjadi tugasnya Bafida Bali untuk
menyeleksi para pembuat film yang hendak syuting film di Bali, karena ada
rambu-rambu sebagai persyaratan untuk dapat syuting di Bali. Yang tidak dapat
ditawar adalah harus memperhatikan kearifan lokal Bali, yang menyangkut seni, budaya, juga agama. Secara riilnya
mereka yang syuting di Bali akan diawasi oleh Bafida Bali guna menentukan
dimana tempat-tempat yang boleh untuk mengambil gambar, tempat yang disucikan
tidak boleh dijamah umum, demikian juga dengan adegan serta cara berpakaian
agar jangan sampai terjadi ketersinggungan dengan masyarakat Bali.
Dari kesekian film yang syutingnya di lakukan di Bali, ada
suatu film yang nyata-nyata membuat lebih tenarnya nama suatu wilayah di Bali,
Ubud telah di keloktah di seantero jagat namun berkat film Eat, Pray, Love ,
Ubud itu lebih populer. Dibintangi Julia Robert, dalam film ini di kisahkan
sang tokoh menemukan cinta sejatinya di tanah Bali tepatnya Ubud. Fakta riil
mengatakan setelah beredarnya film eat,pray, love lokasi syutingnya menjadi
tujuan wisata anyar neng Ubud yakni tapak tilas Elizabeth Gilbert. Beberapa
lokasi syuting yang lainnya juga kian populer seperti pemandangan indah persawahan,
jalan-jalan desa di daerah Ubud,
demikian juga rumah dan pasar tradisionalnya. Bolehlah disimpulkan tanah
Bali itu dan juga masyarakatnya terbuka bagi siapa saja dengan syarat tidak
membuat yang namanya ketersinggungan sekecil apapun, bukankah hal itu merupakan
sesuatu yang wajar ?
Sumber bacaan : tabloid tokoh edisi 842.
No comments:
Post a Comment