Wednesday, May 20, 2015

Pendidikan ala Tenganan Pagringsingan




Budaya / kebudayaan itu jika diidentikkan dengan mutiara rasanya tidaklah terlalu salah, banyak yang mengatakan mutiara itu ada ladangnya katakanlah tambangnya. Diatas bumi ini sejagat orang tahu ladangnya budaya salah satunya adalah di pulau surga / paradise island, di pulau itu ada suatu kota kabupaten yang bernama Karangasem di daerah timur pulau tersebut. Di kabupaten tertimur pulau surga itulah ada suatu desa bernama Tenganan  Pagringsingan, desa yang satu ini memiliki lebih dari tiga tradisi unik yang mampu bertahan lestari selama rentang waktu ratusan tahun. Salah satu tradisi unik yang mampu membawa nama Tenganan nun jauh ke sebrang sana / manca negara adalah “perang pandan/mekare-kare” yang terkait lengket dengan prosesi usaba sumbu di desa itu. Ada juga prosesi “mesabatan endut” , endut itu adalah tanah encer sejenis tanah sawah. Semua tradisi yang unik-unik itu bisa lestari penyebab utamanya  adalah para generasi penerus Tenganan sadar akan kewajibannya sebagai pemegang estafet roda kehidupan desa dan tradisi  mereka yang harus terus diputar.

suatu ketika, pada ritual keagamaan di Desa Tenganan

Warga tenganan  juga  penganut Hindu nan taat di pulau surga,  lumrah orang tahu ada empat tahapan kehidupan yang harus dilakoni oleh umat Hindu : brahmacari (masa menuntut ilmu), grahasta (masa berumah tangga), biksuka, dan sanyasin. Sebelum menjalani kehidupan melepas masa lajang/berumah tangga para pemuda dan pemudi Tenganan wajib menjalani suatu pendidikan khusus yang disebut “ metruna nyoman”. Lama pendidikan khusus ala Tenganan itu adalah setahun atau setara D1 lamanya, para guru/pelatih meteruna itu bukanlah para prajuru desa, pelatihnya disebut mekel merupakan pemuda senior yang telah lulus melewati 2 tahapan upacara meteruna nyoman.  Pada masa brahmacari itulah para pemuda/pemudi Tenganan dianggap tiada ubahnya siklus kehidupan si kupu-kupu yang mengalami metamorposa.

Prosesi meteruna nyoman / madeha diawali dengan pergi sendiri ke pura kala malam hari tiap 3 hari dimulai dari tepat saat kajeng keliwon, ke pura di wilayah desa tenganan mebakti/sembahyang mohon keselamatan. Dan saat ke pura, sembahyang, dan balik ke rumah sama sekali tidak boleh dilihat oleh siapapun, saat itu disebut fase telur dan ulat. Berikutnya adalah melakoni prosesi ulat jadi kepongpong, dilaksanakan di balai subak/balai buga, sama halnya dengan saat sembahyang/mebakti ke pura harus rahasia. Selama ada di tengah balai juga tidak boleh terlihat, biasanya balai ditutup dengan anyaman bambu. Selanjutnya para pengikut meteruna nyoman wajib sembahyang di pura puseh, itulah fase kepongpong berubah jadi kupu-kupu, dan pada purnama sasih keulu sesuai penanggalan desa Tenganan kepongpong terbuka. Kupu-kupu teruna dan deha baru keluar sedikit, hanya baru bisa terbang dekat disekitar pemukiman desa. Dimulailah pendidikan selama setahun, dimulai dengan peserta teruna nyoman megundul / potong rambut pendek, kemudian metatah/potong gigi. Usai itu setahun dalam pendidikan para peserta meteruna nyoman, tidak boleh lagi megundul/potong rambut. Dalam setahun itu mereka wajib belajar mejejaitan dan aneka hal kehidupan warga Tenganan Pagringsingan. Setahun kemudian tiba sasih kesanga/kesembilan baru boleh melakukan upacara dan sembahyang ke pura-pura yang ada diatas perbukitan Tenganan sebanyak 3 kali, lalu ke pura sekeliling bukit sebanyak 2 kali serta sekali ke Pura Candi Dasa. Saat inilah merupakan tahapan pengenalan wilayah atau lingkungan luas.

Sumber bacaan  : majalah bali post no.06.

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini