Monday, January 21, 2013

Kita generasi yang buta (khusus Bali)



Entah karena apa tidak semua warisan para pendahulu kita dapat kita pelihara dengan baik, jangankan dilestarikan. Misalnya tanah kita semua doyan amat dengan uang dari hasil jualan kacang, kacang “tanah”. Setelah punya uang kitapun jadi senang dan loyar/boros karena hura-hura itu hobi kita. Itu tentang tanah, kalau saja ada yang mau membeli sanggah tentu kitapun akan menjual sanggah/merajan kita untuk foya-foya. Ada juga warisan para pendahulu kita ( leluhur orang Bali) berupa suatu budaya yakni kesusastraan Bali.

Keberadan kesustraan Bli kayaknya sudah tidak mendpatkan tempat lagi di hati para generasi muda, dengan bukti meredup dan hampir hampir saja punah, namun belum sirna. Untuk dapat kembali bangkit, jaya, and eksis kayak keemasan leluhur kita kemarin dulu serasa sulit, bagai mau mengeringkan  danau Beratannya Bali. Karena fakta yang tiada terpungkiri telah bicara,  tidak banyak para generasi muda Bali yang tertarik akan bahasa Bali (ini pokok problemanya), untuk sekedar tahu saja jarang apalagi mempelajari, menekuni, dan mengembangkan.  Serasa asa telah pupus, memang demikianlah adanya. Tinggal menungga waktu, waktu lenyapnya si kesusastraan Bali, sungguh sayang !! Yang lebih ektrim, di tahun awal 2013 pemerintah mengeluarkan sebuah kurikulum yang menghapus bahasa daerah (Bali) dari pembelajaran.

Mungkin lantaran yang namanya kesusastraan Bali itu kebanyakan berupa lontar yang tertulis rapi dalam aksara Bali. Disinilah kendalanya, kenapa para generasi muda Bali jarang mau mempelajarinya, ujung-ujungnya para generasi muda Bali kian tahun kian banyak yang buta, buta akan aksara Bali, tak heran memang kita. Walau kemarin-kemarin aksara Bali telah diajarkan sejak di bangku Sekolah Dasar bahkan hingga ke Sekolah Menengah Atas. Anggapan yang keliru memang mendera para generasi muda Bali,  bahwa belajar aksara Bali tiada berguna, toh kini telah ada komputer. Padahal untuk menterjemahkan lontar-lontar yang masih terpelihara di banyak tempat, mesti tahu dan mengerti aksara Bali. Lontar-lontar itu warisan nenek moyang, tak salah bila dikatakan lontar itu adalah aset yang berharga dalam khasanah budaya bangsa. Hendaknya kita jangan membiarkan aksara dn kesusastraan Bali punah, karena kita enggan dan tak mau, tiada sudi untuk mempelajarinya. Memang tidak terpungkiri ini adalah merupakan salah satu bukti kurangnya kaderisasai dalam menurunkan budaya ke kenerasi berikutnya. “Jangan kita terlalu menyesal, karena memang demikianlah adanya”

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini