NEW DELHI,
KOMPAS.com - Ratusan
janda ikut dalam sebuah festival Hindu untuk pertama kalinya dalam beberapa
dekade di sebuah kota yang menjadi tempat penampungan banyak perempuan setelah
kematian suami mereka. Peristiwa ini dianggap sebagai simbol penting dari
berakhirnya penindasan terhadap para janda yang telah berlangsung berabad-abad.
Selama berpuluh-puluh tahun, ribuan janda yang ditinggalkan oleh keluarga mereka, pindah ke kota Vrindavan, sekitar 150 kilometer di sebelah timur New Delhi.
Sesuai tradisi yang masih diikuti oleh sebagian orang, para janda Hindu dianggap pembawa sial. Akibatnya, di banyak rumah tangga, mereka diperlakukan seperti orang buangan dan dikucilkan oleh keluarga mereka dan masyarakat, dan tidak diizinkan untuk ikut dalam perayaan apapun. Banyak yang diusir dari rumah mereka.
Ribuan perempuan buangan ini meninggalkan kota dan desa mereka untuk tinggal di tempat-tempat penampungan di Vrindavan, yang kemudian dikenal sebagai kota para janda. Hidup tidaklah mudah bagi para janda miskin ini. Berpakaian putih - warna berkabung di India, mereka sering terlihat mengemis.
Tetapi tahun ini, ratusan janda di Vrindavan mematahkan tradisi yang telah berabad-abad itu, ketika mereka keluar dari tempat penampungan dan ikut merayakan festival Holi dipimpin oleh para aktivis sosial.
Holi adalah perayaan yang semarak di mana orang-orang keluar ke jalan-jalan dan saling melemparkan bubuk berwarna dan air.
Sebelumnya, mereka hanya bisa merayakan Holi dengan Dewa Krishna, dewa utama di kota suci itu.
Seorang pembaharu sosial dari Uttar Pradesh, Shravan Kumar Singh, yang merayakan pesta Holi dengan para janda itu hari Minggu, mengatakan mereka merasa larangan lama itu telah runtuh.
Singh mengatakan banyak dari janda- janda itu meneteskan air mata ketika mereka keluar untuk ikut ambil bagian dalam pesta itu. Dia mengatakan banyak orang di kota itu juga menghargai upaya untuk menyatukan kembali para perempuan itu ke dalam masyarakat.
Perayaan-perayaan Holi itu diselenggarakan oleh Sulabh International, yang tahun lalu meluncurkan program rehabilitasi bagi para janda di lima tempat penampungan yang dikelola pemerintah. Ini termasuk memberi mereka pendidikan, keterampilan kejuruan, fasilitas perawatan kesehatan dan tunjangan sebesar 40 dollar AS per bulan supaya mereka bisa membeli cukup makanan.
Bindeshwar Pathak, pendiri Sulabh, juga ikut dalam perayaan-perayaan itu. Ia mengatakan membawa para janda itu kembali ke dalam kehidupan sosial yang normal telah memberikan mereka kehidupan baru.
“Ketika dulu saya datang pada bulan Agustus 2012, setiap orang selalu berkata, ‘tidak. Saya ingin mati saja. Saya tidak mau hidup lebih lama lagi.’ Kemarin ketika kami merayakan Holi, mereka semua mengatakan, ‘kami ingin tetap hidup’. Mereka telah melupakan masa lalu itu,” kata Pathak.
Sulabh International mulai bekerja di Vrindavan tahun lalu setelah mahkamah agung melihat kehidupan para janda yang memprihatinkan itu dan menekankan perlunya memperbaiki nasib mereka.
Para janda Vrindavan itu telah menjadi simbol dari penindasan berabad-abad terhadap perempuan yang kehilangan suami mereka.
Selama berpuluh-puluh tahun, ribuan janda yang ditinggalkan oleh keluarga mereka, pindah ke kota Vrindavan, sekitar 150 kilometer di sebelah timur New Delhi.
Sesuai tradisi yang masih diikuti oleh sebagian orang, para janda Hindu dianggap pembawa sial. Akibatnya, di banyak rumah tangga, mereka diperlakukan seperti orang buangan dan dikucilkan oleh keluarga mereka dan masyarakat, dan tidak diizinkan untuk ikut dalam perayaan apapun. Banyak yang diusir dari rumah mereka.
Ribuan perempuan buangan ini meninggalkan kota dan desa mereka untuk tinggal di tempat-tempat penampungan di Vrindavan, yang kemudian dikenal sebagai kota para janda. Hidup tidaklah mudah bagi para janda miskin ini. Berpakaian putih - warna berkabung di India, mereka sering terlihat mengemis.
Tetapi tahun ini, ratusan janda di Vrindavan mematahkan tradisi yang telah berabad-abad itu, ketika mereka keluar dari tempat penampungan dan ikut merayakan festival Holi dipimpin oleh para aktivis sosial.
Holi adalah perayaan yang semarak di mana orang-orang keluar ke jalan-jalan dan saling melemparkan bubuk berwarna dan air.
Sebelumnya, mereka hanya bisa merayakan Holi dengan Dewa Krishna, dewa utama di kota suci itu.
Seorang pembaharu sosial dari Uttar Pradesh, Shravan Kumar Singh, yang merayakan pesta Holi dengan para janda itu hari Minggu, mengatakan mereka merasa larangan lama itu telah runtuh.
Singh mengatakan banyak dari janda- janda itu meneteskan air mata ketika mereka keluar untuk ikut ambil bagian dalam pesta itu. Dia mengatakan banyak orang di kota itu juga menghargai upaya untuk menyatukan kembali para perempuan itu ke dalam masyarakat.
Perayaan-perayaan Holi itu diselenggarakan oleh Sulabh International, yang tahun lalu meluncurkan program rehabilitasi bagi para janda di lima tempat penampungan yang dikelola pemerintah. Ini termasuk memberi mereka pendidikan, keterampilan kejuruan, fasilitas perawatan kesehatan dan tunjangan sebesar 40 dollar AS per bulan supaya mereka bisa membeli cukup makanan.
Bindeshwar Pathak, pendiri Sulabh, juga ikut dalam perayaan-perayaan itu. Ia mengatakan membawa para janda itu kembali ke dalam kehidupan sosial yang normal telah memberikan mereka kehidupan baru.
“Ketika dulu saya datang pada bulan Agustus 2012, setiap orang selalu berkata, ‘tidak. Saya ingin mati saja. Saya tidak mau hidup lebih lama lagi.’ Kemarin ketika kami merayakan Holi, mereka semua mengatakan, ‘kami ingin tetap hidup’. Mereka telah melupakan masa lalu itu,” kata Pathak.
Sulabh International mulai bekerja di Vrindavan tahun lalu setelah mahkamah agung melihat kehidupan para janda yang memprihatinkan itu dan menekankan perlunya memperbaiki nasib mereka.
Para janda Vrindavan itu telah menjadi simbol dari penindasan berabad-abad terhadap perempuan yang kehilangan suami mereka.
Sumber
>
http://internasional.kompas.com
No comments:
Post a Comment