Monday, September 9, 2013

Potret Bali kini



Jika kita pernah mendengar kata taksu, tentulah kata itu acap kita dengar di tanah Bali betapa tidak yang namanya istilah taksu itu hamper saban hari dikumandangkan oleh umat Hindu, khususnya umat Hindu Bali. Jamak orang tahu bahwasanya tanah Bali itu identik juga dengan Hindu yang senantiasa lekat dengan budayanya yang adi luhung dan diakui oleh bangsa sejagat. Terkait dengan kata taksu, tentu ada yang namanya upacara keagamaan : upacara air, upacara tanah, ada juga yang namanya upacara padi. 
Bali mengalahkan Phuket (Thailand), Maladewa, Santorini (Yunani) dan Sri Lanka. Dalam rilis KBRI Moskow kepada detikTravel, Kamis (24/3/2016) hasil tersebut diumumkan dalam sebuah gala dinner di Hotel Metropol Moskow pada tanggal 21 Maret 2016. Pada tahun 2013 Bali juga berhasil meraih predikat juara untuk kategori yang sama.

Manakala di tanah Bali yang kaya dengan berbagai jenis upacara keagamaan, air, tanah, sungai, danau serta laut tiada luput didera pencemaran aneka limbah, sampah, juga kotoran.  Hampir semua orang tahu, “konsep tenget” juga datangnya dari tanah Bali, namun amat disayangkan semuanya menjadi kian campah oleh rasionalitas yang terlampau intelek, namun nyata luput memekarkan rasa hati yang menggerakkan kesadaran etik. Ironis memang, di perkotaan, pinggiran kota bahkan ke pedesaan kini mereka malah iklas membeli air, padahal semula air sehat bisa didapat secara cuma-cuma, gratis, langsung dari alam.


Disisi lain, yang juga mewarnai corak geliat kehidupan warga Bali kini adalah semaraknya alih kepemilikan , alih fungsi, serta alih peruntukan lahan produktif yang tidak terbendung, tidak terkendali. Tiada pelak lagi, yang kena imbas nyata adalah para petani Bali, subak Bali, semuanya kian terjepit secara ekonomi, sosial, juga politik. Demikian juga dengan masyarakat Bali yang merawat tradisi berkesantunan terhadap tanah serta air dikawasan hulu, di pegunungan serta danau mereka kian tersisih secara ekonomi, sosial, politik.

Singkat ceritra, di Bali kini berbagai jenis kesenjangan kian menganga sedemikian lebarnya. Diantaranya kesenjangan diantara subak sebagai teks kearifan sistim peradaban air dan tanah yang kian mengenaskan. Orang-orang saban hari riuh memadati pantai-pantai Bali, mereka semua girang bertempik riuh dengan penobatan subak sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) di tengah arus deras alih kepemilikan, alih fungsi, serta alih keperuntukan tanah-tanah sawah di Bali. Diera ini, masih adakah yang peduli dengan alam dan budaya Bali ? Seberapa lama lagikah taksu Bali akan mampu bertahan dan bergema hingga gaungnya di dengar oleh bangsa sejagat? Mari kita tanyakan kepada rumput yang bergoyang, di tepi-tepi pantai tanah Bali……..

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini