Saturday, January 12, 2013

“ Sedikit” tentang Pura Tirthaempul





Pada suatu hari Raja Masula-Masuli mengadakan suatu rapat, yang dihadiri oleh patih, para mantri, para manca, serta para Mpu diantaranya Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, dan Mpu Kuturan serta para  perbekel Bali. Dalam rapat itu Baginda Raja minta pada peserta rapat , agar tetap memegang kewajiban pada bidangnya masing-masing seperti pada pemerintahan sebelumnya.  Sejak raja suami-istri itu memerintah, puri Pejeng yang terletak di barat sungai pakerisan dan di sebelah timur sungai petanu itu menjadi ramai. Saat itulah ada perintah dari Baginda raja untuk menjadikan Tirthaempul sebagai pura dan parahyangan Bhatara Hyang Indra, agar segera dikerjakan dan dirampungkan. Selain itu juga parahyangan  Magening agar dipergunakan untuk parahyangan Bhatara Hyang Suci Nirmala dan sebagai  Maha  Brasadha Agung.  Dalam  pembangunan pura itu, Mpu Kuturan memberikan ukuran, baik mengenai tata ruang maupun tata bangunannya, seperti yang telah ditentukan dalam lontar astha kosali.


Saat itu tidak terhingga suka cita gembiranya hati rakyat seluruh Bali, karena baginda raja besar perhatiannya terhadap pembangunan sarana peribadatan yakni sejumlah pura sebagai penyungsungan jagat.  Diawali dengan pembangunan Pura Tirthaempul dan Mengening, lalu dilanjutkan dengan membangun pura lainnya yang dipimpin oleh Mpu Kuturan. Dalam tempo sekitar 3 tahun, seluruh pura tersebut selesai. Pura-pura itu diantaranya : Pura Thirta, Mengening, Ukir Gumang, Jampana manik, Alas Arum/Belahan Thirta Kamandalu, Penataran Wulan, Puser Tasik, Manik Ngereng. Kesemua pura itu direncanakan  oleh raja Masula-Masuli yang dibantu oleh Mpu Kuturan.


Pembangunan pura Thirtaempul dan mengening berdasarkan rencana yang telah disepakati yakni membuat Parahyangan Bhatara Hyang Indra. Pura itu dilengkapi dengan pancuran yang diberi tanda huruf, sesuai dengan kegunaannya masing-masing, agar dapat dengan mudah diketahui berdasarkan tanda-tanda yang bersangkutan. Tanda-tanda itu dibuat dari huruf Sumedang karya Mpu Angganjali, yang mesti dihormati oleh semua rakyat Bali.-

Sumber  >  buku babad pasek, seri babad bali.-



TIRTHA EMPUL
 versi  sdr.  Armin Jaya

Mungkin tidak banyak yang mengetahui sejarah keberadaan Pura Tirtha Empul sekarang ini. Pura yang berlokasi di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali ini, menyimpan sejuta cerita. Mulai dari terbunuhnya ”Balayuda” (Pasukan Perang) Kahyangan yg dipimpin oleh Batara Indra dan Batara Mahadewa, hingga dihidupkannya kembali mereka yang mati. Sejarah keberadaan Pura ini berawal dengan dilakukannya pengejaran terhadap Mayadanawa dan Patihnya Kala Wong. Dua orang ini adalah sosok ”raja” dan ”Patih” yg sangat lalim dan kejam, serta suka membuat kekacauan dimana-mana. Dalam persembunyiannya di Manukaya, Ki Patih Kala Wong membuat rencana rahasia. Pada saat tengah malam, ia pergi ke hutan Pegulingan sendirian. Di sana ia melakukan tapa brata yoga semadi, nguncarang japa mantra sakti, memanunggalkan bayu, sabda idep dengan sikap agranasika, memuja Hyang Kuasa. Atas keutamaan mantranya itu, tiba-tiba muncul aliran air yg sangat besar dan deras dari arah utara menuju ke selatan. Aliran air yg deras itu lalu disapa oleh Ki Patih Kala Wong ; ”Hamba memohon kepada Sanghyang Wekasan Mandi, agar air ini mawisia (beracun). Barang siapa yg meminum air ini agar mati. Apabila ada yg menggunakan air ini untuk mandi semoga terkena mala, celaka, gering agung, tak henti-hentinya mengalami kesakitan menjadi manusia !“. Air itu kemudian diberinama 'Toya Mala' atau Toya Cetik (air beracun), sebab semua yg meminum akan mengalami kematian, dan yang mandi akan kesakitan --- DIKISAHKAN pada suatu malam, seorang Balayuda (pasukan perang) Kahyangan, dalam istirahatnya malam itu terbangun karena melihat ada aliran air yg jernih mengalir dari arah utara. Segera saja ia membangunkan teman-temannya yg lain dan memberitahu hal itu. Melihat hal tsb, Balayuda Pasukan Kahyangan menjadi sangat senang. Mereka yg kehausan lalu beramai-ramai meminum air tersebut dan ada juga yg mandi. Yang meminum air tersebut langsung lemas di tempat. Mereka yg mandi mengalami kesakitan ; ada yg mising (muntah berak), gatal-gatal, sempoyongan, pusing dan kulit borok. Akibatnya pasukan kahyangan tewas sebanyak 500 ribu orang. Seorang Balayuda Kahyangan segera melaporkan hal itu kepada Batara Indra dan Batara Mahadewa. Demi mendengar laporan itu, Batara Indra dan Batara Mahadewa menjadi susah hati. Selanjutnya kedua Batara itu membicarakannya kepada Bhagawan Naradha dan Bhagawan Wrehaspati, disertai para Bhujangga Rsi Siwa Sogata. ”Para Maharsi semuanya, aku harapkan kalian mengeluarkan Aji Weda Yoga Sandi, agar keluar tirtha amertha untuk mengobati dan menghidupkan kembali pasukan kahyangan yang mati karena meminum toya Mala tersebut”. Segera kemudian para Rsi Bhujangga melakukan puja mantra, nguncarang 'weda mantra sandi'. Lima orang Bhagawan melakukan puja mantra di sebelah timur dari lokasi toya cetik tersebut. Kelima Bhagawan itu melakukan japa mantra dg dentingan suara genta. Tampak pula tangisan dari para istri Balayuda yg tewas meminum Toya Cetik itu. Setelah sekian lama memohon kepada Hyang Kuasa, akhirnya medal (muncul) tirtha amertha (air kehidupan). Hal ini diketahui oleh Hyang Batara Kalih, yakni Batara Indra dan Batara Mahadewa. Segera Kedua beliau itu hadir di sana dan muncul melalui 'Padmasana Manik' dan duduk di 'Paringa Mas Manik Maya'. Hyang Batara kemudian menancapkan ”Kober Kuning” dan umbul-umbul (lelontek), lalu melakukan yoga mengeluarkan ”Aji Yoga Sandi”. Setelah beliau melakukan yoga, dicabutlah kober dan lelontek tersebut. Karena beliau memang siddhi wakia, wah bajra, dan siddhi adnyana, sehingga kemudian muncul tirtha yang sangat suci dan uttama yang mengalir ke selatan. Tirtha itu diberinama ”Tirtha Empul”, yang terletak di sebelah timur laut dari desa Tampaksiring. Tirtha yang muncul itu kemudian digunakan untuk memerciki semua Balayuda Kahyangan yang tewas setelah meminum toya cetik tersebut. Tirtha tersebut memang siddhi mandi, sakti dan suci. Semua Balayuda Kahyangan yang diperciki tirtha tsb kembali hidup sebagai sedia kala, termasuk diantaranya Ki Patih Raja Mong, selaku pimpinan pasukan, yang juga tewas. Ketika diperciki tirtha itu, ia kembali hidup, seperti orang baru bangun saja layaknya. Semua yang telah dihidupkan kembali dg tirtha tsb, kemudian melakukan penyucian diri dan mandi di tempat tsb. Semuanya bersenang-senang, seakan-akan mereka sedang berada dlm mimpi indah. Demikian halnya dengan Batara kalih, yakni Batara Indra dan Batara Mahadewa, menjadi lega perasaan beliau menyaksikan Balayuda-nya telah kembali sebagai sedia kala ••

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini