Walaupun hasil ini merupakan hasil maksimal dari
waktu dan keadaan yang dimungkinkan bukanlah berarti bahwa hasil ini sudah
sempurna. Karena kami yakin dari jumlah umat Hindu yang 2,225,000 ini bertempat
tinggal di seluruh Bali mempuyai banyak lagi simpanan lontar-lontar dan
mitologi-mitologi yang berhubungan dengan Pura yang kami teliti. Bagi para
cedekiawan yang ingin mendalami pura ini, di kemudian hari, kiranya bahan
sederhana ini akan bisa digunakan sebagai pelengkap dari tulisan-tulisannya.
Dalam penelitian kami mengenai Pura Dalem
Penataran Peed, sumber yang terbanyak kami dapakan adalah di Pulau Bali sendiri
terutama dalam hubungannya dengan raja-raja dan pengaruh pura tersebut terhadap
rakyat yang ada di Bali. Di Nusa sendiri kami sedikit sekali mendapatkan bahan
informasi karena orang yang tahu tulisan-tulisan maupaun prasasti-prasasti yang
berhubungan dengan pura ini hampir tidak ada. Kepada Institut Hindu Dharma yang
telah menugaskan kami mengadakan penelitian kami menyarankan bahwa penelitian
yang kami hasilkan ini hendaknya di kemudian hari bisa dilanjutkan dalam bentuk
yang lebih meluas dan lebih mendalam. Karena kami melihat kaitan yang sangat
kuat sekali antara Pura Dalem Penataran Peed dengan Pri kehidupan dan
keselamatan rakyat Bali khususnya yang ada di Bali Tengah dan Timur.
Balik kepada Institut Hindu Dharma dan terutama
kepada para informant, yang kami sebutkan di bawa ini, kami sampaikan ucapan
terima kasih yang tidak terhingga, semoga Ida Sang Hyang Widi membalas kebaikan
budi, saudara-saudara.
1. Kepada Tjokorda Mayun Putra, di Puri Agung
Klungkung yang telah memberikan kami informasi-informasi, Beliau adalah bekas
Punggawa Nusa.
2. Anak Agung Gde Oka, yang telah memberikan kami bahan riwayat Dukuh Jumpungan dan bahkan mengantar kami ke Nusa. Beliau adalah Sentana Dalem [adopted child of the opposite sex] yang ada di Gelgel, dan pernah bertugas di Nusa sebagai polisi, puluhan tahun.
3. Mangku Rumodja, mangku Pura Penataran Peed, yang telah memberiakn kami bahan-bahan dan nama-nama dari masing-masing palinggih (throne, seat for the gods).
4. I Gusti Gede Lanang, dari Puri Blahbatu, yang telah memberikan kami riwayat dari Gusti Ngurah jelantik, yang diutus Dalem menyerang Nusa, yang telah dengan rela meminjami babad, foto-foto kuno dari Pura Dalem Penataran Peed.
5. Sdr. Rudeg, seorang Balian dan Dalang di Moding, Kerobokan telah memberikan kami riwayat dan Pematuh dari Ratu Gde Nusa (I Macaling).
6. Pedanda Gde Sidemen di Geria Sanur yang telah memberikan kami riwayat Ratu Gde Nusa dalam hubungannya dengan Pura Besakih dan pengaruhnya terhadap keselamatan rakyat di Pulau Bali.
7. Dan banyak lagi informat-informat yang kami tidak sebutkan namanya yang telah membantu pelaksanaan tugas kami, kami menyampaikan terima kasih yang mendalam, semoga Ida Sang Hyang Widhi Asung Waranugraha [give his blessings].
PUTRA / KALER.2. Anak Agung Gde Oka, yang telah memberikan kami bahan riwayat Dukuh Jumpungan dan bahkan mengantar kami ke Nusa. Beliau adalah Sentana Dalem [adopted child of the opposite sex] yang ada di Gelgel, dan pernah bertugas di Nusa sebagai polisi, puluhan tahun.
3. Mangku Rumodja, mangku Pura Penataran Peed, yang telah memberiakn kami bahan-bahan dan nama-nama dari masing-masing palinggih (throne, seat for the gods).
4. I Gusti Gede Lanang, dari Puri Blahbatu, yang telah memberikan kami riwayat dari Gusti Ngurah jelantik, yang diutus Dalem menyerang Nusa, yang telah dengan rela meminjami babad, foto-foto kuno dari Pura Dalem Penataran Peed.
5. Sdr. Rudeg, seorang Balian dan Dalang di Moding, Kerobokan telah memberikan kami riwayat dan Pematuh dari Ratu Gde Nusa (I Macaling).
6. Pedanda Gde Sidemen di Geria Sanur yang telah memberikan kami riwayat Ratu Gde Nusa dalam hubungannya dengan Pura Besakih dan pengaruhnya terhadap keselamatan rakyat di Pulau Bali.
7. Dan banyak lagi informat-informat yang kami tidak sebutkan namanya yang telah membantu pelaksanaan tugas kami, kami menyampaikan terima kasih yang mendalam, semoga Ida Sang Hyang Widhi Asung Waranugraha [give his blessings].
I. Pendahuluan
Bagi Umat Hindu di Pulau Bali yang pernah pergi
ke Nusa, kebanyakan beranggapan bahwa Pura Dalem Penataran Peed adalah linggih
Ratu Gde Nusa, atau Ratu Gede Mecaling, terutama para Balian-balian (dukun)
yang kebanyakan "nyungsung" (memelihara dalam upacara, baik dalam hal
perhatian agama maupun uang untuk pemugaran dll.) Beliau. Padahal kenyataan
palinggih Ratu Gede Nusa adalah hanya merupakan bagian kecil dari komplek Pura
Dalem Penataran Peed. Namun walaupun demikian nama Ratu Gede Mecaling cukup
menggetarkan hati orang yang mendengarnya, dan ini merupakan suatu tanda
bagaimana kaitan antara Pura tersebut dengan peri kehidupan rakyat Bali.
Oleh karena itu sepatutnya Pura tersebut mendapat
perhatian yang lebih besar yang dapat disejajarkan dengan Pura Sad Kahyangan di
Pulau Bali. Pura tersebut ada dalam keadaan rusak, pelaba [tempat penghasilan
pertanian untuk pura] hanya lebih kurang: 20 are tanah hutan yang tidak
mengghasilkan apa-apa. Di samping itu, bimbingan terhadap pembangunan pura
perlu diberkan mengingat adanya bangungan-bangungan baru yang dibuat dan
dipelester dengan semen dan kapur hingga menimbulkan suasana
"kenyat"/kaku, dan tidak selaras dengan lingkungan sekitarnya.
Suasana lebih hambar lagi setelah kayu-kayu besar di sekitar pura banyak yang
ditebangi.
Kalau ditinjau dari suasana palinggih yang ada di
dalam Pura maka Pura Dalem Penataran Peed adalah merupakan pura yang uniek,
dimana pelinggih Pura Dalem, ada Padmasana dan Balai Agungnya. Rupa-rupanya
pura ini adalah merupakan Pura kesatuan spirituil antara kekuatan-kekuatan
purusa dan pradana. Di lain pihak Pura ini rupanya tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh-pengaruh politik pemerintahan. Bahan-bahan bangunan pura yang terbuat
dari batu kapur dan cara pemasangannya yang sangat sederhana, memberikan kesan
bahwa pemerintahan terhadap pura tersebut kurang memadai.
Dalam penelitian yang kami laksanakan bahan-bahan
yang dapat dipergunakan sebagai sumber tidak banyak didapati di pulau Nusa, hal
ini disebabkan oleh karena tidak adanya bahan-bahan tertulis berupa prasasti,
raja purana dan lain-lainnya, konon menurut kata pemangku yang dahulu rumahnya di
sebelah timur Pura, kena bencana kebakaran, sehingga semua barang-barang
termasuk pratima [perwujudan dewa dalam bentuk arca perunggu, batu, kayu dll.]
dari Pura tersebut ikut terbakar. Informasi yang diberikan oleh pemangku hanya
bersifat ingat-ingatan saja. Bahan-bahan yang sebagin besar kami gunakan dalam
penyusunan naskah ini kebanyakan kami dapat di puri-puri dan balian-balian,
dari bahan-bahan itu pula pada dasarnay mempunyai kesamaan, tetapi oleh karena
fersi penulisnya berbeda, maka pariasi-pariasi dari ceritra-ceritranya banyak
yang berbeda.
II. ISI1. Nama pura
Mangenai nama pura yang kami tulis ini ada
sedikit kesimpangsiuran, sumber-sumber yang kami dapat dari informant (di) Puri
Klungkung, Gelgel, dan mangku Rumedja, mengatakan bahwa pura tersebut bernama
Pura Penataran Peed. Sedang informant dari para balian-balian di daerah Badung,
Gianyar dan dari Puri Blahbatu, mengatakan pura ini bernama Pura Dalem Peed.
Kami beranggapan bahwa kedua nama itu memang benar, karena yang dimaksud
sebenarnya adalah Pura Dalem Penataran Peed. Hanya yang satu pihak menonjolkan
Penatarannya, dan yang lain pihak menonjolkan Dalemnya. Adapun sebab-sebab
perbedaan ini akan dijelaskan sekaligus, dalam membicarakan mengenai sejarah
Pura tersebut karena rupa-rupanya ini ada kaitannya dengan hubungan politik
pemerintahan pada saat itu.
2. Letak Pura dan keadaannya
Pura ini terletak di tepi pantai sekitar 50 meter
dari laut, di desa Peed, perbekelan Peed, kecamatan Sampalan, dan lebih kurang
4 Km pula di sebelah Timur Toya Pakeh. Pura ini terletak di suatu areal seluas
50x50 meter di daratan pantai yang dikelilingi oleh pohon kelapa dan pohon-phon
rindang lainnya dan di mukanya bukit kapur yang kering-kerontang.
Pura ini pintu keluarnya menghadap ke selatan dan
di belakang atau di sebelah utaranya adalah lautan Selat Nusa yang mempuyai
aliran air yang deras. Melihat alam sekitarnya Pura ini akan bisa kelihatan
angker, tetapi sayang sekali bangunan-bangunan yang terdapat di dalamnya banyak
mengalami perubahan-perubahan yang merusak rasa kesucian dan keangkeran antara
lain: Bangunan gedong pasimpan pratima yang dibuat menjulang tinggi sebagai
menara dipelester dengan semen dan kapur menimbulkan kesan seolah-olah itulah
palinggih pokok. Di samping itu dibuatnya bangunan model kekantoran di dalam
pura untuk tempat Gong, atau penyimpanan alat-alat lainnya ditambah dengan
Asagan [tempat pemujaan semetara, dubuat dari kayu atau bambu] yang biasannya
dibuat dari bambu darurat, ini dipermanentkan dan dipelester dengan semen,
menimbulkan suasana kaku dan tegang yang tidak sesuai dengan lingkungannya.
Lebih-lebih lagi setelah banyak dari kayu-kayu besar di sekitarnya ditebangi.
Padmasana di sebelah utara (lambang Besakih) tidak memakai Bedawang Nala, hal
ini mungkin karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan bagi rakyat
Nusa. Palinggih Dalem di sebelah Timur, merupakan bangunan kecil, tidak berupa
Gedong yang seperti kita lihat di palau Bali kelihatan sekali sebagai bangunan
yang kurang penting.
Pelinggih satu-satunya yang kelihatan angkernya
adalah palinggih Ratu Gede Macaling, yang ada di sebelah Barat di bagian luar
dari Pura Penataran dengan berbataskan tembok, palinggih ini berada di bawah
pohon yang kayu rindang dan di sekitarnya dipenuhi dengan semak atau hutan
kecil, Di sebelah Timur dari Pura Induk ini terdapat taman berbentuk Kolam di
mana di tengah-tengahnya terdapat sebuah palingih. Di Jaba Tengah terdapat Bale
Agung. Linggih-linggih Bhatara-Bhatara pada waktu ngusabha dan di Jaba (Bagisan
luar sekali) terdapat wantilan yang sudah berbentuk bangunan seperti Bale
Banjar model Badung yang bisa digunakan untuk pertunjukkan-pertunjukkan
kesenian. Selanjutnya mengenai letak Palinggih-pelinggih secara satu persatu
dengan penjelasannya dapat dilihat pada lampiran denah gambar.
3. Gambaran umum mengenai riwayat penguasa-penguasa di Nusa
Menurut lontar "Ratu Nusa" diceritakan
bahwa Bhatari Uma yang sedang marah kepada Putra Beliau Sang Hyang Kumara,
wajah Beliau sangat menakutkan dan Beliau bermaksud untk membunuh Sang Hyang
Kumara. Pada waktu itu Bhatara Guru melihat kejadian ini maka marahlah Beliau
kepada Bhatari Uma, dan mengutuk Bhatari Uma agar menjelma ke dunia. Turunlah
Bathari Uma di Bukit Mundi, dan kemudian membuat istana diiringi oleh para
Bhuta Kala yang selalu berpesta-pora dengan mayat manusia. Sebab itulah tempat
ini menjadi angker. Setelah berada di Bukit Mundi, Bhatari Uma yang bernama
Dewi Rohoni mempunyai seorang putra yang bernama Dalem Saha[ng = Sawang].
Pepatih Dalem Sahang adalah I Renggan yaitu Kompyang [great-grandchild] dari
Dukuh Jumpungan, yang berasal dari Jambu Dwipa.
Dukuh Jumpungan adalah putra Bhatara Guru dengan
Ni Mrenggi seorang pelayan, dari Dewi Uma. Kama Bhatara ini berwujud limun
(awan kabut). Sebab itu dinamai Hyang Kalimunan. Kemudian oleh Sang Hyang Tri
Murti kabut kama itu diurip maka menjadilah manusia dan bernama Hyang
Kalimunan, setelah diajar dengan bermacam-macam kepandaian maka kemudian oleh
Hyang Tri Murti diberi nama Dukuh Jumpungan dan bertugas sebagai dukun. Beliau
sangat sakti sekali dan "pradnyan" [kepintaran, kepandaian] Anak
Dukuh Jumpungan dengan Ni Mrih berputra seorang pisaca [demon, ghost] yang
bernama I Mrajan.
I Mrajan kawin dengan Ni Lundah, berputra I
Mundur berupa ditya (giant) I Kundur kawin dengan Ni Lumi, berputra I Renggan,
berupa Danawa. I Renggan kawin dengan NI Mrahim berputra I Gotra yang dikenal
dengan nama I Mecaling (Ratu Gede Nusa). Rupanya seperti Hyang Kala.
Adik-adiknya bernama Ni Tole, Ni Pari, I Agung, I Reres, I Angga, I Ruma.
Diceritakanlah setelah Dukuh Jumpungan berada di Nusa, beliau membuat loloan
[muara dari sungai ke laut dengan air payau] di Penida.
I Renggan, kompyang dari Dukuh Jumpungan,
mendapat panugran dari bhagawan Wisma Karma sehingga pandai membaut perahu dan
bangun-bangunan. Dari Bhatara Gana dia mendapat panugran bahwa segala
keinginannya bisa tercapai. Dari Hyang Baruna I Renggan mendapat panugran tidak
bisa mati-mati. Setelah memiliki kesaktian yang sedemikian maka I Renggan ada
keinginan akan mencoba kesaktiannya dengan Bhatara di Gunung Agung, dengan
jalan melanggar dan menerjang Pulau Bali dengan perahunya.
Mengenai kejadian ini ada beberapa versi perlu
kami kemukakan, yaitu:
1) Menurut Lontar Dukuh Jumpungan disebutkan
beliau Bhatara Di Toh Langkir (Gunung Agung) minta bantuan kepada Bhatara Indra
untk mengalahkan I Rengan dan Bhatara Indra mendapat restu dari Bhatara Baruna,
dan Bhatara Baruna berjanji akan memusnahkan kesaktian I Renggan tetapi beliau
minta pada Bhatara Indra agar jangan membunuh I Renggan, karena Sang Hyang Baruna
telah menganugrahkan dia tidak bisa mati. Akhirnya Bhatara Indra dapat
mengalahkan I Renggan dan perahunya terbalik.
2) menurut versi Ratu Nusa disebutkan yang
mengalahkan I Renggan adalah Bhatara di Gunung Agung Sendiri dimana Beliau
menginjak perahunya I Renggan sehingga terbalik, perahunya berubah menjadi
pulau Ceningan dan layarnya menjadi Pulau Lembongan, semua anak buahnya
kemudian berenang ke pantai dan mendarat di Nusa. Kekalahan I Renggan ini
menyebabkan marahnya Dalem Sawang sehingga semua anak buahan I Rengan ini
disapa (pastu) menjadi orang halus (wong samar) yang selalu mengganggu Pulau
Bali. Dalem Sawang selalu berpesta daging manusia bersama pengikut-pengikutnya
sehingga menyebabkan Bhatara di Gunung Agung bermaksud membunuhnya, sebab itu lalu
beliau mengambil padang kasna yang warnanya putih (banyak terdapat di Gunung
Agung) dan kemudian diberi puja mantra sehingga padang kasna ini berubah
menjadi anak kecil yang kemudian diberi nama Dalem Dukut.
Setelah Dalem Dukut dewasa, beliau lalu diadu
berperang melawan Dalem Sawang, Dalem Dukut menggunakan Kris Ratna Kencana yang
dia jatuhi [memberi sesuatu sebagai jimat dengan kekuatan khusus] dengan paruh
manuk Dewata sehingga Dalem Sawang dapat dibunuh. Setelah Dewi Rohini
mengetahui bahwa putra Beliau dikalahkan oleh Dalem Dukut, maka marahlah
Beliau. Kemarahan beliau ditumpahkan dimana danau yang ada di puncak gunung
Mundi itu dilimpahkan ke laut sehingga kering sampai sekarang, dan banyak
korban yang ditimbulkan karena banjir itu. Selanjutnya dendam Dewi Rohini tidak
habis-habis, sebab itu anak buah Beliau yang berupa Wong Samar selalu
mengganggu orang di Bali dan di Nusa. Diceritakanlah setelah Dalem Sawang
meninggal, maka Dalem Dukutlah yang menjadi Raja di Nusa. I Gotra (putra dari I
Renggan) yang mendapat panugran di Biyas Menting, dan di Bukit Biyaha sifatnya
sebagai Ditya selalu makan khusus manusia dikenal dengan nama Ratu Gede Nusa (I
Mecaling) mengepalai Wong Samar, dapat ditundukkan dan oleh Dalem Dukut
dijadikan patihnya tetapi tidak diberikan lagi memakan manusia sewenang-wenang,
dengan tidak mengenal musim, beliau diberikan mengambil upeti pada sasih
kasanga [bulan Desember], dan hari-hari tertentu saja.
3) Dari versi Ida Pedanda Made Sidemen di Sanur,
mengatakan bahwa pada waktu Ida Bhatara di Gunung Agung, Bhatara di Batu Karu
dan Bhatara di Rambut Siwi datang ke Bali, dari Jambu Dwipa, Beliau membawa
pengiring orang halus (wong samar) sebanyak 1500 orang. Setelah sampai di Bali,
maka iringan itu dibagi masing-masing mendapat 500 orang. Atas hasil tapanya
Ratu Gede Nusa (I Mecaling) maka Bhatara di Gunung Agung Asung Wara Nugraha dan
mengangkat Ratu Gede Nusa menjadi kepala dari lima orang taksu, dengan rakyat
samar yang jumlahnya 500 orang. Ratu Gede Nusa diberikan wewenang untuk mengambil
upeti (korban manusia) kepada rakyat Bali yang tidak taat pada pengaci, sama
degan ajaranan-ajaran agama. Selanjutnya ini diceritakanlah keadaan di Bali
pada jaman pemerintahan Dalem Baturenggong, karena Jawa Timur (Pasuruhan),
Lombok, Sumbawa dan sebagainya, sudah dapat dikuasai oleh Beliau, maka ada
keinginan beliau untuk menguasai pulau Nusa. Dikirimlah I Gusti Ngurah
Paminggir menyerang Nusa, tetapi oleh karena caranya yang kasar tidak ada
pemberitahuan terlebih dahulu sudah menyerang, demikian pula membakari
rumah-rumah penduduk, maka Dalem Dukut sangat marah dipanggillah para Bala
Samar, manghadapinya sehingga Ngurah Paminggir, dengan laskarnya semua gugur.
Maka Dalem Baturenggong memanggil para patih dan punggawa Baliau, untuk
menentukan siapa yang akan diutus memerangi Nusa. Akhirnya persidangan menunjuk
I Gusti Jelantik Bogol, putra dari I Gusti Jelantik yang gugur dalam perang di
Pasuruhan. Tetapi I Gusti Jelantik Bogol tidak ada di Gelgel, belaiu
mengasingkan diri di Buleleng, dan kemudian dipanggil beliau untuk menghadap
Dalem untuk diberi tugas menyerang Nusa. I Gusti Jelantik Bogol diberi senjata
bernama "Ganja Malela" oleh Dalem, dan dilarang membawa senjata bekas
warisan ayahnya Gusti Jelantik (Gusti Made Tenganan) yang gugur di Pasuruhan,
karena bekas terkalahkan.
Perlu kami tambahkan bahwa Gusti Made Tenganan
juga bergelar Gusti Jelantik. Kedatangan I Gusti Jelantik Bogol di Nusa
disambut dengan baik oleh Dalem Dukut, karena lain halnya dengan Kriyan
Paminggir yang pernah terdahulu menyerang Nusa. Dimana I Gusti Jelantik Bogol,
dengan sopan menghadap Dalem Dukut, dan menyatakan dirinya sebagai utusan Dalem
Waturenggong untuk meminta pulau Nusa. Tetapi seorang Kesatriya, Dalem Dukut
bersedia menyerahkannya itu setelah bertanding kesaktian.
Setelah dijamu, Gusti Jelantik Bogol dengan baik,
maka dimulailah peperangan (duel), dimana dalam duel yang berlangsung lama ini
akhirnya keris Ganja Malela (anugrah Dalem) patah. Waktu itu ada keinginan
Gusti Jelantik untuk bertempur tanpa senjata dan gugur di medan perang,
sebagaimana ayahnya waktu menyerang Pasuruhan. Melihat keadaan yang gawat itu,
maka Gusti Ayu Kaler cepat-cepat menyerahkan keris yang belum jadi (bakalan
keris) yang bernama Pencok Sahang. Setelah melihat senjata itu, maka Dalem Dukut
menghentikan sejenak pertempuran.
Dalem Dukut telah menyadari bahwa keris (bakalan)
yang bernama I Pencok Sahang itu adalah taring Baga Basuki, oleh karena itu
beliau menyadari bahwa sudah masanya beliau akan kembali ke Sunia Loka, dan
memberi pesan kepada Gusti Jelantik sebagai berikut: kepada I Gusti Jelantik
dipesankan bahwa segala harta kekayaan Dalem Dukut serta rakyat dan rakyat
samarnya yang dipimpin oleh Ratu Gede Nusa dserahkan kepada Dalem Waturenggong.
Karena rakyat samar ini akan membantu Dalem Bali dalam peperangan, dalam
upacara-upacara dalam segala pekerjaan, tetapi hendaknya Dalem selalu ingat
dalam setiap karya dibuat oleh beliau, seperti Eka Dasa Rudra, karya di
Besakih, di Gelgel, dan sebagainya, akan membuat penggungan berisi sajen-sajen khusus
diberikan kepada Ratu Gede Nusa beserta Wong Samarnya. Demikian pula setiap
tahun agar membuat caru, kalau tidak demikian akibatnya akan terjadi bencana
(gerubug). (Jenis banten, lihat lampiran lontar Dukuh Jumpungan). Setelah
berpesan demikian, maka dimulailah peperangan itu, dan gugurlah Dalem Dukut
oleh senjata I Gusti Jelantik yang bernama I Pencok Sahang. Perlu kami
tambahkan sejarah keris I Pencok Sahang.
Diceritakan I Gusti Ayu Kaler yang sedang mandi
di Tukad Unda lalu ada sebuah batang kayu hanyut menyentuh beliau, kemudian
kayu itu sampai tiga kali dibuang, dan tiga kali kembali lagi, maka kayu itu
lalu dibawa pulang oleh I Gusti Ayu Kaler. Setelah kayu itu depecah, ternyata
bahwa di dalamnya ada sebuah keris seperti taring, dan kemudian diberikan kayu
dapdap (karena masih bakalan), dan inilah dibawa oleh I Gusti Ayu Kaler ikut ke
Nusa. Setelah I Gusti Jelantik menang dalam peperangan maka Beliau masih agak
lama tinggal di Nusa, karena menyelesaikan upacara pengabenan dari Dalem Dukut,
di mana dilakukan upacara Pitra Yadnya sebagaimana tata cara seorang raja.
Segala permata mutu manikam [permata berwasiat, magis], kawotan (alat-alat
untuk sembahyang) yang memakai gambar buaya, pinggan laki-istri (sayang pinggan
ini kedua-duanya telah pecah), dan menurut pesan dari Dalem Dukut siapapun yang
memecahkan pinggan itu dia harus ikut "Masatya" [bunuh diri secara
ritual dengan tujuan tertentu, mendapatkan sesuatu dll.] bersama pinggan itu.
Menurut Lontar Dukuh Jumpungan ada juga dua buah guci yang ikut dibawa, sayang
sebuah di antaranya pecah, dan konon katanya guci itu bisa menangis. Sebuah
lagi masih ada di Blahbatu dan dipakai untuk mandi pada penobatan seorang raja
(Mabhiseka ratu). Tetapi menurut I Gusti Gede Lanang, guci itu tidak berasal
dari Nusa.
4. Tokoh Ratu Gede Nusa bagi rakyat Bali
Kalau di Pulau Bali bagian selatan orang
mendengar pura Dalem Peed maka asosiasi di pemikiran mereka tidak akan bisa
lepas dari tokoh Ratu Gede Nusa yang menakutkan nama siluman (perwujudan)
beliau digambarkan sebagai orang yang tinggi jangkung, atau sebagai orang yang
pendek gemuk. Fungsi Beliau sebagai kepala dari orang Halus (Wong Samar)
sehingga beliau menguasai lima taksu dengan berjenis dua kekuatannya antara
lain:
1. Beliau dianggap menguasai teluk, desti tarangjana
[ngeléak, manusia menjadi binatang atau mahluk halus lainnya; witchcraft],
konon diceritakan kalau beliau berjalan, diiringi kekuatan-kekuatan tersebut di
atas, sehingga anjing akan meraung-raung dan perasaan takut dan nyeri akan
menjalar ke seluruh desa yang dilalui.
2. Sebagai "Dewan Gerubug". Oleh karena
beliau diperkenankan pada masa-masa tertentu akan mengambil upeti manusia,
terhadap orang-orang di Bali dan Nusa terutama bagi mereka yang bersalah, maka
beliau sangat ditakuti karena beliau katanya sangat suka dengan usus manusia,
maka kalau melaksanakan tugasnya, mulailah timbul penyakit muntah-menceret, dan
tidak berapa lama, lalu mati.
3. Sebagai penolak bala: Menurut Lontar Dukuh
Jumpungan, kalau Dalem menghadapi musuh, maka agar dibunyikan
"tengeran" atau kentongan milik Dalem, maka segala wong samar akan
ikut membantunya, demikian pula tombak yang akan dipakai, hendaknya diisi
"gandha" (kulit jagung) sebagai tanda.
4. Pada waktu upacara-upacara keagamaan kalau
tidak membuat banten di jaba, daging maupun nasinya akan diambil oleh wong
samar, sehingga trapas (boros). Bagi Dalem, kalau mengikuti pesan dari Dalem
Dukut, maka semua pekerjaan beliau akan dibantu sehingga walaupun sedikit orang
bekerja tetapi pekerjaan bisa cepat selesai. Di samping itu kalau ada orang
membawa uang, di mana tangannya dilipatkan ke belakang, wong samar ini akan
dibolehkan mencopet sebagian uangnya.
Kalau ada orang makan berdiri atau jongkok, maka
wong samar ini akan diperkenankan mengambil nasinya itu sekepal. Khusus untuk
turunan Thokorda Nyoman Munggu (Puri Mengwi) yang oleh karena fitnah pernah
dibuang ke Nusa. Dalam pembuangan beliau mendapat anugrah bisa menolak
"merana" dari tumbuh-tumbuhan padi dan palawija yang disebabkan oleh
hama tikus, balang sangit, dan sebagainya, dan tidak terkena dari penyakit
muntah mising (Gerubug), kalau bisa ingat dan mengaci [memuji] Ratu Gede Nusa.
"Mangke kawuwusan Gusti Agung Nyoman Munggu,
sang tinundung ring Nusa Barong, tan sah sira anemu dukha bara". [Sekarang
sudah selesai Gusti Agung Nyoman Munggu yang dibuang ke Nusa Barong, tidak
benar beliau mendapatkan sedih yang mendalam.]
Dalam Babad Mengwi disebutkan:
"Dadi wetu citta nira, amintasih nira Hyang,
lamakna sidha malwi muwah, taman king mangupura. Yan ta mama nira, sarya tan
lupteng dewa puja, andewaseraya, ring puncaking bukit Watu, aminta sidaning
apti. Pira lawas nira samangkana dadi hana karenge denira, sabdeng suksma,
awarah yan sidhaning apti, pamantukeng mangupura mwah, amanggih wirya wibhawa
mwang kasidhaning jnana, wenang anghilangaken sehananing merana, kang angrusak
slawirin tinandur, mwah sahananing mawah. Mwah wekasan ri wus kaneng
menguradja, lamknya akarya tugu, winangun ring pasimpanganing lawang,
palmahaning kadtatwan, makasthananira Ratu Gede Nusa ri hala nira prapta
anglanglang bhuwana, mwang sasentanan I Gusti Agung Nyoman Munggu katekeng
dlaha tur kawenang malupa, ring ananing sabdeng suksma ika. Nguni-nguni
kalaning wyadi, baya kewuh, kengetakna aminta sih nira Ratu Gede Nusa, lamaknya
manggehumendeling dirgha yusa, urip waras, keteken dlaha".
Dengan kekuatan dan pengaruh-pengaruh beliau yang
sedemikian maka para balian-balian terutama di Bali Selatan banyak yang
"nyungsung" demikianlah pada permulaan sasih ke-6 daerah-daerah
pantai seperti di Badung, Gianyar dan Klungkung, mengadakan pengaci-pengaci,
untuk penolak bala tersebut.
5. Pura Dalem Penataran Peed
Riwayat mengenai berdirinya pura ini, demikian
pula siapa yang mendirikannya belum ada satu sumberpun yang kami dapati, tetapi
beberapa hal yang berhubungan dengan pura tersebut antara lain mengenai
palinghih-palinggih dan tokoh-tokoh penguasa Nusa, terutama adanya pelinggih
Ratu Gede Nusa yang ada di Bagian Barat (luar dari pura tersebut) memberikan
kita sekedar petunjuk mengenai asal-usul pura tersebut.
1) Pengaci [alat upacara untuk pemujaan dewa]
Pengaci routine untuk pura ini ada keistimewaannya, karena upacara pada umumnya
di Nusa lebih sederhana dari upacara-upacara yang ada di Pulau Bali.
Jenis-jenis banten juga tidak begitu berbeda, karena telah banyaklah
tukang-tukang dari Klungkung datang ke sana memberikan contoh-contoh mengenai
soal-soal banten. Hal yang merupakan keistimewaan sedikit, ialah dimana pada
hari-hari tertentu dilakukan upacara Ngusaba, dimana Bhatara-Bhatara yang ada
di pura-pura di Nusa parum [bertemu] di Balai Agung pura ini. Dengan demikian
dapat kita menarik kesimpulan bahwa pura ini merupakan pura induk dari
pura-pura lainnya yang ada di Nusa.
2) Di pura ini pula orang-orang di Nusa
mendak-mendak pitara, [atau] Nuntun Pitra, sebagaimana halnya yang lazim kita
jumpai di Pura Dalem di Bali dan khususnya di pura Dalem Puri di Besakih
[memohon supaya dewa tersebut ikut ke rumah ke tempat suci, di Pura Merajan].
Dengan demikian dapat kita menyimpulkan bahwa pura ini adalah Pura Dalem. Di
Pura Dalem Penataran Peed ini memang kita jumpai ada sesuai Palinggih Dalem
yang terletak di sebelah Timur menghadap ke Barat. Bagi orang Nusa dan
Klungkung kebanyakan menganggap Palinggih pokok di sana adalah Padmasana yang
ada di sebelah Utara menghadap ke Selatan. Bagi kita di Bali, palinggih Padma
itu memang jarang kita jumpai ada di pura Dalem, mula-mula kami mengira bahwa
palinggih Padma itu baru-baru saja dibuat, dimana sebagaimana kita jumpai
akhir-akhir ini, hampir semua pura-pura yang belum berisi Padmasana lalu diisi
dengan Padmasana. Tetapi setelah kami menjumpai foto yang dibuat tahun 1940
yang dimiliki oleh Puri Kanginan Blahbatuh, maka rupa-rupanya Padmasana itu
sudah ada sejak dulu. Menurut Mangku Rumodja [Rumoja, Rumeja, various ways of
spelling], mangku Dalem Peed, Padmasana itu adalah Palinggih Bhatara di
Besakih. Hal ini rupanya menyebabkan mengapa pura tersebut lebih dikenal dengan
nama Pura Penataran saja karena merupakan pasimpangan dari Pura Penataan
Besakih. Di samping itu adanya hal-hal yang bersifat historis mungkin
menyebabkan mengapa palinggih untuk di pura Dalem sangat kecil dan sederhana
sekali.
3. Kalau kita meneliti dari sejarah Ratu Nusa,
mengenai adanya suatu perebutan pengaruh antara Gunung Agung dengan Bukit Mundi
dimana Gunung Agung adalah linggih Ida Bhatara Siwa sedang Bukit Mundi linggih
Ida Bhatara Durgha (Dewi Rohini), dimana keduanya ini merupakan positif dan
negatif dari kekuatan alam semesta dapat bandingkan dengan letak pura Besakih
dengan Dalem Puri, dimana kedua kekuatan itu bertentangan tetapi dengan adanya
rwabhineda [dua kekuatan yang berbeda, yaitu positif dan negatif] ini maka
tercintanya kehidupan. Di dalam sejarah Nusa panugrahan Bhatara Siwa di Gunung
Agung yang dimiliki oleh Dalem Dukut bertemu dengan panugraham Bhatara Durgha
yang dimiliki oleh Dalem Sawang, dengan pepatihnya I Renggan. Sebab itu kami
menaruh perkiraan bahwa:
a. Pura Dalem Penataran Peed ini sudah didirikan
pada jaman Dalem Dukut dimana beliau menggabungkan kedua kekuatan panugrahan
itu. Padmasana, lambang white magic-nya digambarkan dengan padmasana disatukan
dengan black magic dari pura Dalem dengan Ratu Gede Nusa (I Mecaling), sebagain
pepatihnya.
b. Kemungkinan yang lain adalah dimana palinggih
Bhatara Dalem Penataran ini sudah ada lebih dahulu, sebelum jaman Dalem Dukut
sebagai palinggih penataran dari Bukit Mundi tempat Stananya Bhatari Durgha
atau Dewi Rohini, sebagaimana dimaklumi bahwa hampir semua palinggih yang
mulanya di puncak gunung yang kemudian dibuatkan panyawangannya [tempat
pumujaan di rumah orang yang menjadi tempat di mana dewa tersebut akan dipuji,
dalam bentuk semetara atau permanen] di bawah, di tempat yang .... lalu disebut
Pura Penataran. Contohnya Penataran Agung Batukaru, Penataran Agung Besakih dan
sebagainya. Kemudian setelah datang Dalem Dukut dan dapat mengalahkan Dalem
Sawang, maka ditambahkan sebuah Palinggih lagi, yaitu Palinggih Padmasana.
Dengan demikian maka Palinggih yang kuno tetap dipakai hanya ditambahkan dengan
Padmasana dan Bale Agung saja.
III. Hal-hal lainPiodalan/pengaci
Hari
Piodalan jatuh pada tiap Budha Cemeng Klawu, enam bulan sekali , dan tingkatan
upacaranya, biasanya hanya tingkat "Palagembal" [termasuk jenis
upacara bergolongan "madya", yaitu pada tingkat biasa. Tingkat pertama
adalah "Utama", sedangkan tingkat upacara yang sederhana adalah
"Nista"] dan pada Piodalan Nadi "ditingkatkan sesuai dengan
kemampuan desa-desa pengemongnya [penyungsungnya]". Upacara-upacara
piodalan dilakukan sekali saja, tidak seperti di pura-pura besar lainnya di
Bali dimana tiap palinggih mempunyai Piondalan sendiri, misalnya di Batur,
Besakih dan sebagainya. Kalau keadaan pertanian memungkinkan, atau ada sesuatu
hal yang istimewa maka dilakukanlah upacara "Ngusabha" dimana Ida
Bhatara pura-pura yang ada di Nusa ikut serta "parum" (meeting,
council) di Balai Agung Pura Dalem Penataran Peed.
Di seluruh
Nusa hanya ada dua pura yang punya kedudukan yang sama seperti Pura Dalem
Penataran Peed, yaitu Pura Batu Medau yang terletak di bagian Timur dari Nusa,
yang mempunyai susunan dan status yang sama dengan Pura Dalem Peed. Pura-pura
yang ada hubungannya dengan Pura Dalem Peed adalah: Pura Bukit Byaha, Pura
Penida, Goa Lawah, Pura Segara, Pura Sakenan, Jungut Batu dan Bukit Mundi.
Pratima & Pralingga (the image of something, a drawing;
whatever is used to represent the dead at a festival)
Di pura ini ada 2 buah pratima yang terbuat dari
uang kepeng berwujud purusa pradana (laki-laki dan perempuan) yang dibuat oleh
Tjokorda Mayun Putra dari Klungkung dan disimpan pada Gedong Penyimpen yang ada
di leretan Palinggih sebelah Utara dan dibuat seperti menara menjulang tinggi.
Pratima ini adalah buatan baru, sebab pratima yang lama sudah terbakar pada
waktu rumah mangku yang ada di sebelah Timur Pura mengalami kebakaran, bersama
alat-alat pura lainnya.
IV. Kesimpulan
Pura Dalem
Penataran Peed adalah merupakan Pura Besar yang statusnya bisa disamakan dengan
Sad Kahyangan di Pulau Bali, karena daerah pengaruh dari pura ini meliputi
daerah Nusa dan Bali. Pura ini sifatnya unik karena palinggih dari
Bhatara-bhatara yang disungsung di sana merupakan paduan dari bermacam-macam unsur
dan tidak lazim kita jumpai pada pura-pura di Bali, misalnya: di Pura Dalem ada
palinggih Padma dan ada Balai Agung tempat Upacara Ngusaba. Pura ini mungkin
didirikan sebagai Pesimpang Bhatara di Bukit Mundi, karena Pura Dalem di sini
tidak memakai setra, sedang yang melingga di Bukit Mundi adalah Bhatari Uma
(Dewi Rohini), yaitu saktinya Bhatara Siwa. Kemudian pada jaman Dalem Dukut
Pura ini diperluas dengan penambahan Balai Agung, Padmasana Penyawangan Besakih
dan lain-lainnya sehingga sifatnya sebagai Pura Dalem menjadi kurang menonjol.
Andaikata palinggih Pura Dalem, dan upacara-upacara "Mendak Tirtha"
[memohon air suci] tidak kita jumpai di sana, maka orang tidak akan menyangka
bahwa Pura ini adalah Pura Dalem pada asal mulanya.
Sebab-sebab
purai ini terkenal sampai ke Pulau Bali adalah karena adanya Palinggih Ratu
Gede Nusa yang sangat ditakuti dan dikeramatkan, terutama sekali di daerah Bali
Timur. Mitologi mengenai Ratu Gede Nusa mengingatkan kita kepada kepercayaan
semacam itu di Pulau Jawa, yaitu kepercayaan kepada Nyai Loro Kidul. Kekuatan
magis oleh raja harus dikeramati dan hal ini dilukiskan dengan dimana Dalem
harus berkawan dengan Ratu Gede Nusa, demikian pula halnya dengan Raja Jogja,
Solo, harus kawin dengan Loro Kidul, agar keselamatan dan kesejahteraan rakyat
dapat dicapai. Kalau dihubungkan lahirnya Dukuh Jumpungan dengan lahirnya
Bhatara Kala ada persamaan-persamaannya, dimana Ratu Gede Nusa adalah turunan
dari Dukuh Jumpungan dan kalau mitologi-mitologi ini dikaitkan dengan tattwa, maka
akan cocok sekali dimana kekuatan Purusa dengan kekuatan Pradhana, walaupun
bertentangan namun harus bertemu. Karena dengan pertemuan positif dan negatif
inilah timbulnya gerak dan kehidupan. Contoh Axu [aki?], baru bisa mengeluarkan
strum kalau positif dan negatifnya dipertemukan.
Sebagai
akhir kata dari tulisan ini kami mohon saran-saran dan perbaikan-perbaikan demi
kesempurnaannya.
Sumber ....> http://www.nusapenida.nl/
No comments:
Post a Comment