Oh
istriku, aku telah memegang tanganmu demi kebahagiaan dan kuberjanji tidak akan melakukan sesuatu perbuatan yang
tidak menyenangkanmu. Bersamaku engkau akan hidup selamanya, karena Tuhan Yang
Maha Kaya memberikan pahala sesuai dengan
karma kita, serta Dewa Sawita
sebagai pelindung seluruh dunia adalah saksi dalam pernikahan kita. Untuk itu kau
kusunting demi menjalankan tugas grehasta, dan para pemuka menjadi saksi dalam
pernikahan kita.
Para
umat Hindu di dunia ini menamai masa berumah tangga itu dengan sebutan Grehasta
Asrama, masa untuk menunaikan tugasNya demi kelangsungan suatu generasi
(keturunan), maka pernikahanlah yang ditempuh. Pernikahan itu bukanlah suatu
kontrak antara suami istri namun lebih berupa sebuah tugas mulia demi meneruskan
generasi dan mencapai kebahagiaan sesuai ajaran agama paling tidak menuju kearah
kebaikan walau tidak moksa, dan tanpa kehadiran seorang istri semua
yadnya/korban suci akan tidak sempurna. Karena itulah sebuah acara pernikahan oleh
penganut Hindu (baca Hindu Bali) dicarikan hari baik untuk melangsungkannya yang keloktah terkenal
dengan patokan wariga / warah ring raga yakni petunjuk bagi kita. Wariga itu pada intinya berupa perhitungan baku menuruti
rambu-rambu tertentu untuk menentukan baik buruknya suatu hari, untuk
melaksanakan sesuatu pekerjaan yang penting sesuai keyakinan (kemantapan
pikiran). Misal riilnya, jika hendak mencari hari baik untuk sebuah pekerjaan
penting contohnya melakukan manusa yadnya, pitra yadnya, atau Dewa Yadnya
setidaknya berpedoman yang namanya baik buruknya hari, paling awal yang namanya
nama-nama hari/wewaran beserta neptu/uripnya kita wajib tahu.
Khusus
saat baik melangsungkan pernikahan, kalau di nusa kecil Bali yang terkenal
berbudaya tinggi sampai-sampai termuat pada nyanyian masyarakat Bali
diantaranya memakai pupuh sinom. “Tis pageh mekurenan, Astiti bakti ring laki, Pada
ya meidep darma, Satia mangucap ring laki, Ring sasih kelima mangkin, Melah tan
kirangan sangu, Sami adung kapitresnan, Nyama braya pada asih, Lunas lanus,
Pegawene magenekan “. Demi langgengnya
sebuah pernikahan bagi umat Hindu khususnya di Bali, lasim menghindari
saat-saat yang dinamakan wuku rangda tiga, yakni saat wuku : Wariga,
Warigadian, Pujut, Pahang/Paang, Menahil/Menail, dan Perangbakat. Jika memakai
wuku-wuku itu melangsungkan pernikahan (wiwaha) diyakini berakibat kurang baik,
misalnya besar kemungkinan menjadi janda/duda. Disisi lainnya, suatu kesempatan
yang disebut panglong ( hari-hari setelah bulan penuh/purnama) lumrahnya juga
dihindari untuk acara pernikahan yang latah diyakini yakni berakibat buruk (
selamanya hidup sengsara, kesakitan, kemeranan dll.) Pada intinya suatu hari
itu dianggap baik jika yang namanya sasih memungkinkan (lampu hijau), riil
untuk nikah/wiwaha : Kapat (banyak harta
dan sahabat), Kelima (banyak rejeki), Kepitu ( selamat), dan Kedasa (hidup rukun berbahagia).
No comments:
Post a Comment