Budaya / kebudayaan itu jika diidentikkan dengan mutiara
rasanya tidaklah terlalu salah, banyak yang mengatakan mutiara itu ada
ladangnya katakanlah tambangnya. Diatas bumi ini sejagat orang tahu ladangnya
budaya salah satunya adalah di pulau surga / paradise island, di pulau itu ada
suatu kota kabupaten yang bernama Karangasem di daerah timur pulau tersebut. Di
kabupaten tertimur pulau surga itulah ada suatu desa bernama Tenganan Pagringsingan, desa yang satu ini memiliki
lebih dari tiga tradisi unik yang mampu bertahan lestari selama rentang waktu
ratusan tahun. Salah satu tradisi unik yang mampu membawa nama Tenganan nun
jauh ke sebrang sana / manca negara adalah “perang pandan/mekare-kare” yang
terkait lengket dengan prosesi usaba sumbu di desa itu. Ada juga prosesi
“mesabatan endut” , endut itu adalah tanah encer sejenis tanah sawah. Semua
tradisi yang unik-unik itu bisa lestari penyebab utamanya adalah para generasi penerus Tenganan sadar
akan kewajibannya sebagai pemegang estafet roda kehidupan desa dan tradisi mereka yang harus terus diputar.
Warga tenganan
juga penganut Hindu nan taat di
pulau surga, lumrah orang tahu ada empat
tahapan kehidupan yang harus dilakoni oleh umat Hindu : brahmacari (masa menuntut
ilmu), grahasta (masa berumah tangga), biksuka, dan sanyasin. Sebelum menjalani
kehidupan melepas masa lajang/berumah tangga para pemuda dan pemudi Tenganan
wajib menjalani suatu pendidikan khusus yang disebut “ metruna nyoman”. Lama
pendidikan khusus ala Tenganan itu adalah setahun atau setara D1 lamanya, para
guru/pelatih meteruna itu bukanlah para prajuru desa, pelatihnya disebut mekel
merupakan pemuda senior yang telah lulus melewati 2 tahapan upacara meteruna
nyoman. Pada masa brahmacari itulah para
pemuda/pemudi Tenganan dianggap tiada ubahnya siklus kehidupan si kupu-kupu
yang mengalami metamorposa.
Prosesi meteruna nyoman / madeha diawali dengan pergi sendiri
ke pura kala malam hari tiap 3 hari dimulai dari tepat saat kajeng keliwon, ke
pura di wilayah desa tenganan mebakti/sembahyang mohon keselamatan. Dan saat ke
pura, sembahyang, dan balik ke rumah sama sekali tidak boleh dilihat oleh
siapapun, saat itu disebut fase telur dan ulat. Berikutnya adalah melakoni
prosesi ulat jadi kepongpong, dilaksanakan di balai subak/balai buga, sama
halnya dengan saat sembahyang/mebakti ke pura harus rahasia. Selama ada di
tengah balai juga tidak boleh terlihat, biasanya balai ditutup dengan anyaman
bambu. Selanjutnya para pengikut meteruna nyoman wajib sembahyang di pura
puseh, itulah fase kepongpong berubah jadi kupu-kupu, dan pada purnama sasih
keulu sesuai penanggalan desa Tenganan kepongpong terbuka. Kupu-kupu teruna dan
deha baru keluar sedikit, hanya baru bisa terbang dekat disekitar pemukiman
desa. Dimulailah pendidikan selama setahun, dimulai dengan peserta teruna
nyoman megundul / potong rambut pendek, kemudian metatah/potong gigi. Usai itu
setahun dalam pendidikan para peserta meteruna nyoman, tidak boleh lagi
megundul/potong rambut. Dalam setahun itu mereka wajib belajar mejejaitan dan
aneka hal kehidupan warga Tenganan Pagringsingan. Setahun kemudian tiba sasih
kesanga/kesembilan baru boleh melakukan upacara dan sembahyang ke pura-pura
yang ada diatas perbukitan Tenganan sebanyak 3 kali, lalu ke pura sekeliling
bukit sebanyak 2 kali serta sekali ke Pura Candi Dasa. Saat inilah merupakan
tahapan pengenalan wilayah atau lingkungan luas.
Sumber bacaan : majalah bali post no.06.
No comments:
Post a Comment