Friday, July 2, 2021

Manusa Yadnya bagi Hindu

 

Hindu itu meyakini perlu adanya pengorbanan yang dilaksanakan secara iklas kepada alam dan isinya demi keharmonisan hubugan. Diistilahkan dengan kata yadnya (beryadnya), yadnya merupakan suatu pengorbanan yang tulus iklas juga tanpa pamrih (tidak mengharap imbalan), berlandaskan hati nan tulus mulia. Yadnya itu memiliki arti memuja / korban suci, jadilah yadnya itu korban suci secara tulus iklah kehadapan Hyang Widi, terkelompok jadi lima bagian ; Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, dan Manusa Yadnya.

 

Khususnya manusa yadnya memiliki bagian bagian yang lumayan banyak, secara global dapatlah dijabarkan kurang lebih sbb ;  Manusa Yadnya > korban suci yang tulus iklas demi keselamatan juga kesejahtraan manusia (baik diri sendiri dan orang lain). Ditempuh dengan beberapa cara  misalnya mengadakan upacara selamatan pada waktu waktu tertentu, mengadakan usaha untuk kemajuan serta kebahagiaan keturunan utamanya bidang pindidikan dan kesehatan / dharma santana widi. Lebih lanjut demi keselamatan juga dengan cara menolong serta menghormati sesama Umat manusia, contoh menghormati para tamu/atiti karma.  Menolong orang lain dalam kesusuhan, mengadakan aneka usaha sosial/berdana punia.

 

Adapun upacara manusa yadnya tersebut diantaranya yang jamak dilaksanakan oleh para umat sedharma ada upacara ; pagedong-gedongan, upacara bayi baru lahir, upacara kepus puser, upacara 12 hari, upacara tutug kambuhan/ 42 hari, upacara jejanganan, upacara nyambutin, upacara satu oton (otonan), upacara tumbuh gigi/ngepungin, upacara mekupak/meketus/tanggal untu, upacara potong gigi, dan upacara perkawinan/wiwaha/pewarangan.  Secara  singkat masing-masing dapat dijelaskan sbb. ;

 

1.      Upacara pagedong-gedongan  >  ini merupakan upacara kehamilan yang gunanya untuk penyucian terhadap bayi. Makanya dilaksanakan setelah kandungan berumur 6 bulan bali atau 7 bulan masehi keatas (sebelum bayi lahir). Masa masa ini wujud bayi telah sempurna walau agak lemah / kecil. Hindu pada umumnya meyakini janin yang ada dalam kandungan mendapat penjagaan dari 4 kekuatan  dinamakan babu ( babu sugian, babu lembana, babu abra, dan babu kekere).  Secara riil ke empat unsur itu ;  a. Yeh Nyom/air ketuban  cairan pelindung janin terhadap sentuhan. b. Lamad/lamas, berupa lemak pembungkus janin. c. Darah/getih (bhs.Bali), pengedar makanan dan air di tabuh janin.  d. Ari-ari  yakni tempat melekatnya placenta/tali pusat penyerap sari sari makanan untuk si janin. Lumrahnya keempatnya itu dinamakan catur sanak/nyama papat.

2.      Bayi Lahir,  dilakasanakanlah upacara perawatan terhadap ari ari si bayi  sebagai penghormatan kepada sang catur sanak/nyama papat, karena pada suatu lontar disebutkan semasih dalam kandungan si bayi berjanji tidak akan pernah meninggalkan yang namanya saudara empat itu agar tiba saatnya ditolong mendapatkan jalan keluar saat lahir (pembuka pintunya yeh nyom, yang menuntun darah dan lamad, yang mendorong sambil mengantar dari belakang yakni ari ari.  Setelah bayi lahir saudara empat itu ganti nama menjadi  Sang Angga Pati, Sang Mrajapati, Sang Banaspati, dan Sang Banaspati Raja.  Diyakini saudara empat itu akan menemani si bayi hingga ke akhir ayatnya, bahkan kala meninggalnya saudara empat itulah yang menjemput sang Atma langsung mengantarkannya ke dunia akhirat. Sebagai ucapan terima kasih kepada saudara empat, riilnya setiap ada upacara kepada si bayi saudara empat juga dibuatkan upakara.

3.      Kepus puser/pungsed >  upacaranya lumrah dinamakan mepenelahan/metelah telah/ ngidih yeh bu.  Jamaknya terjadi setelah beberapa hari bayi lahir yang namanya tali pusat di perutnya bayi akan lepas/kepus (bhs.Bali). Setelah tali puser lepas/kepus riilnya habislah bagian bagian dari sang Catur Sanak yang melekat langsung pada sibayi. Upacara mepenelahan/metelah telah fungsinya adalah sebagai pembersihan terhadap sibayi dan kedua orang tuanya (agar berkurang sebel/cuntaka ibu bapaknya), dilaksanakan pada hari hitungan ganjil sejak si bayi lahir ( 5, 7, 9, atau 11 hari)

4.      Upacara 12 hari,  riilnya oleh  para penganut Hindu khususnya di tanah Bali, upacara yang satu ini jarang dilaksanakan, besar kemungkinannya karena upacara ini hanya  merupakan suatu peringatan serta upakaranyapun tidak jauh beda dengan upakara saat bayi baru lahir. Di beberapa daerah di Bali, setelah 12 hari bayi lahir akan dilakukan apa yang disebut ngeluang/mepetuwun/nuunang tumadian. Merupakan suatu ritual menanyakan kepada dukun /nuunang tumadian/ nakenang ring beras jinah (bhs.Bali)  siapa kiranya menjelma/numitis kepada si bayi”  dan apa pula permintaannya (berupa upakara/sesajen misalnya agar dilukat/diruat pada suatu tempat). Di saat itulah biasanya salah seorang dari leluhurnya, menerangkan siapa dari leluluhurnya menjelma/numadi pada si bayi.  Secara sederhana/logika yang dapat dikatakan bahwa yang menjelma, adalah sifat sifat dari leluhurnya yang telah lalu (hindu percara adanya samsara/reinkarnasi), dan diyakini jua oleh penganut Hindu nan taat bahwasanya menjelma kembali adalah suatu kesempatan untuk memperbaiiki kesalahan kesalahan saat kehidupan dahulu.

5.      Tutug Kambuhan (Satu bulan tujuh hari/ 42 hari) > Upacara yang acap di laksanakan saat bayi berumur 42 hari adalah upacara mecolongan, gunanya pembersihan terhadap si bayi dan ibunya serta bertujuan untuk membebaskan si bayi dari pengaruh Nyama bajang  (ngemulihang nyama bajang). Nyama bajang ini diyakini berjumlah 108 diantanya bajang papah, bajang ambengan, bajang kebo, bajang sampi, bajang dodot, bajang bukal, bajang lutung, bajang yuyu, bajang tukad, bajang yeh,  dan yang lainnya. Nyama bajang merupakan putra putra dari Sang Catur Sanak/nyama papat. Kesimpulannya, setelah si bayi berumur 42 hari  dianggap sudah saatnya untuk mengembalikan Si nyama bajang ke tempat asalnya agar tidak mengganggu lagi. Tidak demikian halnya dengan Sang Catur Sanak/nyama papat, dalam hal ini semua wujud/bentuknya diyakini sudah hancur terutama ari ari  tetap disucikan bersama si bayi, dengan harapan tetap membantu/menemani/mengasuh si bayi kemanapun pergi siang dan malam.

6.      Upacara Tiga bulan/ nelu bulanin  >  Karena semua upacara yang dilaksanakan sejak si bayi lahir, lebih banyak ditujukan untuk pembersihan utamanya untuk jasmaninya juga nyama papat, maka saat bayi berumur 105 hari (tiga bulan/  35 hari kali 3) maka dilaksanakanlah upacara nyambutin. Nyambutin merupakan simbolis untuk menjemput/mapag (bhs.Bali) jiwa atma si bayi. Para Sulinggih menjelaskan saat bayi berumur 105 hari patut dilakukan upacara ngelepas aon dengan pengertian melepas abu/ngeseng mala, dilakukan pula upacara tuwun pane, suatu permulaan untuk belajar duduk mulailah si bayi boleh bersentuhan dengan tanah/pertiwi, sudah mulai bisa mengenakan gelang, kalung berbahan emas, selaka/stenles still. Dan lebih lanjut si bayi mulai dapat diajak keluar rumah utamanya ke tempat tempat suci (merajan dan pura).

7.      Upacara satu oton ( bayi berumur 210 hari / enam bulan bali) > Logikanya perhitungan satu oton itu memakai  Wewaran yakni Panca Wara [ Umanis, Paing, Pon, Wage, Kliawon ], Sapta Wara [ Redita, Soma,Anggara, Buda, Wraspatri, Sukra, Saniscara],   serta Wuku yang jumlahnya 30, diantaranya Sinta, Landep, Ukir, Kulantir dst.   Suatu misal, Si bayi lahir pada panca wara Kliwon, Sapta Wara Sanicara, dan wuku Landep maka otonannya akan jatuh pada setiap Saniscara Kliwon Landep, akan berulang setiap 210 hari sekali. Warga Hindu Bali meyakini, kelahiran dan kehidupan seseorang baik mengenai perangai, tingkah laku, mujur,malang, dan nasib juga kesehatan akan dipengaruhi oleh lintang/dauh, ingkel, wuku, wewaran  utamanya panca wara dan sapta wara, berbekalkan pala karma (hasil perbuatan kehidupan terdahulu). Otonan itu sejatinya dapat dikatakan sama dengan ulang tahun, asal kata otonan adalah wetuan, yang artinya kelahiran.

8.      Upacara Ngepugin (tumbuh gigi)  .> tidak banyak dilakukan. Kalau gigi si anak sudah tumbuh (gigi yang pertama), maka akan dibuatkan sauatu upacara ngempugin dilaksanakan prosesinya saat matahari mulai terbit, dipujalah Betara Surya, Brahma dan Dewi Sri dengan permohonan agar gigi si anak tumbuh dengan baik, rata, juga putih bersih dan sehat.

9.      Upacara Munggah Deha-teruna (Menek Bajang)  > Umum tandanya sebagai anak laki-laki kalau sudah beranjak besar/dewasa yakni suaranya mulai membesar/basag (bhs.Bali), sedangkan bagi anak perempuan ialah datang bulan/haid/menstruasi. Kejadian itulah yang dianggap kawin bersama Sanghyang Semara Ratih, sehingga mesti diselenggarakan suatu upacara. Kawinnya di sini berarti simbolis, bahwa yang bersangkutan telah tiba waktunya untuk diberi kesempatan guna belajar berdiri sendiri menentukan jalan hidup.

upacara metatah memakai serana kelapa gading muda (kelungah/bungkak nyuh gading)

 

 

10.  Upacara Mepandes/metatah/potong gigi >  Upacara ini baru boleh dilakukan pada anak laki laki mulai umur 16 tahun keatas, dan para perempuan yang telah datang bulan, Saat ini akan dipotong/diasah berserana kikir 4 buah gigi atas dan dan 2 buah taring atas hingga jumlahnya enam. Simbolisnya untuk mengurangi apa yang disebut sad ripu ( enam musuh utama pada diri sendiri ). Karena seseorang itu digerakkan oleh tiga kekuatan/tri guna  (satwam,rajah,tamah). Dari ketiganya itu, dua (rajah dan tamah ) yang menyebabkan Sad Ripu [ kama, kroda,loba,moha,mada, dan matsarya ] 

 

urutan terakhir rangkaian upacara manusa yadnya adalah pernikahan/wiwaha

11.  Upacara perkawinan/Wiwaha/pewarangan  >  Upacara yang satu ini merupakan suatu persaksian kehadapan Hyang Widi, leluhur, juga khalayak (masyarakat) bahwa kedua orang yang bersangkutan mengikatkan diri sebagai suatu suami istri, dan segala perbuatannya menjadi tanggung jawab mereka bersama. Secara rohani, upacara wiwaha itu merupakan pembersihan terhadap diri kedua mempelai utamanya  sukla-swanita yaitu kama-jaya. Adalah bibit dari orang laki laki serta kama-ratih bibit dari seorang perempuan. Dengan tujuan kedua bibit/benih bebas dari aneka pengaruh buruk, sehingga kelak akan terjelma suatu manik/keturunan yang suci mulia. Pada beberapa kitab suci Hindu dijelaskan bahwa, jika pembuahan/ pertemuan kama-jaya dan kama-ratih terjadi sebelum diadakan upacara wiwaha/pekala kalaan dianggap kurang baik, disebut kama keparangan maka terlahirlah anak yang disebut dia diu/bebinjat.  Astungkara bermanfaat.

 

 

Sumber : buku Widya Santi Agama Hindu.

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini