Thursday, August 27, 2015

Bali dan film Eat, Pray, Love




Pada dasarnya Bali amat terbuka dengan yang namanya interaksi dengan dunia luar, misalnya dengan tulus menyambut kedatangan para wisman juga wisnu.  Jamak orang tahu tentang masyarakat Bali yang telah menyatu dengan seni budaya dan agama mayoritasnya, namun tiada terpungkiri di lain pihak akan menjadi amat sensitif begitu bersentuhan dengan adat budaya Bali. Tak heran jika pada suatu ketika dulu ada kasus iklan yang menampilkan bola golf diatas canang sari tidak diizinkan beredar di Bali, demikian juga dengan sebuah film yang berjudul Pandan Sari, kedua contoh itu nyata-nyata telah menyentuh yang namanya kearifan lokal/ perasaan orang Bali.

Di NKRI yang kita cintai ini khususnya di masing-masing daerah tingkat satunya ada suatu badan yang disebut Bafida ( Badan Film Daerah), demikian juga halnya di Bali. Menjadi tugasnya Bafida Bali untuk menyeleksi para pembuat film yang hendak syuting film di Bali, karena ada rambu-rambu sebagai persyaratan untuk dapat syuting di Bali. Yang tidak dapat ditawar adalah harus memperhatikan kearifan lokal Bali,  yang menyangkut  seni, budaya, juga agama. Secara riilnya mereka yang syuting di Bali akan diawasi oleh Bafida Bali guna menentukan dimana tempat-tempat yang boleh untuk mengambil gambar, tempat yang disucikan tidak boleh dijamah umum, demikian juga dengan adegan serta cara berpakaian agar jangan sampai terjadi ketersinggungan dengan masyarakat Bali.

Dari kesekian film yang syutingnya di lakukan di Bali, ada suatu film yang nyata-nyata membuat lebih tenarnya nama suatu wilayah di Bali, Ubud telah di keloktah di seantero jagat namun berkat film Eat, Pray, Love , Ubud itu lebih populer. Dibintangi Julia Robert, dalam film ini di kisahkan sang tokoh menemukan cinta sejatinya di tanah Bali tepatnya Ubud. Fakta riil mengatakan setelah beredarnya film eat,pray, love lokasi syutingnya menjadi tujuan wisata anyar neng Ubud yakni tapak tilas Elizabeth Gilbert. Beberapa lokasi syuting yang lainnya juga kian populer seperti pemandangan indah persawahan, jalan-jalan desa di daerah Ubud,  demikian juga rumah dan pasar tradisionalnya. Bolehlah disimpulkan tanah Bali itu dan juga masyarakatnya terbuka bagi siapa saja dengan syarat tidak membuat yang namanya ketersinggungan sekecil apapun, bukankah hal itu merupakan sesuatu yang wajar ?

Sumber bacaan  : tabloid tokoh edisi 842.

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini