Saturday, October 12, 2013

Ranting itu pecah, jadi debu di Pura Jati



Jika kita berkali-kalipun mengitari tanah Bali, bahkan hingga jemupun kita mengitari tanah Bali yang namanya pura yang ada di tanah Bali tidak akan habis untuk diceritrakan, baik dari segi keunikan, kamagisan, ataupun kekhasannya. Tidaklah salah mereka yang menjuluki pulau Bali adalah pulau seribu pura, walau tiada terpungkiri belakangan ini Bali juga mendapat julukan yang mentereng dan terkesan sinis “ pulau seribu hotel”, itulah julukan barunya.
 
foto : koran Bali Post, 29-9-2013
Ada sebuah pura di daerah Bali Barat (Bali Kauh), tepatnya di sebelah selatan kota Negara dengan luas sekitar empat puluh tujuh are, dan pura itu termasuk salah satu pura Dangkhayangan di wilayah Jembrana. Pura Jati, demikianlah namanya memiliki suatu keistimewaan pada pohon jati yang tumbuh disana, lagi pula Pura Jati ini tidaklah terlepas dengan perjalanan Danghyang Nirartha di tanah Bali ( Pura Jati disinggahi beliau setelah tiba di Perancak dan juga singgah ke Desa Merthasari/Pura Amerthasari).  Seperti pura-pura lainnya di areal pura (bagian utama) juga terdapat bale banten, bangunan bale gong , piasan, juga gedong. Empat pohon jati juga ada di areal pura.  Pohon jati ini tidaklah seperti halnya jati-jati yang tumbuh di tempat lain karena tidak bisa dicari bibit jatinya, ranting-ranting pohonnya yang telah berumur ratusan tahun tidak pernah jatuh menimpa Padmasana yang berada di bawahnya. Ranting itu pecah sendiri menjadi debu, dan tidak menimpa Padmasana. Empat pohon jati dan saling berdekatan tumbuh di sekitar mata air ( Danghyang Nirartha sempat beristirahat di tempat ini, dan melakukan tapa yoga semadhi  sebelum bersemadhi beliau sempat menancapkan tongkatnya di sebuah gundukan, saat dicabut tumbuh pohon jati , salah satu batang pohon jati berlubang, ada sumber air yang tidak pernah surut). Pernah dulu salah satu pohon bengkok nyaris menimpa penyengker/ tembok pagar pura. Kala itu banyaklah diantara para pengempon khawatir kalau pohon itu akan menyundul penyengker, namun kenyataannya selang beberapa bulan pohon itu bisa berdiri tegak dengan sendirinya. Beberapa tahun kemudian jarak antara Padmasana dengan pohon jati yang dulunya cuma beberapa senti meter saja, kini menjauh hingga mencapai dua meter.

Di Madya mandala ada bale pesandekan, kori agung, apit lawang, bale kulkul, dapur juga ada.  Sedangkan di Nista Mandala terdapat wantilan juga tempat parkir yang lumayan luas. Ada empat desa pakraman yang mengempon pura Jati ini : Desa Pakraman Tegal Badeng Kauh, Tegal Badeng Kangin, Lelateng, dan Puseh Agung  (Banjar Tengah). Piodalan di Pura Jati jatuh pada Soma/Senin Pon, wuku Sinta (210 hari sekali).-

Sumber  : bali post 29/9/2013.

No comments:

Post a Comment

Baca juga yang ini